Wednesday, October 23, 2024

Pengampunan, Bermil-Mil Jauhnya

SEBAGAI orang yang lahir dan besar di Jakarta, saya tidak merasa memiliki kepentingan untuk “pulang kampung”, karena bagi saya Jakarta adalah kampung saya. Setiap menjelang akhir Ramadan, karena itu, saya dan saudara-saudara kandung saya tidak terpikir untuk berdesak-desakan di stasiun kereta api, terminal bus, atau bandara, untuk memenuhi hajat kebanyakan orang Indonesia dalam menyambut Idulfitri, yaitu mudik.

Asal-usul istilah “mudik” masih simpang-siur hingga kini. Ada yang berpendapat bahwa kata itu berasal dari bahasa Jawa Kuno “mudik”, dari kata “udik yang artinya “naik”, “maju (berjalan) ke hulu”, menuju ke darat. Pada zaman dahulu, sebelum di Jakarta terjadi urbanisasi besar-besaran, masih banyak wilayah yang mencantumkan kata udik (utara) atau ilir (hilir) di belakang nama wilayahnya. Beberapa wilayah masih mempertahankan nama itu hingga kini, contohnya kawasan tempat tinggal saya di Tangerang Selatan (sebuah kota di provinsi Banten, 19 mil sebelah baratdaya Jakarta) bernama Pondok Cabe Ilir.

Pada saat Jakarta masih bernama Batavia, yaitu di zaman kolonial Hindia Belanda, suplai hasil bumi untuk Batavia diambil dari wilayah-wilayah di luar tembok kota (pada mulanya, Batavia adalah nama benteng Belanda di wilayah pesisir Jakarta yang kala itu bernama Sundakalapa, dimana hanya orang Eropa boleh bertempat tinggal) di selatan. Para petani dan pedagang hasil bumi tersebut membawa dagangannya melalui sungai. Dari situlah muncul istilah “hilir-mudik”, yang artinya sama dengan bolak-balik. Mudik atau menuju udik saat pulang dari kota kembali ke ladangnya, begitu terus secara berulang kali.

Terdapat juga teori bahwa asal-usul kata “mudik” berasal dari akronim dua kata dalam bahasa Jawa, yaitu “mulih dhisik”, yang berarti “pulang dahulu”. Walau belum dapat dipastikan kebenarannya, namun teori ini beredar cukup luas, terlebih di kalangan masyarakat Jawa.

Mudik tadinya identik dengan para perantau atau pekerja migran, yang pulang ke kampung halamannya menjelang hari raya besar keagamaan, misalnya menjelang Idulfitri, Iduladha, Natal dan Tahun Baru, serta hari-hari libur nasional yang bersambung dengan akhir pekan. Saat mudik adalah kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara di perantauan, selain tentunya juga sowan dan sungkeman dengan orang tua.

Jumlah pemudik, terutama saat menyambut Idulfitri, bisa mencapai jutaan orang dalam beberapa minggu menjelang Idulfitri. Terminal bus, stasiun kereta api dan bandara yang dipadati calon penumpang menjadi pemandangan yang lumrah. Juga jalan-jalan raya yang diantre barisan kendaraan roda empat yang mengular bermil-mil panjangnya. Hal itu menunjukkan betapa penting makna mudik bagi masyarakat Indonesia. Dahulu, di era Orde Baru Presiden Soeharto, ketika manajemen moda transportasi umum masih di bawah standar, para pemudik harus rela menderita secara fisik dan mental untuk dapat memenuhi keinginan pulang ke kampung halaman. Penumpang rela duduk di atap kereta api atau bergelantungan di pintu kereta atau berpegangan erat pada pagar lokomotif. Dan itu hanya untuk meminta maaf secara lahir dan batin kepada sanak saudara di kampung!

