Friday, November 28, 2025

Perjalanan Seorang Praktisi Branding ke Jantung Papua yang Belum Tersentuh

DI lanskap dunia periklanan Jakarta yang hiruk pikuk, saya menguasai frasa yang ringkas, menarik, dan memenangkan kampanye. Hari-hari saya diukur dalam tenggat waktu dan wawasan kelompok terpumpun (focus group insights). Namun pada Desember 2009, saya menukar kursi ergonomis saya yang ramping dengan perahu motor kayu yang usang, terjun ke dunia di mana satu-satunya “brief” adalah bertahan hidup: hamparan luas berwarna zamrud dari Sungai dan Hutan Hujan Mamberamo di Papua.

Bersiap-siap untuk mengarungi Sungai Mamberamo dengan perahu motor, bersama Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, dan seluruh rombongannya. Total ada enam perahu untuk kunjungan Bupati ke Kampung Aurina II di Distrik Airu, distrik terjauh dan paling terpencil di seluruh Kabupaten Jayapura.

                                       

Dengan panjang 1.102 km, Sungai Mamberamo adalah sungai terpanjang kedua di Indonesia. Perjalanan kami pada akhirnya akan membawa kami masuk ke anak sungai yang disebut Sungai Nawa, yang mengalir tepat di depan Kampung Aurina II.

Petualangan tak terduga saya dimulai ketika saya bergabung dengan Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, dalam perjalanan penting untuk mengunjungi distrik terjauh dan paling terpencil di wilayah kabupaten tersebut. Ini bukanlah perjalanan wisata mewah; ini adalah ekspedisi yang keras dan memakan waktu sembilan jam ke salah satu wilayah yang paling jarang dijelajahi di dunia. Perjalanan kami diatur oleh aliran sungai dan terik matahari yang panas.

Saya seperti ikan yang keluar dari air. Udara tumpat dengan kelembapan dan aroma tanah yang basah. Atmosfer suara, yang biasanya didominasi oleh lalu lintas Jakarta, digantikan oleh dengungan serangga yang tak henti-hentinya, mesin pendorong perahu, dan paduan suara hutan yang primitif.

 

Di hari kedua saya di Aurina II, saya ikut dengan sebuah tim yang terdiri dari personel Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan Brigade Mobil (Brimob). Mereka mengenakan pakaian sipil tetapi dipersenjatai dengan senapan serbu, menaiki perahu menuju kawasan berburu.

 

Pria di belakang saya adalah Sersan Numberi, seorang Bintara TNI AD yang bertindak sebagai Bintara Pembina Desa (Babinsa) dari Komando Rayon Militer setempat. Gajinya untuk mempertahankan kedaulatan negara adalah Rp75.000 sebulan.

Saat perahu motor melaju semakin jauh ke pedalaman, struktur kehidupan kota besar yang sudah saya akrabi mulai larut. Tidak ada Wi-Fi, tidak ada komunikasi instan, dan tidak ada tempat untuk bersembunyi dari keagungan alam yang murni. Saya memperhatikan ketika Bupati dan kru setempat menavigasi arus yang rumit; pengetahuan mereka adalah peta bisu yang diwariskan.

Di kota, saya menulis teks yang menjanjikan kenyamanan, kecepatan, dan kepuasan instan. Di sana, sebaliknya, setiap momen adalah tentang kesabaran, ketahanan, dan hidup sepenuhnya pada saat ini. Kami tidak mencoba menjual apa pun; kami hanya mencoba untuk menjadi apa adanya.

Saya belajar membedakan kicauan burung, menghargai kesempurnaan sederhana dari makanan yang dimasak di atas api unggun, dan memahami kekuatan mendalam dari orang-orang yang hidup dalam komunitas sejati, terhubung bukan oleh teknologi, tetapi oleh upaya bersama dan rasa saling menghormati.

Saya dan Sersan Numberi di tengah hutan saat kami dalam perjalanan berburu rusa. Hutan hujan Mamberamo di Papua adalah rumah bagi kekayaan keanekaragaman spesies, termasuk setidaknya 332 spesies burung dan 80 spesies mamalia di dalam cagar alam tersebut.


Keterasingan adalah wadah ujian. Terlepas dari persona profesional saya, saya mendapati diri saya dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mendasar. Apa yang benar-benar penting dalam hidup ini? Apakah saya hanya diwakili oleh kesuksesan materi dan karier?

Jawabannya datang bukan dalam pencerahan yang tiba-tiba, tetapi dalam kekuatan Mamberamo yang abadi dan tenang. Saya menyadari bahwa penguasaan sejati bukanlah dalam memanipulasi kata-kata di layar komputer, tetapi dalam menguasai diri sendiri—dalam mendorong melewati lelah, merangkul ketidaknyamanan, dan menemukan kegembiraan dalam tindakan mendasar untuk bergerak maju.

Saya pergi ke Papua dengan perkiraan bahwa saya mengamati realitas yang jauh. Saya kembali menyadari bahwa saya sejatinya mengamati diri saya sendiri. Sungai itu telah menghilangkan hal-hal yang dangkal, menyisakan arus tujuan yang lebih dalam.

Saya masih menulis naskah iklan di Jakarta, tetapi kata-kata saya sekarang membawa resonansi baru—sebuah koneksi tulus yang ditempa di jantung hutan Papua. Perjalanan itu mengajari saya bahwa kisah-kisah terbaik, seperti orang-orang terkuat, adalah kisah-kisah yang dapat menghadapi arus apa pun. Itu adalah brief terpanjang, tersulit, dan pada akhirnya, yang paling menginspirasi dalam hidup saya.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 29 November 2025

No comments: