“Kita terbentuk oleh pikiran-pikiran kita; kita menjadi apa yang kita pikirkan. Jika pikiran itu suci, suka-cita akan mengiringi seperti bayangan yang tak pernah pergi.”
PAGI hari pada Sabtu, 4
Februari 2012, lalu saya sudah bersiap-siap untuk berangkat ke kantor guna
menyelesaikan perbaikan atas suatu naskah laporan tahunan klien yang tenggat
waktunya Senin pagi, 6 Februari 2012, ini. Sejak Jum’at pagi saya sudah
merencanakan bahwa Sabtu itu akan saya manfaatkan sebaik-baiknya untuk
menyelesaikan perbaikan tersebut.
Manusia boleh berencana,
tetapi Tuhan jualah yang menentukan apakah rencana itu dapat terwujud atau
tidak. Maksud hati saya mau lembur sejak pagi, apa daya saya malah diminta
kerabat saya untuk menebus tunggakan sewa rumahnya di Kukusan, Depok, Jawa
Barat, serta mengambil barang-barangnya yang disandera pemilik rumah sebagai
jaminan dan memindahkannya ke rumah saya di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Mengira bahwa hal itu akan berlangsung cepat, saya pun menyanggupinya.
Perkiraan dan rencana
merupakan produk pikiran, yang bila dibiarkan tak terkendali akan membuat kita
khawatir dan cemas tak karuan. Itu yang saya alami, ketika saya menemui
kenyataan bahwa proses penyelesaian pembayaran sewa dan pengambilan
barang-barang milik kerabat saya itu tidaklah semudah dan secepat yang saya
bayangkan. Ada saja kendalanya. Tinimbang larut dalam kecemasan, membayangkan
bahwa pekerjaan saya sendiri bakal tidak berhasil mencapai tenggat waktunya,
saya pun berdoa, memohon agar Tuhan memberikan saya pengertian bahwa keadaan
itu mengandung rencanaNya untuk saya.
Saya pun menenangkan dan
merasakan diri, suatu hal yang selalu saya lakukan sebelum berbuat dan berkata,
berpikir dan berperasaan. Saat itulah saya menggapai pengertian mengapa Sang Buddha selalu menganjurkan agar kita hidup di saat ini, di momen ini, dan tidak
menyesali masa lalu maupun mengangan-angankan masa depan. Konteks masa lalu
yang saya pegang adalah ujaran salah seorang dosen saya di Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI, sekarang FIBUI atau Fakultas Ilmu
Budaya UI): “Sedetik yang lalu pun adalah sejarah!”
Ungkapan ini pun, dalam
konteks ini, saya terapkan untuk masa depan; bahwa masa depan adalah sedetik
dari saat ini, yang tidak perlu saya risaukan. Sang Buddha menganjurkan agar
kita selalu melepas (release) dan merelakan apa saja yang sudah, sedang
dan akan terjadi, karena dengan demikian kita dapat hidup secara
meditatif—berfokus penuh pada apa yang sedang kita perbuat, katakan, pikirkan
dan rasakan.
Sebelumnya, saya
membiarkan diri saya takluk pada kembara pikiran (wandering thoughts)
saya sendiri mengenai apa yang akan terjadi pada Senin ini: Account executive butik kreatif yang memakai jasa saya akan marah besar, tidak
puas dengan cara kerja saya yang pengelolaan waktunya payah, serta klien yang
memaki-maki ketidakbecusan saya! Hal itu benar-benar melelahkan. “Benar
perkataan Sang Buddha. Sekarang aku mengerti mengapa beliau menganjurkan
demikian!” batin saya.
