Friday, November 28, 2025

Pintu-Pintu Menuju Ketidaktahuan: Bagaimana Saya Menemukan Jiwa Saya di Papua

DI dunia periklanan Jakarta yang ramai, tempat tenggat waktu sangat ketat dan slogan yang sempurna dianggap berharga, saya merancang kampanye yang bergema di seluruh nusantara. Namun, di balik lapisan luar kesuksesan korporat, saya merasakan kerinduan yang sunyi—sebuah panggilan bukan untuk produk yang lebih laris, melainkan untuk kisah yang lebih mendalam.

Kerinduan itu membawa saya ke Papua. Hidup saya mengalami perubahan dramatis pada Mei 2009 ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Kabupaten Jayapura. Itu merupakan perjalanan yang, bagi penduduk kota seperti saya, terasa seperti menjelajah ke dunia yang berbeda. Saya menggambarkan pengalaman awal yang mengubah hidup itu sebagai tidak kurang dari “membuka pintu-pintu menuju ketidaktahuan” (doors to the unknown). Frasa ini, yang menangkap campuran rasa cemas, kegembiraan, dan keajaiban tertinggi, kemudian menjadi judul yang bergema dari buku pertama saya.

Pemandangan saya berada di luar jendela penerbangan Garuda dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Wing flaps (sayap sirip) telah dikeluarkan dan ketinggian pesawat menurun—sebuah tanda pasti bahwa kami akan segera mendarat di landasan pacu di Bandara Sentani, Jayapura.

Saya berdiri di dermaga Khalkote di Asei Besar, dengan Danau Sentani membentang di belakang saya.

Fokus dari keterlibatan awal saya adalah Sentani, jantung yang berdenyut dari Kabupaten Jayapura, yang dikenal dengan Danau Sentaninya yang megah dan bukit-bukit landai yang membingkainya. Saya tidak hanya berkunjung; saya berpadu dengannya. Saya menghabiskan hari-hari saya dengan mewawancarai para Ondofolo (pemimpin tradisional), mendengarkan ritme kuno dari genderang perang, dan mengamati seni yang teliti dari lukisan kulit kayu. Saya melihat melampaui berita utama dan menemukan tempat yang kaya akan kemanusiaan, keindahan alam yang memukau, dan ketahanan yang merendahkan hati.

 

Warga setempat menyebutnya “Jonson”, yang merujuk pada perahu yang menggunakan motor tempel (outboard motor). Saya menduga Jonson adalah nama merek dari motor itu sendiri. Dalam foto ini, saya bersama pengemudi dari Hotel Sentani Indah dan operator perahu, menyeberangi Danau Sentani dari Kampung Asei (di latar belakang) kembali ke dermaga Khalkote.

Saya mendaki bukit kecil di Kampung Asei. Anda dapat melihat Pegunungan Cyclops, Danau Sentani, dan bukit-bukit di sekitarnya di latar belakang.

Kunjungan perdana pada Mei 2009 itu memicu penulisan yang hebat, sebuah proyek hasrat yang melampaui kehidupan profesional saya. Buku saya tentang Sentani, sebuah eksplorasi yang tulus diisi dengan deskripsi yang menggugah dan wawasan budaya yang mendalam, dirilis hanya sebulan kemudian, pada Juni 2009. Buku itu menandai perpindahan saya dari sekadar menulis naskah iklan, sebuah bukti akan kekuatan penceritaan yang autentik, dan menandai kelahiran sejati saya sebagai seorang penulis perjalanan.

 

Saya difoto di sini bersama rekan saya, Pak Toni Sri, di Kampung Entiyebo, yang juga dikenal sebagai Tablanusu, di Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura. Beliau adalah fotografer profesional yang berspesialisasi dalam fotografi pariwisata dan industri. Saya sudah empat kali ke Papua, dan selalu bersama beliau. Beliau memotret, dan saya menulis ceritanya.

Di sini saya berpose di antara rumah-rumah di Kampung Bukisi. Permukiman pesisir ini, yang terletak di Distrik Yokari, Kabupaten Jayapura, terisolasi dan hanya dapat dicapai melalui jalur air. Saya sampai di kampung ini dengan naik perahu cepat (speedboat) dari Dermaga Tablanusu.

Namun bagi saya, satu kali perjalanan tidak pernah cukup. Papua bukanlah kotak centang dalam daftar keinginan saya; ia adalah inspirasi yang berulang, rumah bagi jiwa saya. Saya telah mengunjungi Kabupaten Jayapura sebanyak empat kali sejak kunjungan pertama itu, dan setiap kunjungan memperdalam keterhubungan saya dengan tanah dan masyarakatnya.

 

Ini saya berpose persis di lokasi di The Plaza di Jakarta, di mana, hanya dua jam kemudian, diadakan konferensi pers dengan Bupati Jayapura Habel Melkias Suwae. Ini adalah dalam rangka Pameran Foto dan Peluncuran Buku Doors to the Unknown: The Story of Sentani in the Jayapura Regency of Papua, pada 29 Januari 2010.

Saya difoto di sini bersama buku yang saya tulis, yang didasarkan pada pengalaman langsung dari perjalanan pertama saya ke Papua. Foto ini diambil di ruang rapat Sekretariat Pengurus Nasional Subud Indonesia di Wisma Indonesia, yang terletak di dalam kompleks Wisma Subud Cilandak.

Bagi seorang pria yang pernah menjual mimpi kepada konsumen, kini saya menjual mimpi keterhubungan—pentingnya pemahaman akan beragamnya permadani Indonesia. Perjalanan saya dari penulis naskah iklan (copywriter) menjadi penulis perjalanan (travelwriter) yang berdedikasi adalah pengingat yang kuat bahwa terkadang, perubahan karier yang paling sukses adalah yang mengikuti hati, bahkan jika itu membawa Anda melintasi lautan luas dan masuk ke dalam realitas indah dan merendahkan hati dari suatu tempat yang dulunya sama sekali tidak dikenal.

Kisah saya adalah inspirasi bagi diri saya sendiri: itu menunjukkan kepada saya bahwa pintu-pintu paling mendalam yang dapat saya buka seringkali adalah yang menantang persepsi saya tentang dunia dan, pada akhirnya, tentang diri saya sendiri.©2025

 

Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 29 November 2025

No comments: