“Paruh pertama
kehidupan adalah belajar menjadi orang dewasa. Paruh kedua adalah belajar
menjadi seorang anak.”
—Pablo
Picasso
PADA malam hari, tanggal 5 Juli 2020, saya
menemani putri saya yang berumur tiga tahun delapan bulan menonton film animasi
Spider-Man: Into the Spider-Verse di
HBO. Selama nonton, putri saya banyak sekali bertanya ini-itu menyangkut superhero, yang rupanya dia favoriti.
Menjelang akhir film, putri saya mengatakan bahwa dia ingin menjadi Spiderman,
bahwa dia ingin bisa meloncat dari bangunan yang satu ke bangunan yang lain,
dan, dengan sedih, mengatakan bahwa dia belum bisa melakukan apa yang dia
inginkan. Saya bilang kepadanya, sebagai penyemangat, bahwa dia bisa
melakukannya asal dia berusaha dengan belajar dan berlatih.
Putri saya, Nuansa, menyenangi ketokohan superhero dan sering mengimajinasikan
dirinya sebagai pahlawan super pembela kaum lemah. Kepedulian dan sifat
penolongnya, yang sudah tampak dalam usia sebelia ini, adalah alasan utama dia
ingin menjadi pahlawan super.
Nah, malam itu, saat menonton film animasi
Spiderman di HBO, dia memasang sikap badan seperti jagoannya itu. Saya tertawa,
karena senang melihatnya menikmati dirinya sebagai tokoh favoritnya. Tetapi
Nuansa salah paham terhadap tawa saya; dia kira, saya menertawakannya. Dia
tiba-tiba menangis keras dan mengamuk dan memukuli saya. Setelah dipeluk dan
ditenangkan oleh istri saya, terungkaplah penyebab mengapa dia menangis dan
mengamuk terhadap saya. Nuansa merasa saya menertawakannya dan malu karenanya.
Dia merasa harga dirinya jatuh karena sikap saya yang keliru ia pahami.
Di situlah saya merasa sangat bersalah,
sekaligus teringat pengalaman saya sendiri dengan orang tua saya yang tidak
bisa menerima kenyataan bahwa saya suka berimajinasi.
Adalah ibu saya, terutama, yang paling tidak
suka bila saya berimajinasi. Beliau menganggap berimajinasi adalah perbuatan
dosa, buang waktu, dan membuat seorang anak tertinggal secara
intelijensia. Ketika kecil, hingga sekolah menengah atas, saya suka
membayangkan diri saya sebagai perwira militer, seorang komandan pasukan yang
berwibawa di medan tempur. Saya tuangkan imajinasi itu ke dalam gambar (saya
sangat suka menggambar) atau tulisan-tulisan di label nama di alat tulis yang
saya gunakan di sekolah. Menurut ibu saya, hal itu tidak wajar. Saya dilarang
berimajinasi, dan beliau akan marah besar bila memergoki saya berimajinasi.
Kala itu, saya membenci sikap ibu saya
terhadap kegemaran saya berimajinasi. Tapi kini, saya tidak lagi marah atau
benci, karena setelah membaca ceramah-ceramah Bapak Muhammad Subuh, setelah
saya masuk Subud, mengenai kesalahan-kesalahan yang diwarisi leluhur, saya jadi
paham bahwa orang tua saya tidak bersalah. Mereka memiliki sikap seperti itu
karena dengan cara itulah mereka dididik oleh orang tua mereka (kakek-nenek
saya), dan begitu seterusnya ke atas. Mereka hanya tidak mengerti; untuk
orang-orang yang tidak mengerti seyogyanya saya memohon agar Tuhan memurahi
mereka, alih-alih membenci mereka.
Imajinasi bagi anak-anak, berdasarkan
pengalaman saya, bukanlah sesuatu yang buruk. Hal itu dapat membuat anak mampu
berpikir kreatif dan menganalisis, memperkaya pengetahuannya, membuat anak
lebih percaya diri, mandiri, dan mampu bersaing. Dalam penuturan satu saudara
Subud saya yang juga pakar pendidikan, Harris Roberts, pada hari Kamis, 2 Juli
2020, lalu di Wisma Subud Cilandak, Jakarta Selatan, berimajinasi membuat
seorang anak mampu berkonsep. Dengan kemampuan berkonsep, dia akan mampu memaknai segala
sesuatu yang dihadapinya dalam kehidupan dewasanya kelak.
Insiden dengan putri saya membuat saya
bertekad untuk menghentikan selamanya pewarisan sikap dan tindakan dari kedua orang tua
saya, dan dari kedua orang tua dari ayah-ibu saya, dan seterusnya ke atas,
dengan sikap dan tindakan saya dalam mengasuh putri saya, yang saya cintai
sepenuh hati, diri, dan jiwa saya. Saya dan istri telah sepakat untuk membebaskan
Nuansa berimajinasi sesuai usianya. Kami sebagai orang tua hanya mendukung
sebisa kami, selama yang ia inginkan dan (akan) lakukan tidak
merugikan dirinya.
Tekad saya itu sekaligus menjadi cara saya
memaafkan masa lalu saya—yang tidak seberuntung putri saya, lantaran kebebasan
berimajinasi saya direnggut oleh orang tua saya.©2020
GPR 3, Tangerang
Selatan, 6 Juli 2020
No comments:
Post a Comment