Di sudut malam yang sunyi sepi,
di mana bayangan berbisik lirih,
aku menengadah, hati teriris,
memeluk beban, memendam tangis
Pasangan yang dulu berjanji setia,
menoleh pergi, membawa cahaya
Anakku, cermin jiwa dan raga,
menjauh langkah, tak sudi menyapa
Saudara kandung, darah yang mengalir,
jadikan cacatku sebagai satir
“Kamu kurang ini,” “Kamu salah di sana,”
Setiap ucapan bagai belati yang menusuk lara
Lingkaran keluarga,
mengangkat tembok, memutus cerita
Semua mata menilai, semua lisan menghukum
Dalam sepi, jiwaku merangkak, terpuruk mendalam
Namun, saat dunia memalingkan wajah,
saat setiap pintu tertutup dan rekah,
ada satu tempat, teduh dan abadi,
di mana tangisku tak pernah dicaci
Di dalam gelap, aku berlutut, menyerah,
mencurahkan duka yang tak tertahankan
Bukan suara manusia yang menjawab lirih,
Tapi sentuhan damai, di relung hati yang pedih
“Anak-Ku,” suara itu begitu lembut
Bukan penghakiman, bukan celaan terselubung
“Ku tahu segala kekurangan yang kau pikul,”
“Ku tahu sakitnya dicabut dari sekumpul”
Air mata tumpah, bukan karena malu,
namun karena kasih tak bertepi yang merangkul
Di situ, aku tak lagi sendirian
Bersama Tuhan, ku temukan perlindungan
Dunia mungkin melihat kepingan yang hilang,
kekurangan dalam tingkah, cela yang terbayang
Tapi Tuhan melihat hati yang remuk redam,
melihat potensi, di balik kelam
Aku menangis, dan air mata itu suci,
dibasuh oleh Rahmat, oleh Cinta yang sejati
Menangis bersama Tuhan, sebuah pengakuan,
bahwa di tengah penolakan, ada penerimaan.
Tuhan adalah rumah bagi jiwa yang terbuang,
Kasih-Nya utuh, tak pernah terhalang
Meski semua pergi, dan hati terbelah dua,
di pelukan-Nya, ku temukan harga
Aku bangkit, masih dengan luka yang membekas,
Namun kini aku tahu, Kasih-Nya takkan terlepas
Biarlah dunia menghukum, biarlah mereka menjauh,
sebab yang terpenting, kasih Tuhan selalu utuh...
Pondok
Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 14 November 2025
No comments:
Post a Comment