Sunday, November 30, 2025

Kepribadian Akademik

 


KEMARIN, saat ngopi-ngopi di Kopi Bar Jl. Margonda Raya No. 417-E (sebelah selatan Kampus D Universitas Gunadarma), Depok, Jawa Barat, saya bersama tiga rekan alumni Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI; sejak 2002 berganti nama menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI/FIBUI) yang, seperti saya, semuanya berprofesi praktisi komunikasi, membahas perilaku anak-anak Milenial (Gen Y) dan Gen Z dalam memilih perguruan tinggi.

 

Pilihan generasi Y-Z sering kali bukan bersifat akademik atau keilmuan tetapi menyangkut kelengkapan fasilitas hiburan yang tersedia di intra dan ekstra kampus, dan juga “gaya hidup” yang ditawarkan perguruan tinggi. Sejak lebih dari sepuluh tahun lalu, tren anak-anak Jabodetabek untuk kuliah di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur semakin meningkat. Sampai dekade 1990an, UI masih jadi favorit—dipandang sebagai kampus prestisius yang menjadi jaminan masa depan super cerah. Ada kawan saya bahkan pernah berujar, “Gue kalo nggak diterima di UI, mending kuliah di luar negeri!”






Standar akademik UI kala itu memang fantastis. Kalau sekarang Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,50, yang dianggap bagus karena memenuhi kriteria predikat “Memuaskan” (cum laude), dapat dicapai dengan begitu mudah, dulu hanya UI yang “pelit” IPK setingkat itu. Kami dulu sudah bersyukur dengan IPK 2,50. Seorang dosen Sastra Jepang FSUI bahkan menyatakan bahwa nilai C di UI setara dengan nilai A di perguruan tinggi paling bergengsi di Jepang, Universitas Waseda.

 

Tetapi saya memilih kuliah di UI bukan karena UI dapat meningkatkan gengsi saya. Saya memilih UI karena saat itu (1987) orang tua saya tidak memperbolehkan saya kuliah di luar Jakarta lantaran biaya yang harus beliau-beliau keluarkan akan sepantar dengan biaya kuliah di swasta. Orang tua saya tidak kaya harta, dan mengajarkan hidup sederhana serta selalu bersyukur dengan apa yang sudah dimiliki.

 

Kalau saat itu orang tua saya memberi saya kebebasan memilih, saya sebenarnya ingin kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, yang kajian sejarah sosialnya menjadi kiblat para sejarawan Indonesia dan luar negeri, diajar oleh dosen-dosen yang namanya sohor di negeri ini. Saya juga terpaksa memilih UI karena ada matakuliah-matakuliah yang mendukung kegemaran saya pada militer. Di Jurusan Sejarah FSUI saat itu, matakuliah sejarah militer diajar oleh seorang militer—seorang perwira TNI Angkatan Darat berpangkat Kolonel Infanteri.

 

Bagaimanapun, sebagaimana yang selalu ditanamkan oleh orang tua saya—agar saya mensyukuri apa yang diberikan oleh Semesta, saya bersyukur pernah kuliah di Universitas Indonesia. UI-lah yang membentuk kepribadian akademik saya, yang sangat berguna dalam melakoni hidup pasca perguruan tinggi.©2025

           

                                          

 

Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 1 Desember 2025

No comments: