SEORANG saudara Subud yang pernah bertemu dengan beliau di Kongres Dunia 2018 di Freiburg bertanya ke saya bagaimana saya bisa begitu akrab dengan Ruslan Moore, padahal saya belum pernah bertemu beliau secara langsung. Mungkin itu yang namanya hubungan jiwa ke jiwa di antara saudara Subud.
Memang unik hubungan saya dengan Ruslan. Saya mengenal beliau pertama kali di Facebook bertahun-tahun lalu. Dalam konversasi kami via Facebook, email dan sejak 19 Oktober 2020 melalui WhatsApp, terungkap bagi saya bahwa almarhum Ruslan Moore adalah seorang yang oleh Bapak digolongkan sebagai Subud-minded. Beliau sangat setia pada Bapak dan tidak menoleransi mereka yang melakukan mixing sementara mereka sudah dibuka, atau yang menyimpang dari hal-hal yang sudah digariskan Bapak.
Komunikasi yang cukup intensif akhirnya membuat saya merasa bahwa beliau adalah seorang ayah bagi saya. Seorang ayah spiritual lintas benua—sebagaimana Ruslan memperlakukan Bapak Muhammad Subuh bagi beliau sendiri.
Ruslan-lah yang terus menerus memotivasi saya untuk rajin dan tekun Latihan Kejiwaan. Sebagai muslim yang taat, bagaimanapun, beliau tidak mempermasalahkan saya yang berterus terang kepada beliau bahwa saya telah meninggalkan agama Islam dan tidak memeluk agama apapun. Ketika saya krisis, merasa diri seorang Buddhis, pun beliau tidak menilai hal itu buruk. “Apapun jalan yang kamu pilih, jalankan sebaik-baiknya dengan tetap mengikuti bimbingan Tuhan,” tulis Ruslan dalam komentarnya kepada saya di Facebook.
Ruslan tidak keberatan ketika saya menyatakan bahwa beliau saya anggap seperti ayah saya sendiri. Beliau hanya mengingatkan bahwa diri beliau bukanlah manusia yang sempurna; beliau memiliki banyak kesalahan dalam hidupnya. Justru saya senang dengan kejujuran beliau. “Saya banyak belajar dari kesalahan, Ruslan. Saya tidak menghargai orang yang tidak pernah berbuat salah, karena orang seperti itu tidak manusiawi.”
Ruslan sering berbagi cerita tentang grup Subud di Malawi, Afrika Timur, yang beliau rintis. Berawal dari satu orang, grup itu kini telah berkembang pesat dengan keanggotaan mencapai seratusan. Meski sudah berumur dan acap terganggu kesehatannya, beliau tetap rutin terbang dari AS ke benua Afrika untuk mengunjungi grup itu dan tinggal berbulan-bulan di Malawi.
Suatu pengalaman ajaib dan lucu pernah saya lalui terkait kepergian Ruslan ke Malawi. Bulan September 2015, Ruslan menghubungi saya melalui Facebook Messenger untuk meminta tolong dikirimi 22 karton rokok kretek Indonesia yang beliau sukai, Djarum Super 16, karena beliau akan ke Malawi dan tinggal di sana selama empat bulan. Saya menyanggupinya.
Karena mengirim rokok dalam jumlah banyak ke Amerika Serikat tidak memungkinkan, lantaran undang-undang bea cukai yang amat ketat, Ruslan meminta saya untuk mengirimkannya ke Malawi. Beliau mentransfer uang senilai Rp15 juta ke saya via Western Union. “Ambil sisanya untuk kamu,” tulis Ruslan dalam pesan Facebook Messenger-nya.
Berbekal uang itu, saya mendatangi sejumlah toko kelontong di lingkungan rumah saya hingga terkumpul 22 karton Djarum Super 16. Saya kemas dalam kardus besar yang dibungkus dengan rapi dan saya bawa ke cabang DHL terdekat rumah saya di Jakarta Selatan.
Waktu itu jam sebelas malam dan kantor DHL sepi, hanya saya pelanggan yang datang. Seorang petugas menerima paket saya. Dia menanyakan apa isinya. Tanpa ragu—karena saya tidak tahu apapun mengenai peraturan pengiriman barang ke luar negeri—saya jawab, “Rokok, 22 karton.”
Si petugas tidak mempermasalahkan, sehingga saya mengira bahwa UU di Indonesia tidak melarang pengiriman rokok dalam jumlah besar. Ia membuka kardus yang saya bawa untuk memindahkan berbungkus-bungkus rokok itu ke kardus berlogo DHL dan mengemasinya kembali. Ia memberi saya resi pengiriman, yang mencantumkan harga yang harus saya bayar, yang menyisakan Rp4 juta. Saya kemudian pulang.
