MESKI tidak sedikit yang menunjukkan kekaguman begitu mengetahui bahwa saya berkuliah di Universitas Indonesia, sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka yang diincar banyak sekali—kalau tidak bisa dikatakan semua—lulusan SMA, saya bukanlah mahasiswa terpandai di sepanjang karier kemahasiswaan saya di Universitas Indonesia. Dua semester ganjil pertama saya, saya terancam dropout (DO) karena Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) saya di bawah 1,75. Saya jadi harus belajar ekstra keras agar terhindar dari DO, yang tentunya akan membuat orang tua saya malu dan kecewa.
Tetapi memang saya lebih banyak main dan nongkrongnya, alih-alih kuliah yang rajin. Pada matakuliah-matakuliah wajib, yang karena itu saya ambil dengan terpaksa meski pengajarannya membosankan, seringnya saya menitip pada teman untuk menorehkan tanda tangan di daftar presensi. Alhasil, ya, nilai ujian saya pun tergolong rendah.
Bahkan ketika menyaksikan sejumlah senior saya—yang sebelumnya saya pandang sebagai mahasiswa super pintar—berguguran dalam ujian komprehensif (ujian lisan seluruh matakuliah wajib Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia atau FSUI), saya tetap santai dan kerap bolos kuliah. Namun, ketika saya sendiri menghadapi ujian kompre (demikian sebutan populernya di kalangan mahasiswa FSUI kala itu), barulah saya kelabakan.
Sebuah surat pemberitahuan yang diterbitkan Jurusan Sejarah FSUI dan ditujukan ke saya terasa bagaikan “surat perintah pelaksanaan hukuman mati” dalam waktu yang singkat. Ya, memang, waktu yang tersedia bagi saya untuk membaca 53 literatur wajib kompre hanya dua minggu, sedangkan sebagian besar dari jumlah literatur itu belum pernah saya baca sebelumnya.
Satu sahabat saya, Januar, lantas memaksa saya mengikuti “pemusatan latihan nasional” (Pelatnas) di bawah bimbingannya. Sahabat saya, yang bagi sebagian besar mahasiswa Sejarah FSUI menyebalkan itu, sejatinya memiliki rasa kesetiakawanan yang tinggi. Saat itu, dia sudah lolos dari ladang pembantaian kompre dan tengah menuntaskan penyusunan skripsinya.
Di bawah gemblengannya, saya termotivasi untuk mengatasi rasa malas saya. Saya menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari, termasuk akhir pekan, untuk membaca ke-53 literatur wajib tersebut. Diselingi pendalaman melalui diskusi dengan sang mentor—yang mengancam akan memutuskan persahabatan kami bila saya gagal kompre akibat kebodohan dan kemalasan saya.
Tanggal 2 November 1992, siang, saya memasuki ruang ujian di lantai 2 Gedung III Kampus FSUI Depok, Jawa Barat. Panitia ujiannya terdiri dari dosen-dosen yang terkenal “killer”. Pertanyaan demi pertanyaan mencecar saya, kebanyakan membuat saya tersudut karena kurang siap. Bayangkan, pertanyaannya kadang terkesan usil: “Anda sudah baca Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI? Sebutkan Daftar Isinya!”
Tentu saja, saya kelabakan, karena selama Pelatnas dua minggu itu, saya tidak terpikir sama sekali untuk menghafal daftar isi.
Usai kompre, saya dipersilakan meninggalkan ruang ujian, sementara para dosen penguji berunding untuk meloloskan saya atau tidak. Di luar ruang ujian, saya menahan tangis di depan dua sahabat saya, Januar dan Adi Nusferadi. Terbayang oleh saya, saya harus mengulang kompre. Setiap mahasiswa diberi kesempatan mengulang dua kali secara lisan, dan sekali dengan presentasi makalah. Bila gagal juga di presentasi makalah, mahasiswa harus dropout.
Ketika saya dipanggil masuk ruang ujian lagi, saya tidak dapat menahan air mata saya. Ketua Panitia Ujian, Pak Soetopo Soetanto, melihatnya dan bertanya, “Anda kenapa?”
“Maafkan saya, Pak, saya nangis. Saya benar-benar nggak siap,” kata saya sesenggukan.
“Saya kira Anda harusnya menangis bahagia...,” kata Pak Topo, “...karena kami memutuskan Anda lulus dengan nilai C. Selamat ya. Semoga Anda lebih baik lagi di sidang skripsi nanti.”
Di situ saya benar-benar meluapkan
tangis saya.©2025
Pondok Cabe Ilir,
Pamulang, Tangerang Selatan, 4 November 2025




No comments:
Post a Comment