“Berhentilah
berpikir mengenai keterbatasan Anda dan mulai berpikir tentang segala
kemungkinan.”
Delapan tahun yang lalu, bos saya,
seorang pengusaha periklanan yang berbasis di Surabaya, Jawa Timur, yang sedang
dirundung masalah penipuan ratusan juta rupiah yang diperbuat sejumlah
orang—dengan berbagai kepentingan—atas dirinya, berkeluh-kesah ke saya. Dengan
sengit dan bernada sinis, pemilik beberapa perusahaan yang sudah haji itu berujar
ke saya, “Menurut Qur’an, Allah tidak akan menguji kita melampaui batas
kemampuan kita. Lha,
ujian ini, To, sudah melampaui batas kemampuanku tapi kok ya
Allah masih aja mengujiku. Yang tau batas
kemampuan kita kan kita sendiri, ya kan, To?!"
Saat itu, saya, yang duduk
berhadap-hadapan dengan beliau di meja di ruang kerjanya yang luas dan nyaman
di kantor sebuah biro iklan papan atas di Surabaya, sebenarnya punya pertanyaan
yang sama: Sampai di mana batas kemampuan kita dalam menerima ujian hidup?
Siapa yang sesungguhnya mengerti batas itu?
“Maaf, Pak, saya benar-benar nggak tahu jawaban atas pertanyaan Bapak
barusan. Yang saya tahu, lantaran demikian disebutkan dalam Qur’an, Allah tidak
pernah menyiksa hambaNya, melainkan hambaNya menganiaya dirinya sendiri,” kata
saya sambil memutar otak, meraba-raba jawaban yang tepat atas pertanyaan bos
saya tentang batas kemampuan manusia dalam menghadapi ujian hidup. Barangkali,
di situlah batas kemampuan berpikir saya.
Ternyata itu adalah perkiraan yang
terlalu dini—jika tidak bisa dikatakan sebagai “mendahului kehendak Tuhan”.
Baik secara retrospektif maupun introspektif, berdasarkan pengalaman pribadi
yang sudah maupun sedang saya lalui, ternyata kita tidak menyadari kemampuan
kita yang sesungguhnya! Alam sudah membekali kita dengan berbagai potensi tanpa
batas. Infinitas (ketakberhinggaan) inilah yang selalu saja membuat pikiran
kita yang terbatas tak menyadari betapa tak terbatasnya kemampuan kita
sesungguhnya. Kita tidak percaya diri, tidak mengenal diri kita yang sejati,
serta menilai diri kita kelewat rendah, sehingga tanpa sadar kita mendegradasi
ciptaan Tuhan yang sejatinya tidak bercacat.
Setiap manusia, paling tidak sekali
dalam hidupnya, pernah berhadapan dengan kenyataan dari kemampuan pribadi yang
ia tak sangka bahwa ia memilikinya. Beberapa tahun yang lalu, saya pernah
didaulat untuk memberikan ceramah dalam sebuah majelis taklim ibu-ibu—sebuah
kelompok pengajian yang saya sendiri belum pernah menghadirinya. Saya sendiri
heran, kenapa kok saya yang diminta, sementara secara
lahir saja saya tidak punya tampang ustad atau orang yang berkompeten untuk
menyampaikan ajaran agama Islam, lantaran saya sudah “berpindah ke lain
hati”. Tetapi, tidak ada titik balik; saya sudah telanjur berada di hadapan
lima puluhan ibu-ibu yang mengharapkan pencerahan relijius dari saya. Sebelum
saya mulai buka mulut, saya menenangkan diri, memohon kepada Tuhan agar diberi
tuntunan.
Yang terjadi kemudian adalah
kenyataan yang berada di luar jangkauan pikiran saya. Saya berceramah dengan
lancar dan mudah, menyampaikan mutiara-mutiara hikmah tentang kehidupan yang
Islami, lengkap dengan tuturan yang fasih tentang muatan Al Qur’an dan Hadis,
sampai para peserta majelis taklim tersebut tidak berhenti memanggil saya “Pak
Ustad”, meski saya berulang kali mengingatkan mereka bahwa saya bukan ustad.
Kejadian-kejadian semacam itu bukan
sekali dua kali saya alami, melainkan berulang kali, hingga saya sampai pada
kesimpulan, barusan ini, yang sekaligus menjawab pertanyaan saya, yang
berdampak dari pertanyaan bos saya, delapan tahun lalu: Di mana batas kemampuan
kita? Siapa yang tahu batas kemampuan kita?
Kemampuan kita menjadi terbatas
lantaran itulah citra diri yang tercipta di pikiran kita. Tidak jarang kita
sendiri sudah membatasi kemampuan kita lewat anggapan sepihak bahwa kita tidak
punya ilmu dan pengetahuannya, tidak berpengalaman, tidak punya sarana
pendukungnya, takut gagal, malu, tidak yakin, khawatir jadi bahan tertawaan,
dan lain sebagainya. Semuanya bersumber dari pikiran negatif tentang diri kita
sendiri. Sedangkan pengalaman pribadi saya membuktikan bahwa Tuhan saja yakin
bahwa kita mampu, sehingga Dia memberi kita ujian hidup “sebatas” kemampuan
kita, dan kemampuan itu tanpa batas!
Pikiran, atau citra diri negatif
yang diciptakan olehnya, seringkali membuat kita cenderung menyanjung-sanjung
orang lain, yang kita pandang memiliki kemampuan melebihi kita, sampai tidak
menyadari bahwa itu semua karunia Tuhan untuk manusia. Perhatikan, deh, kelompok-kelompok spiritual yang
berlebihan memuja tokoh pendiri atau pencetusnya, yang tak jarang membuat para
pengikutnya cenderung melupakan Tuhan yang berada di balik kemampuan istimewa
dari sang tokoh. Doktor Myles Monroe, dalam bukunya, Releasing Your Potential: Exposing the Hidden You (2007), mengungkapkan bahwa
potensi yang dibekali Tuhan dalam diri kita itu melampaui apa yang kita sadari
tentangnya, sehingga seringkali manusia telanjur mati tanpa pernah
memaksimalkan kemampuan dirinya yang sejati. Kita cenderung percaya pada citra
diri negatif yang diciptakan pikiran kita ketimbang pada janji Tuhan yang akan
menyelamatkan kita dengan kasih-sayangNya.
Kelebihan mereka yang kita anggap
manusia super hanya satu: Mereka tidak membiarkan diri terperangkap oleh citra
diri yang menyatakan bahwa mereka tidak mampu. Mereka memuja Tuhan mereka
dengan memanifestasi sebanyak mungkin potensi yang mereka miliki. Saya pernah
menceritakan pengalaman spiritual saya kepada seorang kawan, yang serta-merta
mengejek saya, “Emangnya lu nabi apa, sampai Tuhan ngasih lu kemampuan kayak gitu?!”
Anggapan dangkal dari kawan ini
sempat menjerumuskan mental saya sampai ke dasar lubang nan gelap. Tetapi tidak
lama kemudian, saya beroleh pemahaman: Bila Tuhan menghendaki maka jadilah;
tidak peduli tukang becak atau pengusaha, orang melarat atau konglomerat,
maling atau cendekiawan, kemampuan yang melampaui pikiran pribadi tentang citra
dirinya dapat menjadi miliknya!
Jadi, di mana batas kemampuan kita?
Batasnya adalah di mana citra diri negatif itu bercokol: Pikiran kita!©
Mampang
Prapatan XI, Jakarta Selatan, 16 Agustus 2012, pukul 06.07 WIB
No comments:
Post a Comment