SAYA kerap mengonsumsi makanan tertentu
secara tidak seharusnya. Seperti makan soto mie dengan roti (bukan dengan
nasi), roti lapis isi gado-gado, spaghetti dengan kuah kari (bukan saos tomat),
dan lain-lain. Saya juga sering mengerjakan hal-hal biasa dengan
pendekatan-pendekatan yang tidak biasa. Artikel saya di Facebook pernah
dikomentari seorang teman yang sedang menempuh pendidikan magister di Amerika
Serikat: “Artikelnya pakai kerangka tidak jelas. Seharusnya pakai piramida
terbalik, atau plotting. Yang
menarik, artikelnya tetap enak dibaca, dengan menampilkan hal-hal secara surprising.”
Foto-foto makanan yang “tidak seharusnya” itu
saya posting di Facebook dan Instagram, dan karuan mendapat komentar-komentar
yang diawali atau diakhiri dengan kata “seharusnya”. Ada satu teman saya yang
merasa ganjil dengan cara saya menyantap soto mie dengan roti. “Apa enak? Kok aneh, sih!”
“Apa yang enak dimakan dengan nasi, pasti
enak dimakan dengan roti,” balas saya.
Kita hidup di dunia yang telanjur dicekoki
dengan konvensi “harus/tidak harus”. Konvensi adalah suatu hukum atau
aturan-aturan tidak tertulis yang ada dalam kehidupan bermasyarakat, yang
timbul karena kebiasaan-kebiasaan. Dalam konteks memetika, konvensi atau adat istiadat
tergolong meme, yaitu ide, perilaku,
atau gaya yang menyebar dari satu orang ke orang lain dalam sebuah budaya.
Sejatinya, tidak ada yang harus atau tidak
harus dalam kehidupan kita. Konvensi-konvensi tertentu malah mematikan
kreativitas kita, menghambat kita untuk berevolusi sebagai manusia, karena kita
jadi menutup diri terhadap perubahan, sedangkan perubahan adalah satu-satunya
yang pasti dalam hidup. Aturan—tak tertulis maupun tertulis—dibuat untuk
menatatertibkan kehidupan bersama, bukan untuk mengatur cara bagaimana satu
individu menjalani hidupnya.
Konvensi mengacu pada “melakukan hal-hal
secara benar”. Dalam tindakan kreatif, konvensi-konvensi dilanggar maupun
dihormati, dan inilah yang membuat sebuah artefak baru dapat dikatakan kreatif
dan bisa dimengerti. Lebih jauh lagi, dari perspektif sosio-kultural,
pengetahuan dan konvensi yang membentuk apa yang kita sebut “tradisi” tidak
pernah menjadi kenyataan yang statis, melainkan lebih terkait dengan
kreativitas dan inovasi.
Dalam kaitan dengan Subud, saya pernah
dihadapkan pada pertanyaan: “Haruskah beragama atau percaya pada Tuhan untuk
bisa ‘diterima’ menjadi anggota Subud?”
Saya pernah mengalami episode tidak percaya
Tuhan, sebelum dan sesudah dibuka di Subud. Dalam bahasa Subud, episode ini,
bila sudah dibuka, biasanya merupakan pembersihan dari kepercayaan kepada “Tuhan
ajaran” (bentuk ketuhanan yang diajarkan dalam agama-agama, dengan sifat-sifat
yang diberikan merupakan representasi dari sifat-sifat manusiawi) menuju Tuhan yang dapat dialami melalui rasa. Kepada
saya pun pernah diceritakan oleh beberapa pembantu pelatih dan di buku memoar
Varindra Vittachi Special Assignment: A
Subud Trilogy, bahwa orang yang percaya “Tuhan ajaran” cenderung tidak
bertahan lama, dibandingkan mereka yang tidak percaya Tuhan apa pun.
Saya masuk Subud dalam keadaan tidak percaya
Tuhan. Saya menanggalkan agama dan kepercayaan saya kepada Tuhan mulai tahun
2003, ketika segala sesuatu yang saya perjuangkan dengan usaha dan doa tidak
membuahkan hasil yang saya harapkan. Ketika ngandidat
di Subud, saya dilayani oleh pembantu-pembantu pelatih yang membiarkan saya
tidak percaya Tuhan, karena di Subud tidak ada ajaran maupun pelajaran. Saya
akan mengalami sendiri kelak eksistensi sesuatu yang dikonvensikan sebagai “tuhan”.
Subud adalah jalan berbasis pengalaman (experiential), yang tidak memaksakan “harus/tidak
harus”. Anda “dituntut” (oleh diri Anda sendiri) untuk menjadi diri sendiri,
dengan aturan-aturan atau pedoman yang hanya cocok untuk Anda sendiri. Bagi orang
seperti saya, yang suka melanggar konvensi, pembersihan dari ajaran atau
kebiasaan-kebiasaan umum tergolong proses yang mudah. Itulah yang membuat saya
bertahan di Subud.©2020
GPR 3, Tangerang
Selatan, 4 Juli 2020
No comments:
Post a Comment