SUATU ketika, saya diajak kedua adik
kandung saya makan di sebuah restoran bakmi terkenal di Jakarta. Memesan mie
ayam jamur dan pangsit goreng, rupanya kedua adik saya mengamati ritual saya
ketika menyantapnya: Kuah yang telah diberi sambal bersama baso dan pangsit
gorengnya saya santap terlebih dahulu, kemudian ayam jamur dan sawinya. Melihat
hal itu, adik bungsu saya berkomentar, “Ih, kalau saya sih kuahnya
belakangan. Save the
best for last gitu!”
Ternyata, bagi
kedua adik saya, kuah kaldu ayam yang gurih merupakan bagian terbaik dari
seporsi mie ayam. Terserahlah, itu selera mereka. Tetapi bagi saya, bagian
terbaik dari mie ayam tentu saja adalah mienya, yang kenyal dengan tingkat
kegurihan tepungnya yang tajam. Karena itu, mienya saya save for last (menyisakan untuk yang terakhir saya
santap).
Setiap orang
mempunyai hal-hal terbaik dalam hidupnya, dan mereka cenderung memeliharanya.
Bahkan, jika memungkinkan, sampai mereka mati. Tetapi hidup tidak seperti itu;
hidup tidak selamanya berjalan mulus, lancar, mudah dan baik. Karena hidup
bukanlah hasil akhir, melainkan sebuah proses yang berkelanjutan sampai
berhenti pada mati. Tidak ada manusia yang berhenti pada satu titik dalam
hidupnya, yaitu titik pencapaian yang dicita-citakannya sehingga ia terdorong
untuk berusaha menggapainya. Proses selanjutnya telah menanti untuk ditempuh
setelah satu titik tergapai.
Bagaimanapun,
yang jelas “yang terbaik” ada di bagian terakhir dari setiap proses. Seperti
dijanjikan di kitab-kitab suci, bahwa di akhir setiap derita ada kabar gembira.
Saya teringat
pada ucapan saudara SUBUD saya di Surabaya, yang menurut saya begitu
menggugahnya sehingga saya pun tidak bosan-bosannya meneruskan kepada
teman-teman, kenalan maupun kerabat saya. “Mau bayar sekarang atau bayar
nanti?” kata dia, yang membuat siapa pun yang mendengarnya berhenti bicara atau
bergerak, dan mulai merenung.
Kata-katanya itu
terkait dengan proses “pembersihan diri” (self-purification) yang kita semua
hadapi, baik sadar maupun tidak, dalam hidup kita. Kalau mau bayar nanti,
berarti selama masih mampu secara lahiriah bersenang-senanglah, tidak perlu
ingat dan mawas diri, sedangkan ketika tidak mampu lagi lantaran usia tinggal
menanggung akibatnya. Atau, mau sebaliknya—bayar sekarang, agar nanti bisa
hidup tenang.
Namun, tidak
banyak orang yang mau “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”.
Mereka mengira, umur mereka terlalu singkat untuk tidak memulai
bersenang-senang sejak dini. Tetapi, saya kira, bersenang-senang bisa dimulai
bahkan ketika penderitaan mendera, yaitu saat kita menyadari bahwa derita
hanyalah bagian dari proses hidup, sebuah momen pembelajaran mengenal diri dan
hubungannya dengan alam, yang di bagian akhirnya merupakan bagian terbaik yang
tersisa, lantaran pada tahap itu kita biasanya memetik hikmah, pemahaman,
pelajaran, dan hal-hal hebat lainnya, yang membuat kekayaan materi tidak begitu
berarti lagi. Jadi, save the
best for last-lah. ©
Mampang Prapatan XI, Jakarta Selatan, 3 September
2012
No comments:
Post a Comment