Thursday, October 10, 2024

Bertukar Tempat: Perjalanan Saya ke Subud

Ditulis aslinya dalam bahasa Inggris atas permintaan dari Pemimpin Redaksi majalah Subud Voice, Harris Smart.

 

BANYAK dari keluarga besar saya, teman-teman non Subud, maupun saudara-saudari Subud sendiri, yang menganggap saya Subud-minded, atau orang yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di dan untuk Subud. Mereka menilainya dari apa yang mereka lihat di media sosial saya—postingan-postingan tulisan dan foto kegiatan sehari-hari saya—serta kehidupan sehari-hari saya. Yang tidak mereka ketahui adalah bahwa sebelum masuk Subud saya sama sekali tidak memiliki ketertarikan pada perkumpulan spiritual ini.                                   

Justru sahabat dan rekan saya sesama praktisi branding yang begitu penasaran dengan Subud. Agus namanya. Kami pernah sekantor, sama-sama menjadi copywriter di sebuah biro iklan papan atas di Jakarta. Dan ketika kami sama-sama melanjutkan karier di Surabaya, Jawa Timur, pada awal 2000an, ia bahkan berhasil membujuk bosnya untuk membajak saya untuk menjadi creative director di biro iklan tempatnya bekerja yang bersaing keras dengan biro iklan dimana saya bekerja.

Agus memiliki ketertarikan yang sungguh mendalam pada spiritualitas. Ia pernah menekuni tasawuf model Persia hingga mistikisme Jawa dan aliran kebatinan yang mengajarkan ilmu tenaga dalam serta perdukunan. Sedangkan saya putra tunggal dalam keluarga yang beribukan seorang wanita asli Aceh, sebuah provinsi di Indonesia yang secara historis menjadi pusat penyebaran agama Islam, terkenal dengan julukan “Serambi Mekah” serta sangat kuat berakar pada syariat Islam. Saya hanya menjalankan syariat, menekuni salat lima waktu dan salat Jumat serta salat-salat sunah, berpuasa di bulan Ramadan, serta, sebagaimana kaum muslim awam lainnya, saya sangat takut masuk neraka. Saya tidak mengetahui apapun tentang spiritualitas, meskipun mungkin saya pernah atau sering melakukannya tanpa saya sadari.

Bagaimanapun setianya saya pada ajaran agama Islam, pada awal dekade 2000an saya terperosok ke ateisme. Kecewa pada bagaimana hidup saya berjalan, selalu kekurangan uang, dan bernafsu mengejar jabatan tinggi di kantor, telah membuat saya menanggalkan agama dan kepercayaan saya pada Tuhan. Lucunya, saya tetap hobi berpuasa, namun hal itu tidak saya kaitkan dengan ibadah. Berpuasa 100 hari berturut-turut tetap saya lakukan tiap tahun, tetapi mengabaikan puasa Ramadan.

Pada suatu hari di pertengahan pertama tahun 2003, saya berkunjung ke rumah kontrakan Agus di Surabaya. Dia sedang tergila-gila pada ilmu hakikat, hingga Tuhan-pun ia urai hakikatNya. Dia berhasil membuat sejumlah tamunya terpikat (tampaknya begitu) pada apa yang dia presentasikan dengan menggunakan whiteboard di ruang tamu rumahnya. Dia membedah hakikat Tuhan, surga dan neraka, dan ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar (salah satu dari Sembilan Wali {Wali Sanga} Islam di Indonesia). Saya, yang sama sekali tidak tertarik, nyelonong saja menuju kamar tidurnya Agus. Saya hanya basa-basi menyapa para tamunya sambil berlalu dari ruang tamu.

Di antara tamu-tamunya, terdapat satu pria paruh baya yang bertubuh langsing, berkumis tipis dan berkulit langsat. Pakaiannya pun sangat rapi, perlente. Saya perhatikan sekilas bahwa ia tak begitu tertarik pada presentasi Agus, dan terfokus hanya pada rokok kretek yang diisapnya serta menyeruput kopinya. Suatu hari, pria bernama Heru itu mengajak saya makan siang, tetapi saya tampik lantaran saya sedang berpuasa. “Apa yang membuatmu berpuasa?” tanyanya ke saya.

“Ada sesuatu di dalam diri saya mendorong saya melakukannya,” jawab saya. Hal itu menjadi dasar Heru untuk mengkritik Agus, yang pernah mengatakan ke Heru bahwa ia tidak pernah membagi pemahaman spiritualnya dengan saya, lantaran saya tidak tertarik dengan spiritualitas.

“Kamu hanya berteori, Gus. Anto (nama asli saya; Arifin adalah nama Subud) itu sudah praktik langsung. Meskipun mungkin dia tidak sadar, dia sedang mengikuti bimbingan jiwanya untuk berpuasa. Dia lebih spiritual daripada kamu,” kata Heru kepada Agus suatu hari.

Pada pertengahan kedua tahun 2003, saya dan Agus dipecat dari biro iklan tempat kami bekerja. Dia kembali ke Jakarta, sedangkan saya menetap di Surabaya dan menjadi copywriter lepasan untuk biro iklan milik Heru yang sudah di ambang kebangkrutan. Karena belum tersedia ruang kerja buat saya, Heru mempersilakan saya untuk menempati ruang rapat. Di ruang rapat itu terdapat sebuah lemari buku yang menyimpan koleksi buku-buku bertema pemasaran, periklanan, branding, dan desain grafis. Mengetahui bahwa saya hobi membaca, Heru mempersilakan saya mengakses buku-buku miliknya itu, yang tentu saja saya sambut gembira.

Dua buku menarik perhatian saya, karena tampak berbeda lantaran bukan bertema periklanan atau pemasaran. Terjepit di sudut lemari, kedua buku itu masing-masing menampakkan judul-judulnya: Susila Budhi Dharma dan Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo. Saya mengambil Susila Budhi Dharma. Foto seorang pria dalam busana tradisional pria Jawa di bagian muka buku membuat jantung saya berdebar. Saya mengira Heru adalah pengikut Kejawen atau aliran sesat. Saya segera menutup buku tersebut dan mengembalikannya di tempat semula. Buku Autobiografi lebih ramah bagi saya, kecuali tulisan “Khusus untuk Anggota” di bagian bawah kulit buku tampak mengintimidasi.

Karena Heru sedang pergi ke kantor kliennya, dan saya hanya berdua dengan pegawai administrasi di kantor biro iklan miliknya itu, saya memberanikan diri membaca Autobiografi. Jantung saya berdebar kencang membaca jalinan kalimat di buku tersebut, terasa hidup dan seolah menyedot saya ke dalam kisah-kisah yang diceritakannya. Saya ingin melanjutkan membacanya malam itu, tetapi khawatir Heru tidak akan membolehkan saya membawa buku itu pulang saya pun diam-diam memasukkannya ke dalam tas saya. Malam itu, sambil berbaring di ranjang, saya larut dalam pembacaan Autobiografi. Perlahan-lahan, kepercayaan saya kepada Tuhan mulai muncul kembali, dipicu oleh dialektika pribadi saya selama membaca buku tersebut.

Pada akhirnya, Heru mengetahui bahwa saya telah diam-diam membawa pulang buku Autobiografi RM Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo miliknya. Baginya, tidak apa-apa saya melakukan itu, tetapi ia sedikit khawatir bila “sesuatu” terjadi pada diri saya dalam proses pembacaan. Mungkin Heru khawatir saya mengalami krisis. Tetapi saya meyakinkan dia bahwa saya baik-baik saja, dan bahwa saya percaya semua yang tertulis di dalamnya, walaupun saya tidak begitu mengerti mengapa saya mempercayainya. “Jika Tuhan menghendaki, aku rasa ya bisa saja terjadi,” kata saya, singkat.

Kehadiran Maha Besar

PADA suatu ketika, masih di tahun 2003, Heru mengajak saya ke kantor kliennya, sebuah lembaga amil zakat nasional di Surabaya, untuk mendapatkan brief pengerjaan delapan iklan cetak, yang diharapkan si klien dapat menyuguhkan ide-ide kreatif yang out-of-the-box. Sepulang dari kantor klien, karena hari sudah malam Heru menyuruh saya pulang. Ia berpesan, begitu sampai di rumah agar saya mandi dan kemudian tidur. “Sebelum tidur, kamu mohon pada Tuhan, ‘Ya Allah, jika proyek ini memang rezekiku tolong aku diberi petunjuk. Jika tidak ya tidak apa-apa.’ Jangan kamu paksa Tuhan, pasrahkan saja,” pesan Heru.

Saya melakukan semua yang Heru sampaikan ke saya. Sekitar jam dua dini hari, saya terbangun oleh sebuah kilasan visual, antara tidur dan terjaga. Saya membatin, “Apakah itu?” Suara diri saya berkata, “Lakukan salat Tahajud dulu.”

Saya pun menunaikan salat Tahajud sebanyak dua raka’at, namun saya kecewa karena saya tidak mendapat apa-apa lagi setelahnya. Saya lalu duduk sendirian di dapur, termenung sambil mengisap beberapa batang rokok berturut-turut. Nah, saat itulah saya merasakan kepala saya terbelah dan sebuah cahaya memasuki ruang bagian dalam kepala saya, mengucurkan delapan ide cemerlang untuk kedelapan iklan cetak yang diminta kliennya Heru. Saya serasa didikte oleh sesuatu yang gaib untuk mencatat masing-masing ide, baik secara tekstual maupun visual.

Ketika saya mempresentasikan ide-ide dari sumber gaib itu ke Heru, ia memegang dada kirinya, sembari mengatakan bahwa bila dadanya bergetar, maka itu adalah pertanda baginya bahwa ide-ide itu memang luar biasa. Ia lantas menyuruh desainer grafisnya untuk me-layout ide-ide itu menjadi iklan cetak.

Beberapa hari kemudian, kami berdua pergi ke kantor klien untuk mempresentasikan dummy iklannya. Karena demam panggung, saya minta Heru yang mempresentasikannya, tetapi ia menolak, dengan alasan bahwa sayalah yang menerima ide-ide itu pertama kalinya. Heru menyuruh saya, yang duduk di sebelahnya, untuk memejamkan mata dan menghentikan pikiran saya. Sesaat kemudian saya merasakan suatu keberadaan yang maha besar duduk persis di sebelah saya, merangkul saya dan menenangkan saya. Seolah ia berkata ke saya agar saya rileks, tidak perlu takut. Lalu ia berkata, “Mulai!” Seketika saya mulai berbicara, mempresentasikan ide-ide itu. Saya tidak berpikir sama sekali dan menyaksikan bagaimana mulut saya bergerak sendiri, mengucapkan kalimat demi kalimat yang menggambarkan rasional kreatif dari dummy iklan-iklan itu.

Di luar dugaan saya maupun Heru, klien sangat senang dengan ide-idenya dan untuk pertama kalinya dalam karier Heru ia baru mengalami saat itu klien menyetujui konsep kreatifnya justru di presentasi pertama, tanpa ada revisi sama sekali. Iklan-iklan itu ditayangkan di koran nasional yang berbasis di Surabaya selama bulan Ramadan 2003, untuk menarik zakat, infak dan sedekah dari umat Islam. Dan dampak dari kampanye iklan cetak itu, klien kami berhasil mengumpulkan jumlah terbesar dalam sejarah keberadaan lembaga amil zakat itu: Rp1,8 miliar dalam satu hari, sehari sebelum Idulfitri tahun 2003!

Ketika saya mengutarakan kekaguman saya yang luar biasa atas pengalaman itu, Heru berkomentar, “Itulah yang sering aku alami sejak aku melakukan Latihan Kejiwaan Subud.”

Perusahaan Pertambangan

SEKITAR tiga minggu setelah Idulfitri, Agus datang ke Surabaya, mengunjungi biro iklan milik Heru dan menemui kami. Agus masih orang yang sama, yang suka membedah hakikat Tuhan dan mengulas ajaran-ajaran spiritual. Heru memberitahunya bahwa hari itu akan ada saudara Subud dari Jakarta yang bertamu ke Wisma Subud Surabaya, dan mengajak Agus ke sana bila ia masih berminat untuk mengetahui lebih banyak tentang Subud. Saya sendiri berharap tidak diajak, tetapi Heru tiba-tiba berkata, “Kamu ikut juga ya?!”

Awalnya saya menolak, karena saya merasa mengantuk dan ingin segera pulang. Heru tahu benar bahwa saya sangat suka makan, sehingga ia melakukan pendekatan yang unik untuk mengajak saya, “Ada banyak makanan enak di Subud!” Saya terbujuk rayuannya dan mengiyakan ajakannya. Lucunya, yang terjadi di Wisma Subud Surabaya adalah saya dan Agus malah bertukar tempat: Dia yang mendatangi meja makan dan mengambil makanan serta asyik menikmatinya, sedangkan saya terpaksa berdiri di hadapan seorang pria berbadan besar yang duduk di teras Hall Latihan.

Heru memperkenalkan saya kepada pria tersebut, “Mas Adji, ini teman saya ingin tahu tentang Subud.”

Tentu saja saya membantah tetapi di dalam hati, karena sejatinya bukan saya yang ingin masuk Subud, melainkan Agus. Bagaimanapun, saya berusaha menemukan alasan yang tepat ketika Mas Adji bertanya, apa yang sudah saya ketahui tentang Subud. Dengan gugup saya menjawab bahwa yang saya tahu adalah bahwa Subud adalah sebuah perusahaan pertambangan.

Saya pernah bersama seorang teman berada dalam kendaraan umum yang melewati Wisma Subud Cilandak di Jalan RS Fatmawati, Jakarta Selatan, dan teman itu dengan sok taunya memberitahu saya, “Lihat, itu Subud, sebuah perusahaan pertambangan. Lihat itu banyak orang asing yang bekerja di situ!”

Ketika saya mengarahkan pandangan saya ke gerbang Wisma Subud memang tampak beberapa orang kulit putih berjalan keluar, jadi saya yakin Subud memang seperti yang dikatakan teman saya. Bagi masyarakat Indonesia, perusahaan yang memperkerjakan orang asing pastilah perusahaan besar, dan kebanyakan perusahaan besar di Indonesia memang bergerak di bidang pertambangan dan migas.

Mendengar jawaban saya, Mas Adji tertawa terbahak-bahak sampai bahunya bergoncang. Matanya menyipit ketika tertawa, membuatnya segera mengingatkan saya pada aktor Hong Kong, Chow Yun Fat. Mas Adji kemudian berkata bahwa Subud memang memiliki tambang, tetapi Subud bukan itu. “Subud adalah pendidikan jiwa,” katanya. Ia lantas mempersilakan saya dan Agus memasuki Hall Latihan, di mana sejumlah anggota dan pembantu pelatih Cabang Surabaya telah berkumpul, duduk lesehan di lantai Hall beralaskan karpet. Mas Adji mengambil tempat di depan mereka semua, duduk di kursi. Pemandangan itu mengingatkan saya pada ruangan besar di istana kerajaan, di mana raja yang duduk di singgasana kebesarannya bertemu dengan rakyatnya yang bersikap penuh hormat dan segan.

