Saturday, November 29, 2025

Ukuran Waktu: Homecoming FIBUI 2025

 


Berkumpul mulai jam 09.00 WIB di Kopi Bar, Jl. Margonda Raya, Depok (sebelah Universitas Gunadarma Kampus D), sebelum menuju lokasi acara Homecoming FIBUI di kampus FIBUI Depok: (dari kiri ke kanan) Andi Zulfikar (Sejarah ’86), Arifin Dwi Slamet (Sejarah ’87), Dino Musida (Sejarah ’86), dan Edwar Mukti Laksana (Sejarah ’89).

30 November 2025 membawa cahaya yang indah dan jernih ke lingkungan yang akrab dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) di Universitas Indonesia (UI). Melangkah di kampus FIBUI, aroma buku-buku lama dan hujan tropis—aroma yang hanya familiar di kalangan warga FIBUI—langsung menyambut saya. Tiga puluh tahun lebih pun sirna dalam panasnya Depok, Jawa Barat. Saya, seorang sarjana yang bangga dari Jurusan Sejarah, Angkatan 1987, akhirnya pulang untuk acara reuni Homecoming akbar.

Kegembiraan murni siang itu diukur bukan dalam jam, tetapi dalam keterhubungan yang instan. Saya pertama kali tertarik ke wajah-wajah yang akrab dari jurusan saya, Sejarah. Kami adalah penjaga masa lalu, yang kini membandingkan kehidupan kami saat ini—karier tak terduga, kota-kota jauh tempat kami menetap, dan kebijaksanaan yang terukir di sekitar mata yang dulunya begitu bersemangat memperdebatkan mata kuliah di ruang-ruang kuliah tahun 1980-an. Diskusi terasa seperti kelanjutan dari diskusi terakhir kami, meskipun beberapa dekade memisahkannya.

Di selasar Gedung II FIBUI (dulu, Biro Administrasi Pendidikan/BAP). Dari kiri ke kanan: Budi (Sejarah ’91), Pandu Dewanata (Sejarah ’86), Dedeth Dewa (Sastra Jawa ’85), Ceha Bastian (Sastra Cina ’85), Dino Musida (Sejarah ‘8), Arifin Dwi Slamet (Sejarah ’87), dan Fana Ds (Sejarah ’89).


Di selasar Gedung II FIBUI (dulu, Biro Administrasi Pendidikan/BAP). Dari kiri ke kanan: Arifin Dwi Slamet (Sejarah ’8), Dr. Mohammad Iskandar (dosen Prodi Ilmu Sejarah), Edwar Mukti Laksana (Sejarah ’89), Pandu Dewanata (Sejarah ’86).


Di depan Gedung IX FIBUI. Dari kiri ke kanan: Kasmadi (mantan petugas Koperasi Mahasiswa FSUI), Zulmartinof (Sastra Rusia ’85), Pandu Dewanata (Sejarah ’86), Arifin Dwi Slamet (Sejarah ’87), Dino Musida (Sejarah ’86), Ceha Bastian (Sastra Cina ’85), dan Munasik (Sastra Arab ’86).

Pemandangan Gedung II FIBUI dilihat dari kafe tenda Marc, tempat saya, Dino dan Acik Munasik nongkrong sebelum kami pulang pada sekitar pukul 16.30.



Namun, siang itu benar-benar mengesankan ketika saya terhubung dengan teman-teman dari jurusan-jurusan lain—Sastra Cina, Sastra Jawa, Sastra Arab, Sastra Rusia, Sastra Belanda, dan Sastra Indonesia. Kami bukan hanya rekan; kami adalah penyintas era tahun 1990-an yang penuh semangat, terkadang kacau, ketika kami secara resmi memulai kehidupan sarjana kami. Kami berbagi kisah tentang mengarungi era baru Indonesia, membangun keluarga, perubahan karier, dan menemukan kedamaian dalam momen-momen kecil. Setiap cerita, dari awal yang ambisius hingga kenyataan yang puas saat ini, adalah sebuah bukti semangat tangguh yang terbentuk di bangku-bangku kuliah di kampus kami.


Saat hari kian sore, ketika sinar matahari menyepuhkan emas pada kampus FIBUI, hati saya terasa penuh. Kami datang sebagai individu yang berprestasi, tetapi kami pergi sebagai mahasiswa masa lalu yang tak terpisahkan dan bersemangat. Hari itu membuktikan bahwa pengalaman yang dibagikan di FIBUI menciptakan ikatan yang lebih permanen daripada waktu itu sendiri.©2025

                                                     


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 30 November 2025

No comments: