KEMARIN,
saat ngopi-ngopi di Kopi Bar Jl. Margonda Raya No. 417-E (sebelah selatan
Kampus D Universitas Gunadarma), Depok, Jawa Barat, saya bersama tiga rekan
alumni Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI; sejak 2002
berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI/FIBUI) yang, seperti
saya, semuanya berprofesi praktisi komunikasi, membahas perilaku anak-anak
Milenial (Gen Y) dan Gen Z dalam memilih perguruan tinggi.
Pilihan
generasi Y-Z sering kali bukan bersifat akademik atau keilmuan tetapi
menyangkut kelengkapan fasilitas hiburan yang tersedia di intra dan ekstra
kampus, dan juga “gaya hidup” yang ditawarkan perguruan tinggi. Sejak lebih
dari sepuluh tahun lalu, tren anak-anak Jabodetabek untuk kuliah di Jawa
Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur semakin meningkat. Sampai dekade 1990an, UI
masih jadi favorit—dipandang sebagai kampus prestisius yang menjadi jaminan
masa depan super cerah. Ada kawan saya bahkan pernah berujar, “Gue kalo nggak
diterima di UI, mending kuliah di luar negeri!”
Standar
akademik UI kala itu memang fantastis. Kalau sekarang Indeks Prestasi Kumulatif
(IPK) 3,50, yang dianggap bagus karena memenuhi kriteria predikat “Memuaskan” (cum laude), dapat dicapai dengan begitu
mudah, dulu hanya UI yang “pelit” IPK setingkat itu. Kami dulu sudah bersyukur
dengan IPK 2,50. Seorang dosen Sastra Jepang FSUI bahkan menyatakan bahwa nilai
C di UI setara dengan nilai A di perguruan tinggi paling bergengsi di Jepang,
Universitas Waseda.
Tetapi
saya memilih kuliah di UI bukan karena UI dapat meningkatkan gengsi saya. Saya
memilih UI karena saat itu (1987) orang tua saya tidak memperbolehkan saya
kuliah di luar Jakarta lantaran biaya yang harus beliau-beliau keluarkan akan
sepantar dengan biaya kuliah di swasta. Orang tua saya tidak kaya harta, dan
mengajarkan hidup sederhana serta selalu bersyukur dengan apa yang sudah
dimiliki.
Kalau
saat itu orang tua saya memberi saya kebebasan memilih, saya sebenarnya ingin
kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, yang kajian sejarah
sosialnya menjadi kiblat para sejarawan Indonesia dan luar negeri, diajar oleh
dosen-dosen yang namanya sohor di negeri ini. Saya juga terpaksa memilih UI
karena ada matakuliah-matakuliah yang mendukung kegemaran saya pada militer. Di
Jurusan Sejarah FSUI saat itu, matakuliah sejarah militer diajar oleh seorang
militer—seorang perwira TNI Angkatan Darat berpangkat Kolonel Infanteri.
Bagaimanapun,
sebagaimana yang selalu ditanamkan oleh orang tua saya—agar saya mensyukuri apa
yang diberikan oleh Semesta, saya bersyukur pernah kuliah di Universitas
Indonesia. UI-lah yang membentuk kepribadian akademik saya, yang sangat berguna
dalam melakoni hidup pasca perguruan tinggi.©2025
Pondok
Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 1 Desember 2025




No comments:
Post a Comment