Masih segar di ingatan saya saat ini tentang malam itu, ketika Mas Adji membacakan salah satu bab dari buku Susila Budhi Dharma. Yang tidak saya ingat adalah ucapannya, karena saya terlalu sibuk dengan merasakan kepala saya tiba-tiba membesar lalu mengecil dan kemudian serasa dijepit dari kedua sisi oleh dua tangan raksasa, dan jantung saya serasa jatuh ke perut. Beberapa pembantu pelatih telah berusaha meminta saya dan Agus agar meninggalkan ruangan, karena kami dianggap belum dibuka, bahkan belum mengandidat. Tetapi para pembantu pelatih itu hanya mendapat hardikan keras dari Mas Adji, yang memberitahu mereka bahwa sebagai anggota Subud mereka wajib menjelaskan kepada siapapun yang berminat.

Akhirnya, Mas Adji sendiri yang meminta saya dan Agus untuk meninggalkan ruangan, karena acara selanjutnya hanya untuk anggota. Mas Adji menyatakan ingin bersalaman dengan “Mas Anto dan temannya” (dia sejak semula tidak pernah menyebut nama Agus). Ketika Mas Adji menggenggam tangan kanan saya dengan erat, ia berkata, “Semoga kita menjadi saudara, ya.” Saya tidak paham apa maksudnya, saat itu.

Takut Mati

KEPERGIAN saya ke Wisma Subud Surabaya malam itu (19 Oktober 2003) tanpa memberitahu istri saya via SMS atau telepon telah membuat istri saya sangat marah dan menghukum saya keesokan harinya dengan menyuruh saya mencuci semua pakaian kotor kami, yang telah menumpuk selama seminggu, sementara ia pergi ke rumah orang tuanya.

Saya biasa mencuci pakaian dengan kedua tangan saya, tetapi pada hari Sabtu, 20 Oktober 2003, itu terjadi sesuatu yang aneh. Saat mendengar kumandang azan Dzuhur, saya tiba-tiba menangis dan sekujur tubuh saya bergetar, seperti tersengat listrik. Lalu, saya mendengar suara diri saya menyuruh saya untuk salat Dzuhur—sesuatu yang sudah lama tidak saya lakukan karena sempat tidak percaya agama dan Tuhan. Usai dua salam yang menutup prosesi salat saya, saya tiba-tiba terjengkang ke belakang dan merasakan sesuatu mendesak keluar dari diri saya.

Saya tiba-tiba ketakutan, takut mati. Apalagi kepada saya secara gaib diperlihatkan sebuah rangkaian visual menyerupai film yang menampilkan deretan perbuatan-perbuatan buruk saya di masa lalu. Hal itu membuat saya menangis sekaligus semakin ketakutan. Saya sangat takut mati saat itu, apalagi membayangkan istri saya nanti pulang lalu menemukan saya sudah menjadi mayat. Dengan panik, saya mengirim SMS ke Heru (kelak saya baru tahu bahwa ia adalah pembantu pelatih Subud Surabaya), menceritakan kejadian itu, dan Heru lantas menelepon saya, menyuruh saya untuk berbaring di ranjang dengan tenang dan tidak melawan apapun yang datang kepada saya. Saya lakukan persis yang ia suruh. Saya merasa badan saya melayang, terbang di atas permukaan kasur, lalu saya tertidur.

Saya terbangun karena mendengar pemberitahuan dari telepon seluler saya tentang adanya telepon masuk. Dari Heru, yang menginformasikan bahwa ia sudah berkonsultasi dengan Dewan Pembantu Pelatih Cabang Surabaya, dan mereka menantikan kedatangan saya di Wisma Subud Surabaya pada hari Senin, 22 Oktober 2003, untuk memulai masa tunggu saya selama tiga bulan. Karena berbagai kesibukan, saya baru dibuka lebih dari empat bulan kemudian, yaitu pada 11 Maret 2004.

Agus sendiri dibuka satu setengah tahun setelah saya, di Jakarta. Dia hanya sebentar di Subud. Kini dia sudah tidak pernah lagi datang Latihan.©2024


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 9 Oktober 2024


No comments: