DI dunia periklanan Jakarta yang ramai, tempat tenggat waktu sangat ketat dan slogan yang sempurna dianggap berharga, saya merancang kampanye yang bergema di seluruh nusantara. Namun, di balik lapisan luar kesuksesan korporat, saya merasakan kerinduan yang sunyi—sebuah panggilan bukan untuk produk yang lebih laris, melainkan untuk kisah yang lebih mendalam.
Kerinduan
itu membawa saya ke Papua. Hidup saya mengalami perubahan dramatis pada Mei
2009 ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Kabupaten Jayapura. Itu merupakan
perjalanan yang, bagi penduduk kota seperti saya, terasa seperti menjelajah ke
dunia yang berbeda. Saya menggambarkan pengalaman awal yang mengubah hidup itu
sebagai tidak kurang dari “membuka pintu-pintu menuju ketidaktahuan” (doors to the unknown). Frasa ini, yang
menangkap campuran rasa cemas, kegembiraan, dan keajaiban tertinggi, kemudian
menjadi judul yang bergema dari buku pertama saya.
![]() |
Pemandangan saya berada di luar jendela
penerbangan Garuda dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Wing flaps (sayap sirip) telah dikeluarkan
dan ketinggian pesawat menurun—sebuah tanda pasti bahwa kami akan segera
mendarat di landasan pacu di Bandara Sentani, Jayapura.
![]() |
Saya berdiri di dermaga Khalkote di Asei
Besar, dengan Danau Sentani membentang di belakang saya. |
Fokus dari keterlibatan awal saya
adalah Sentani, jantung yang berdenyut dari Kabupaten Jayapura, yang dikenal
dengan Danau Sentaninya yang megah dan bukit-bukit landai yang membingkainya.
Saya tidak hanya berkunjung; saya berpadu dengannya. Saya menghabiskan
hari-hari saya dengan mewawancarai para Ondofolo
(pemimpin tradisional), mendengarkan ritme kuno dari genderang perang, dan
mengamati seni yang teliti dari lukisan kulit kayu. Saya melihat melampaui
berita utama dan menemukan tempat yang kaya akan kemanusiaan, keindahan alam
yang memukau, dan ketahanan yang merendahkan hati.
Warga setempat menyebutnya “Jonson”, yang merujuk pada perahu yang
menggunakan motor tempel (outboard motor). Saya menduga Jonson adalah
nama merek dari motor itu sendiri. Dalam foto ini, saya bersama pengemudi dari
Hotel Sentani Indah dan operator perahu, menyeberangi Danau Sentani dari
Kampung Asei (di latar belakang) kembali ke dermaga Khalkote.
Saya mendaki bukit kecil di Kampung Asei.
Anda dapat melihat Pegunungan Cyclops, Danau Sentani, dan bukit-bukit di
sekitarnya di latar belakang.
Kunjungan
perdana pada Mei 2009 itu memicu penulisan yang hebat, sebuah proyek hasrat
yang melampaui kehidupan profesional saya. Buku saya tentang Sentani, sebuah
eksplorasi yang tulus diisi dengan deskripsi yang menggugah dan wawasan budaya
yang mendalam, dirilis hanya sebulan kemudian, pada Juni 2009. Buku itu menandai
perpindahan saya dari sekadar menulis naskah iklan, sebuah bukti akan kekuatan
penceritaan yang autentik, dan menandai kelahiran sejati saya sebagai seorang
penulis perjalanan.
Saya difoto di sini bersama rekan saya, Pak
Toni Sri, di Kampung Entiyebo, yang juga dikenal sebagai Tablanusu, di Distrik
Depapre, Kabupaten Jayapura. Beliau adalah fotografer profesional yang
berspesialisasi dalam fotografi pariwisata dan industri. Saya sudah empat kali
ke Papua, dan selalu bersama beliau. Beliau memotret, dan saya menulis
ceritanya.
Di sini saya berpose di antara
rumah-rumah di Kampung Bukisi. Permukiman pesisir ini, yang terletak di Distrik
Yokari, Kabupaten Jayapura, terisolasi dan hanya dapat dicapai melalui jalur
air. Saya sampai di kampung ini dengan naik perahu cepat (speedboat)
dari Dermaga Tablanusu.
Namun bagi
saya, satu kali perjalanan tidak pernah cukup. Papua bukanlah kotak centang
dalam daftar keinginan saya; ia adalah inspirasi yang berulang, rumah bagi jiwa
saya. Saya telah mengunjungi Kabupaten Jayapura sebanyak empat kali sejak
kunjungan pertama itu, dan setiap kunjungan memperdalam keterhubungan saya
dengan tanah dan masyarakatnya.
Ini saya berpose persis di lokasi di The
Plaza di Jakarta, di mana, hanya dua jam kemudian, diadakan konferensi pers
dengan Bupati Jayapura Habel Melkias Suwae. Ini adalah dalam rangka Pameran
Foto dan Peluncuran Buku Doors to the Unknown: The
Story of Sentani in the Jayapura Regency of Papua, pada 29 Januari
2010.
Saya difoto di sini bersama buku yang
saya tulis, yang didasarkan pada pengalaman langsung dari perjalanan pertama
saya ke Papua. Foto ini diambil di ruang rapat Sekretariat Pengurus Nasional
Subud Indonesia di Wisma Indonesia, yang terletak di dalam kompleks Wisma Subud
Cilandak.
Bagi seorang pria yang pernah menjual mimpi kepada konsumen, kini saya menjual mimpi keterhubungan—pentingnya pemahaman akan beragamnya permadani Indonesia. Perjalanan saya dari penulis naskah iklan (copywriter) menjadi penulis perjalanan (travelwriter) yang berdedikasi adalah pengingat yang kuat bahwa terkadang, perubahan karier yang paling sukses adalah yang mengikuti hati, bahkan jika itu membawa Anda melintasi lautan luas dan masuk ke dalam realitas indah dan merendahkan hati dari suatu tempat yang dulunya sama sekali tidak dikenal.
Kisah saya
adalah inspirasi bagi diri saya sendiri: itu menunjukkan kepada saya bahwa
pintu-pintu paling mendalam yang dapat saya buka seringkali adalah yang
menantang persepsi saya tentang dunia dan, pada akhirnya, tentang diri saya
sendiri.©2025
Pondok Cabe Ilir,
Pamulang, Tangerang Selatan, 29 November 2025








No comments:
Post a Comment