SEORANG
kawan pernah meminta penjelasan ke saya tentang ajaran Kejawen yang “saya anut”.
Saya bingung dengan permintaan tersebut, pasalnya saya tidak merasa seorang Jawa sejati dan tidak menganut nilai-nilai Kejawen. Belakangan, ia memberitahu mengapa
ia menilai saya menganut ajaran Kejawen adalah lantaran status-status Facebook
saya seringkali membuatnya beranggapan demikian, yaitu status-status yang mengungkapkan
nilai-nilai luhur, yang secara budaya ia ketahui hanya diamalkan oleh orang Jawa.
Menurut
saya, nilai seharusnya telanjang, tidak diberi baju atau atribut yang bukan
sejatinya sang nilai. Lantaran diberi baju, makanya tidak mengherankan jika
orang yang tidak memahami, seperti kawan saya di atas, mencap saya seorang
penganut Kejawen, gara-gara nilai-nilai
luhur yang saya sampaikan dipandangnya, menurut mata budayanya, sebagai ajaran
kebatinan Jawa.
Nilai-nilai
yang terkandung dalam ajaran moral bersifat universal, menyentuh segala
lapisan, tidak pandang warna kulit, budaya, agama maupun kepercayaan. Saya
pernah mengungkapkan ke sejumlah teman bahwa saya gemar melakukan semadi. Karuan
saja, mereka menganggap saya beragama Buddha. Ketika saya konfirmasi hal itu ke
mereka, mereka mengatakan bahwa hanya Buddhis yang melakoni semadi sebagai ritual
pemujaannya.
Secara
historis, semadi atau meditasi juga terdapat dalam berbagai praktik keberagamaan,
bukan cuma Buddhisme dan Hinduisme. Praktik meditasi, dengan berbagai istilah dan
cara yang dikenal oleh masing-masingnya, dilakukan pula oleh umat Yahudi,
Kristen, Islam, dan lain sebagainya. Apa pun namanya, secara akademis, semua
laku kontemplatif yang bertujuan mendekatkan diri dengan Tuhan itu disebut “meditasi”.
Perbedaan
baju (baca: atribut keagamaan)-lah yang menyingkirkan universalitas meditasi
dan mendegradasi manfaatnya. Bayangkan saja, semata karena dipandang sebagai “ajaran
Buddha”, seorang yang beragama non-Buddhis menolak melakukan meditasi yang
ditawarkan sebagai metode penyembuhan alternatif atas penyakit yang
dideritanya. Dunia kedokteran Barat sudah mengakui meditasi sebagai metode
penyembuhan yang kuat dan tegas dalil medisnya, tetapi lantaran keterbatasan
pengetahuan mengenainya, apalagi meditasi sudah tidak telanjang lagi, banyak
orang yang fanatik dalam beragama menepis metode tersebut. Sungguh mengenaskan!
Dalam
kasus tubuh manusia, ketelanjangan memang dianggap tabu di sejumlah budaya. Tetapi
dalam hal nilai, ketelanjangan malah menurunkan derajatnya—dari bermanfaat
menjadi sia-sia, karena menjadi obyek pertentangan yang tiada habisnya.©
Mampang
Prapatan XV, Jakarta Selatan, 18 September 2012
No comments:
Post a Comment