Selama sisa hari itu
saya merasa gembira dan bahagia, bukan saja oleh pencerahan batiniah yang saya
dapatkan mengenai bahaya kembara pikiran, tetapi juga oleh keadaan ‘mengada
saja’ (simply be) yang saya rasakan saat itu. Segala sesuatu seperti air
bening yang mengalir hening, walaupun perjalanan saya dari Depok ke Mampang Prapatan naik mobil pikap yang sempit dan panas di samping sopir yang merokok
sepanjang jalan, dikepung kemacetan yang parah dan hujan yang membasahi
barang-barang yang saya angkut di bak pikap tersebut. Saya tidak merasa lelah;
yang ada hanya senang, tenang dan menang! Bahkan ketika baru menjelang senja
saya sampai di kantor kejernihan pikiran saya membantu saya menemukan bahwa
naskah yang sudah dicoret-coret klien tersebut lebih banyak akibat kesalahan
klien sendiri, bukan kesalahan saya, yang memantapkan hati saya untuk menegur
klien, tak peduli dia bisa marah karenanya!
Sungguh melelahkan dan
menyusahkan mengikuti maunya pikiran yang mengembara ke mana-mana. Kita akan
merasa tertekan oleh ketakutan-ketakutan yang tidak berdasar. Mending kita
bergelayut pada sang jiwa yang melaluinya Tuhan mengucurkan bimbingan dan
tuntunanNya!
Saya teringat pada mitra
bisnis saya di Surabaya dahulu, yang sepanjang jalan menuju kantor klien untuk
menghadiri rapat atau presentasi selalu merencanakan terlebih dahulu apa yang
akan dikatakannya. “Kalau nanti client ngomong gini, aku harus bilang apa, Mas?
Atau gini aja, Mas Anto, sampeyan ngomong begini dan begini, entar aku backup
begitu dan begitu.” Saya cuma menukas, bahwa dia tidak perlu merisaukan apa pun
dan biarkan waktu yang berbicara. Yang penting, kami serius dalam mengerjakan
suatu pekerjaan, yang dengan begitu sebenarnya kami menguasai konten materi
maupun subyeknya. “Whatever will be, will be-lah,” kata saya
agar dia diam. Kenyataannya, apa yang ia risaukan dan rencanakan dengan pikiran
yang mengembara ke mana-mana toh tidak pernah terjadi.
Sepupu saya yang rajin
salat mengaku tidak pernah bisa salat dengan khusyuk. Saya tanya apa yang
merisaukan pikirannya. Dia bilang, tidak ada. Saya ubah pertanyaannya: Mengapa
kamu salat?
Pertanyaan itu ternyata
ampuh untuk memancing sepupu saya berterus-terang tentang duduk persoalannya.
Ia sedang menghadapi masalah hidup yang berat, dan tidak menemukan jalan lain
selain mengadu kepada Tuhan di atas sajadah.
“Kalau mau menghadap
kepadaNya, kamu harus suci. Suci bukan sekadar dengan berwudu membersihkan
badan lahiriah, tapi juga badan batiniah. Kamu harus benar-benar kosong dari
apa pun selain Allah! Salatlah dengan perasaan sabar, ikhlas dan tawakal.
Tawakal itu artinya ‘mewakilkan’ semua masalah, hidup dan mati kamu kepadaNya.
Tanggalkan pikiran kamu yang mengembara tanpa arah. Lepaskan dan relakan. Let
go, let God!” kata saya, mengutip kata-kata seorang Sufi untuk
menasihati dia yang pikirannya amat kemrungsung (kacau).
Sekarang, bila pikiran
Anda sedang berwisata ke destinasi yang tidak jelas nan berbahaya bagi
kesehatan jasmani dan rohani Anda, tenangkan diri Anda dan mengembaralah ke
jagat diri yang senantiasa dicahayai petunjukNya.©
Mampang Prapatan XI,
Jakarta Selatan, 6 Februari 2012
*) Catatan berjudul sama pernah saya tulis
jauh sebelum ini, namun dengan konten yang sama sekali berbeda. Untuk
membedakannya, saya cantumkan angka ‘2’ di sebelah judul di atas.
No comments:
Post a Comment