HARI Sabtu, 22 Agustus 2020, saya bersepeda
motor sendirian ke Bogor, ke rumah adik saya di Bumi Indraprasta II. Saya ke
sana untuk membantu adik membereskan koleksi buku anak-anaknya, dan untuk
mengambil buku-buku bacaan kanak-kanak bekas pakai anak-anaknya yang diserahkan
adik saya ke Nuansa.
Bukan hanya membersihkan lemari buku
tersebut yang telah berdebu, saya juga mengelap satu per satu bukunya yang juga
telah berselimut debu, dengan tisu basah. Saya mengerjakannya di bagian atap
rumah adik saya yang datar. Mulai bekerja sejak jam 9.00, matahari yang
perlahan meninggi membuat suasana di atap itu panas; saya sekalian berjemur,
yang telah menjadi kebiasaan banyak orang sejak pandemi COVID-19 merebak.
Ajaibnya, keringat saya tidak deras
dan badan saya berasa sejuk. Sinar matahari yang mengenai anggota badan saya
yang terbuka juga tidak berasa panas. Yang saya rasa cukup aneh adalah kenyataan
bahwa saya menikmati benar momen itu. Perasaan sukacita meruyak, membuat saya
tak lelah sedikit pun saat bekerja. Saya juga mendendangkan sejumlah lagu lokal
maupun internasional, yang dalam keadaan “biasa” saya tidak bisa melagukannya,
bahkan tidak tahu liriknya.
Salah satu lagu yang saya dendangkan
sambil bekerja adalah Looking Through the
Eyes of Love yang dipopulerkan Melissa Manchester untuk soundtrack film Ice Castles (1978).
“Please,
don’t let this feeling end
It might not come again
And I want to remember
How it feels to touch you
How I feel so much since I found you
Looking through the eyes of love...”
Adik saya, yang mendengarkan sambil
lalu, merasa janggal mendengar saya menyanyikan lagu tersebut, karena lagu itu
menurutnya bukan jenis yang saya suka.
“Why
are you singing that song?” tanya adik saya sambil menerima buku-buku yang
telah saya lap bersih.
“Why
not?” jawab saya.
“Well,
that’s not your kind of song, as far as I know,” kata adik saya. Kami
memang kerap berdialog dalam bahasa Inggris atau Belanda.
“Says
who?" kata saya. Tapi saya membenarkan anggapan adik saya. Lagu itu
keluar begitu saja dari mulut saya, jadi saya kemudian bilang ke adik saya, “Keluar
begitu saja dari dalam saya, jadi ya saya nyanyiin.”
“By
the way, kamu nggak kepanasan?
Kamu kok juga nggak keringetan?” tanya adik saya kemudian. Saya juga merasa aneh,
pasalnya saya terpapar sinar matahari yang terik, tapi badan saya terasa sejuk.
Saat itulah, saya tersadar, saya menerima Latihan Kejiwaan. Pantas saja,
kerjanya terasa asik, sejuk dan penuh inspirasi.©2020
GPR 3, Tangerang
Selatan, 24 Agustus 2020
No comments:
Post a Comment