SEBERAPA
sering Anda makan sup iga? Steik? Soto jeroan sapi? Saya yakin,
tidak sering. Mungkin hanya sekali seminggu atau sekali sebulan, atau bahkan
setahun hanya sekali.
Saat
memakannya, pasti berasa sangat lezat. Ya, jelas, karena jarang memakannya,
jadi lidah telah menjadi “murni”. Itu sebabnya, demikian pengamatan saya, anak
kecil dianjurkan makan makanan yang berbeda-beda, agar lidahnya peka terhadap
rasa.
Karena
kejarangan dalam konsumsi makanan-makanan yang saya sebutkan di atas,
seharusnya kita tidak perlu khawatir. Makanlah secukupnya, tidak perlu
berlebihan pula. Berlebihan itulah yang menyebabkan penyakit, tetapi pikiran
khawatir yang menyertai saat memakannyalah yang lebih berbahaya, karena juga
dapat menyebabkan penyakit.
Dapat
dikatakan bahwa lebih dari 75 persen penyakit mematikan dewasa ini disebabkan
oleh pikiran yang dipenuhi kekhawatiran atau ketakutan, lebih dari penyakitnya
sendiri. Saya amati bahwa selama tiga bulan sejak pembatasan sosial berskala
besar (PSBB) diberlakukan di Jakarta dalam rangka menghadapi pandemi COVID-19,
lebih banyak orang yang meninggal karena stroke atau serangan jantung, daripada
karena virus Corona penyebab COVID-19. Orang yang mati karena tertekan lantaran
memikirkan ancaman virus lebih banyak daripada akibat virusnya sendiri.
Berdasarkan
pengalaman saya, menyantap makanan dengan pikiran yang kalut tidak akan memberi
kita kelezatan yang sejatinya ditawarkan makanan tersebut—sehingga kita juga
menjadi tidak mensyukuri rezeki Tuhan itu. Simpul-simpul saraf di lidah kita
agaknya terkendala dengan simpul-simpul saraf di otak yang terbungkus aneka
pikiran negatif. Menarik untuk direnungkan, kearifan yang menyatakan bahwa
bahan-bahan yang membentuk makanan yang kita makan dapat terbawa ke surga apabila
kita memakannya dalam keadaan diri yang dipenuhi sukacita. Bahkan, leluhur kita
percaya—dari pengalaman nyata—meskipun racun yang kita makan, dia akan
kehilangan dampak mematikannya apabila orang yang memakannya dalam keadaan
ikhlas dan berpikir positif.
Saya
pribadi menerapkan cara itu dalam menyambut tawaran makan dari orang lain.
Makanya saya selalu merasa janggal dengan orang yang disodori makanan yang ada
unsur yang pantang dia makan dengan alasan kesehatan, seperti nasi putih. Lain
halnya bila prasmanan, yang swalayan, sehingga bisa menghindari makanan-makanan
yang dipantangi. Tapi bila ditawari oleh tuan rumah, misalnya, adalah tidak
sopan untuk menolak, apalagi dengan perkataan “Wah, saya nggak makan nasi, saya diabetes” atau “Saya tidak boleh makan jeroan,
kolesterol tinggi”. Terima saja, tanpa komentar macam-macam, dan makanlah yang
Anda rasa baik bagi tubuh Anda. Sisihkan yang Anda tidak mau atau tidak suka,
tidak usah banyak komentar.
Saya
ingat pada suatu pengalaman di bulan Desember 2015 di Kota Bandung, di mana
saya dan tiga saudara Subud saya dari Jakarta Selatan dijamu minum bir di
sebuah kafe oleh para saudara Subud Kelompok Cilengkrang. Satu saudara Subud
saya dari Jakarta Selatan berbisik ke telinga saya, “Bro, gimana nih, minum bir nanti kita mabuk.” Ada nada kecemasan pada
suaranya. Dia membayangkan bahwa usai acara di kafe tersebut kami akan langsung
balik Jakarta naik mobil yang disopiri saudara Subud lainnya yang juga ikut
menenggak bir.
Saya
jawab dengan berbisik pula di telinga saudara Subud itu, “Bro, kita nggak akan mabuk. Tergantung niat, bro.
Niat kita adalah untuk memuliakan tuan rumah.”
Alhasil,
tidak ada di antara kami berempat yang mabuk, meski telah menenggak
bergelas-gelas bir malam itu, dan dapat kembali ke Jakarta malam itu dengan
lancar dan selamat. "Birnya sudah kita surgakan," gurau saudara Subud
yang sebelumnya takut mabuk bila menerima tawaran minum bir dari tuan rumah
itu. ©2020
GPR 3, Tangerang Selatan, 4 Juli 2020
No comments:
Post a Comment