Kedua orang tua saya bukan asli Jakarta. Ayah saya berasal dari sebuah kota kecil di kaki Gunung Slamet di Jawa Tengah, bernama Purwokerto. Ibu saya kelahiran Langsa di provinsi Aceh, dibesarkan di Meulaboh, juga di Aceh, dan melewati masa remaja hingga dewasa di Medan, yang merupakan ibukota provinsi Sumatera Utara. Hanya pada musim liburan sekolahlah saya dan saudara-saudara kandung saya dibawa orang tua kami ke Purwokerto atau ke Medan. Tidak pernah mereka memboyong kami mudik ke kampung halaman masing-masing untuk berlebaran dengan para tetua di sana.

Bagi orang tua saya, tidak perlu mudik, karena selain selama musim mudik sulit mendapatkan tiket kereta api atau bus atau pesawat serta berjubelnya calon penumpang di stasiun, terminal, dan bandara, mereka merasa Jakarta sudah menjadi “kampung permanen” mereka. Apalagi ayah saya, sebagai anak tertua dari tujuh bersaudara, secara tradisi Jawa merupakan orang yang dituakan, yaitu orang yang selama Idulfitri mendapat privilese untuk dikunjungi oleh keluarga yang orang tuanya tergolong lebih muda dari beliau.

Kebiasaan mudik baru saya alami setelah saya menikah dengan istri saya. Istri saya sejak lahir hingga dewasa tinggal di Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta dan merupakan ibukota dari provinsi Jawa Timur. Letaknya yang berjarak lebih dari 500 mil di sebelah timur Jakarta, membuat kepulangan ke Surabaya, terutama dengan kereta api atau bus yang memakan waktu lebih lama daripada dengan pesawat terbang, layak disebut “mudik”. Surabaya sendiri bukanlah kampung dalam pengertian kata itu. Surabaya adalah salah satu dari empat kota pusat utama di Indonesia, bersama Jakarta, Medan, dan Makassar. Surabaya telah menjadi salah satu kota pelabuhan perdagangan tersibuk di Asia. Orang yang terbiasa hidup di tengah kemegahan kota metropolitan Jakarta, seperti saya, akan merasa Surabaya sama saja dengan ibukota Republik Indonesia itu.

Namun, Surabaya hanyalah sebuah titik awal dari perjalanan mudik saya dan keluarga inti saya. Dari sana, ibu mertua saya akan mengajak kami melakukan mudik ke sejumlah daerah di Jawa Timur, terutama ke Kediri dan Blitar, tempat ibu mertua saya melalui masa mudanya. Di kedua kota itu bertebaran para kerabat beliau, sebagian yang bahkan istri saya tidak mengenal nama mereka melainkan panggilan mereka menurut hierarki keluarga besar, seperti eyang kakung (kakek), eyang putri (nenek), mas (kakak laki-laki/kata sapaan hormat untuk laki-laki Jawa), atau mbak (kakak perempuan/kata sapaan hormat untuk perempuan Jawa).

Tidak terlalu masalah sebenarnya jika Anda tidak mengenal siapa yang Anda jumpai saat kunjungan sosial dalam rangka Idulfitri itu, yang penting Anda mengulurkan kedua tangan untuk bersalaman dengan tuan rumah dan keluarganya sambil meminta pengampunan atas kesalahan-kesalahan yang pernah Anda buat, baik secara lahir maupun batin. Kepada orang-orang yang secara usia sudah uzur, permintaan maaf dilakukan mereka yang lebih muda dengan sungkem.

Bagi orang asing, tradisi ini mungkin membingungkan—bagaimana mungkin kita telah berbuat salah terhadap seseorang yang belum tentu kita pernah bertemu dengannya sebelumnya. Anda mungkin merasa tidak pernah berbuat salah pada orang yang tergolong asing bagi Anda, tetapi bukan itu masalahnya. Dalam tradisi Jawa, permintaan maaf secara lahir dan batin pada penutup bulan Ramadan atau selama Idulfitri pada hakikatnya menyalurkan keterhubungan kita dengan leluhur kita. Tindakan meminta maaf itu melambangkan bahwa kita mewakili para leluhur yang sudah tiada untuk mendapatkan pengampunan atas dosa-dosa mereka semasa hidupnya. Pengampunan itu sangat bernilai bagi semua orang, tak peduli berapa mil jarak yang harus ditempuh.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 23 Oktober 2024

No comments: