“Di dunia kita yang penuh dengan nama-nama besar ini, anehnya, para
pahlawan sejati kita cenderung anonim. Dalam kehidupan yang penuh ilusi dan
kuasi-ilusi ini, orang yang memiliki kebajikan penuh yang bisa dikagumi untuk
sesuatu yang lebih besar daripada kebesaran namanya seringkali terbukti
merupakan pahlawan tanpa tanda jasa: guru, perawat, ibu, polisi yang jujur,
serta para pekerja keras yang seorang diri melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
bergaji rendah dan tidak menarik.”
TAHUN 1995-1996, saya
berkesempatan bekerja sebagai junior
copywriter di sebuah biro iklan multinasional yang dijuluki “Biro Iklan No.1 Indonesia”. Lepas dari situ, dengan penuh percaya diri saya mengirim lamaran
ke 20 biro iklan berskala besar, menengah dan kecil di Jakarta, dengan 16 di
antaranya memanggil saya untuk wawancara. Kepercayaan diri saya lebih didorong
oleh kesadaran bahwa saya mendompleng nama besar dari biro iklan tersebut.
Kenomorsatuan biro
iklan tempat saya bekerja itu terbukti dengan bagaimana para creative director, ekspat maupun lokal, menyambut
saya: Mereka semua segan, lantaran saya menyandang nama besar biro iklan
multinasional tersebut. Bahkan satu creative director asal Australia yang mewawancarai saya, ketika saya tawari untuk
memeriksa portofolio karya-karya iklan yang pernah saya buat selama bekerja di
biro iklan multinasional tersebut, menepis sambil berkata, “Tidak perlu. Saya
sudah tahu kualitas orang-orang dari biro iklan tempat Anda bekerja itu.”
Mendompleng nama besar
memang banyak enaknya, tetapi saya tidak memungkiri bahwa tidak enaknya juga
banyak. Saya jadi merasa tidak nyaman, lantaran semua orang di biro-biro iklan
tempat saya bekerja kemudian selalu mengharapkan yang terbaik dari diri saya.
Giliran saya tidak dapat memberikan hasil yang baik, mereka mengait-kaitkan
saya dengan nama besar itu: “Mantan biro iklan besar kok nggak mutu idenya?!”
Sebaik-baiknya dan
seenak-enaknya mendompleng nama besar, masih jauh lebih asik menjadi diri
sendiri. Selama lima tahun pertama berkarir di industri periklanan, saya belum
begitu yakin pada kemampuan diri sendiri, sehingga merasa perlu mendompleng
pada nama besar sederet biro iklan multinasional yang saya singgahi dalam kurun
waktu 1994-1999. Sesudah itu, barulah saya memiliki pengalaman dan pengetahuan
yang dapat saya andalkan untuk menghasilkan pekerjaan-pekerjaan yang bermutu.
Tidak sedikit orang
yang memanfaatkan nama besar orang lain, organisasi sosial dan/atau bisnis
untuk mencapai tujuannya atau untuk memuaskan kepentingannya. Bila orang-orang
tersebut bertindak dan bersikap sebesar nama besar yang disandangnya, tentu hal
itu tidak menimbulkan masalah bagi dirinya maupun orang lain. Yang menjadi
masalah adalah apabila sikap dan tindakan mereka tidak sejalan dengan nama
besar yang padanya mereka mendompleng.
Para alumni akademi militer terbaik Amerika Serikat di West Point, New York, mengenal kebiasaan
yang dinamai “mengetuk cincin” (knocking
the ring) untuk mempertegas kepada pihak lain bahwa mereka membawa nama
besar USMA (United States Military
Academy) West Point, sehingga jangan coba-coba berhadapan dengan mereka.
Istilah “mengetuk cincin” itu muncul dari kebiasaan para alumni West Point
ketika berdebat dengan sesama perwira yang asal sekolahnya bukan West Point,
tapi ROTC (Reserve Officers’ Training
Corps, Korps Latihan Perwira Cadangan) atau OCS (Officer Candidate School, Sekolah Calon Perwira). Ketika perdebatan
memanas dan seorang alumnus West Point tampaknya mulai terdesak, dia akan
mengetukkan cincin almamaternya ke meja, seakan berkata, “Lu jangan macem-macem deh
sama gue. Gue ini lulusan West Point tau!”
Membaca tentang hal
“mengetuk cincin” itu di buku karya Hans Halberstadt, Army: The U.S. Army Today (Kent: Grange Books, 2003), saya sempat bertekad
dalam hati, jangan sampai saya mempermalukan diri saat berbeda pendapat dengan
orang lain dengan mengatakan, “Jangan macem-macem
ya sama gue, gue ini lulusan UI dan anggota SUBUD lho!”
Kesadaran akan nama
besar yang kita sandang, entah dari nama orang tua atau leluhur kita,
organisasi di mana kita bernaung atau perusahaan tempat kita bekerja,
bagaimanapun memiliki sisi positif, yaitu apabila hal tersebut dapat mendayai
usaha kita untuk menjaga dan meningkatkan kualitas diri. Jangan sampai, mentang-mentang menyandang nama besar,
kita lantas bertindak dan bersikap semaunya atau tidak sesuai kualitas sejati dari nama tersebut, karena hal itu malah akan menurunkan derajat dari orang
atau organisasi yang namanya kita sandang dengan bangga. Saya memahami satu hal
dari menyandang nama ayah saya, walaupun beliau sudah tiada: Hal tersebut
bermakna saya mendoakan beliau melalui tindakan dan sikap saya; kalau tindakan
dan sikap saya tidak sesuai atau mencemari nama ayah saya, maka saya telah
membiarkan beliau menderita di alam baka!
Mendompleng nama besar
memang tidak mudah, walaupun tak jarang tindakan itu menguntungkan kita secara
material maupun sosial. Daripada keberatan beban menyandang nama besar orang
lain atau organisasi, alangkah baiknya kita membangun nama besar untuk diri
kita sendiri melalui pembentukan citra yang baik dengan senantiasa melakukan
hal-hal positif bagi kepentingan kita sendiri maupun sesama kita.©
Mampang Prapatan
XV, Jakarta Selatan, 24 September 2012