KAMIS, 15 Oktober 2020, lalu, saya mengomentari postingan seorang teman di akun Facebook-nya tentang Public Speaking, tentang banyaknya orang yang begitu takut ketika harus bicara di depan umum, dan doa dari Muhammad PBUH untuk mengatasi rasa takut itu. Komentar saya berupa pemaparan sebuah pengalaman pribadi pada tahun 2003 yang berujung dengan saya masuk Subud...
Di bangku sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, saya paling takut disuruh nyanyi atau berbicara depan kelas. Salah satu alasan saya pindah dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta, UNJ) ke Universitas Indonesia pada tahun 1987 adalah kekhawatiran saya akan keharusan saya menjadi guru yang tugasnya adalah mengajar di depan kelas. Matakuliah wajib di IKIP yang ada praktik mengajarnya saya bolosi berkali-kali.
Saya mulai harus menekan ketakutan saya
setelah bekerja di dunia periklanan di mana saya harus sering mempresentasikan
ide di depan klien. Momen itu selalu saya lalui dengan kikuk dan gemetar
sehingga penyampaian saya buruk, dan saya pun dicecar pertanyaan-pertanyaan
klien yang seringnya tidak bisa saya jawab.
Pengalaman pertama presentasi lancar saya adalah pada bulan September 2003, di kantor lembaga amil zakat, infak dan sedekah nasional (LAZNAS) Provinsi Jawa Timur, yaitu Yayasan Dana Sosial al-Falah (YDSF), dengan mempresentasikan konsep dari delapan iklan cetak LAZNAS tersebut untuk kampanye iklan selama bulan Ramadan tahun 2003. Mitra saya yang juga pembantu pelatih Subud Cabang Surabaya menenangkan saya: “Kamu serahkan aja semua kepada Tuhan.” Saya hanya disuruh memejamkan mata dan menenangkan diri sejenak, di mana saat itu saya menerima vibrasi dan sensasi setrum di sekujur badan saya. Berangsur-angsur namun cepat, pikiran saya pun mulai jernih. Tiba-tiba, saya merasa ada suatu eksistensi maha besar duduk di sebelah saya, seperti merangkul saya dan menyemangati saya: “Tenanglah, Aku bersamamu. Sekarang, lakukan presentasimu.”
Saat saya melakukan presentasi, saya melihat bagaimana mulut dan gestur tubuh saya berada di luar kendali saya. Ucapan saya lancar, tak terpikir, mengalir begitu saja. Di akhir presentasi saya, wajah klien tampak bersinar, matanya berbinar dan berucap singkat, "Pak, saya approve semua konsep iklannya!" Mitra saya sampai terbengong-bengong, pasalnya dia belum pernah mengalami suatu pekerjaan di-Acc klien di meja rapat pada presentasi pertama!
Meninggalkan kantor YDSF, mitra saya mengajak saya makan bakso di seberang kantor klien. Dia tanya apa yang barusan saya alami. Saya benar-benar terpesona dengan pengalaman itu. Mitra saya berkata, “Itulah yang aku selalu alami lewat Latihan Kejiwaan Subud.”
Kampanye iklan YDSF selama bulan Ramadan tahun 2003 itu pun berdampak dahsyat: LAZNAS itu berhasil menghimpun dana dari zakat, infak dan sedekah senilai Rp1,8 miliar pada malam takbiran dan yang datang menyetorkan uang bukan hanya muslim tapi banyak juga yang non muslim. Mitra saya bertanya ke seorang wanita Tionghoa tua yang membawa Rp100 juta dalam tas kresek, kenapa ia terdorong menyedekahkan uangnya ke YDSF. Si wanita beragama Konghucu itu mengatakan bahwa perasaannya sangat tersentuh oleh iklan-iklannya (yang saya buat juga dengan bimbingan dari Sumber Gaib tersebut). Sekitar dua minggu setelah Lebaran tahun 2003, saya pun masuk Subud. Kesaksian saya akan kebesaranNya sudah lebih dari cukup. Dan sejak itu, bermodal bimbinganNya, saya tidak pernah takut lagi tampil bicara depan umum.©2020
GPR 3, Tangerang
Selatan, 17 Oktober 2020