Lima hari kemudian, Ruslan mengabari saya bahwa paket sudah sampai alamat di Malawi dalam keadaan utuh.
Tahun 2016, kembali Ruslan meminta bantuan saya untuk mengirim 18 karton rokok Djarum Super 16 ke Malawi karena beliau akan ke sana lagi. Kali ini saya tidak menyanggupinya karena saya sedang disibukkan oleh proyek branding dari klien saya. Saya menawarkan E, seorang anggota Subud Jakarta Selatan, yang saya rasa bakal cocok dengan Ruslan (paling tidak, karena E juga mengisap Djarum Super dan fasih berbahasa Inggris). Bagi Ruslan, tidak menjadi soal siapa yang membantunya, yang penting 18 karton rokok bisa terkirim ke Malawi sesuai harapannya. E pun mulai bekerja, mengumpulkan 18 karton rokok dan membawanya ke DHL Pasarminggu (sama dengan tempat pengiriman 22 karton sebelumnya oleh saya).
E mem-WhatsApp saya bahwa dirinya mengalami kendala dalam pengiriman. Pihak DHL menolak barang yang akan E kirimkan, karena ada undang-undang yang melarang pengiriman rokok lebih dari satu setengah karton per hari. Lucunya, UU itu telah berlaku sejak 2013—yang artinya saya seharusnya terkena larangan itu ketika mengirimkan 22 karton pada tahun 2015.
E berargumentasi bahwa sebelumnya ada temannya (yaitu saya) yang pernah mengirim 22 karton ke alamat yang sama dan oleh petugas DHL Pasarminggu diperbolehkan. Tidak percaya dengan argumen E, si petugas meminta resi pengiriman pada tanggal saya mengirimkan 22 karton itu. E lantas menghubungi saya, meminta saya me-WhatsApp foto resinya, yang kemudian segera saya lakukan.
Betapa terkejutnya si petugas DHL ketika melihat foto resi yang saya kirim ke E. Pasalnya, nama petugas yang tercantum pada resi tersebut adalah milik petugas yang menolak melayani E lantaran adanya UU tersebut!
Berpedoman pada UU tersebut, akhirnya E tiap hari mendatangi DHL untuk mengirim satu setengah karton hingga seluruh 18 karton terkirim. Dan hal itu menimbulkan biaya besar.
Ketika saya menceritakan hal itu kepada Ruslan, beliau berkomentar, “Itulah, makanya saya hanya minta bantuan kamu. Kamu punya kekuatan spiritual yang E belum punya.”
Saya memiliki cukup banyak kenangan dengan Ruslan Moore yang belum pernah saya temui secara langsung, melebihi saudara-saudara Subud Indonesia yang sebaliknya pernah bertemu beliau.
Saya ingat beberapa tahun lalu Ruslan menawarkan ke saya bilamana saya mau menjadi pembantu pelatih, beliau akan minta ke Ibu Rahayu. Saya bertanya-tanya pada saat itu, seberapa dekat Ruslan dengan Ibu sampai beliau bisa meminta ke Ibu untuk suatu tugas di Subud yang membutuhkan tanggung jawab yang besar.
Beliau merasa saya sudah pas untuk menjadi pembantu pelatih karena menurut beliau saya selalu jujur dengan penerimaan saya. Saya menolak tapi Ruslan mendesak agar saya melakukan testing dulu. Beliau memberi saya tiga pertanyaan terkait tingkat penyerahan diri saya dan bagaimana Latihan saya. Kami berdua melakukan testing itu, Ruslan di Fort Lauderdale, Florida, dan saya di Jakarta.
Saya menerima bahwa saya belum siap, begitu pula penerimaan Ruslan. Tapi beliau menambahkan, “Tuh kan, kamu jujur dengan penerimaanmu. Itu salah satu tanda dari pembantu pelatih yang baik."
Obrolan-obrolan kami, terutama dalam kejiwaan, banyak menginspirasi saya untuk “kembali ke Bapak”, menelusuri dan mempraktikkan Subud yang orisinal, yang dewasa ini meluntur karena kurangnya kepedulian pembantu pelatih untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi mereka secara bertanggung jawab sebagai “pembantu Bapak” yang sesungguhnya. Setiap kali berkomunikasi, kuat sekali saya rasakan vibrasi kehangatan seorang ayah kepada anaknya yang terpancar dari diri Ruslan. Hal ini menumbuhkan kerinduan yang besar pada diri saya untuk bertemu muka dengan sang ayah spiritual lintas benua.
Pesan WhatsApp Ruslan ke saya pada 6 Agustus 2023, membahas bagaimana bila ia meninggal.
“Jika Tuhan menghendaki, Arifin, dan kamu ikhlas, keinginanmu akan terwujud,” tulis Ruslan dalam pesan WhatsApp beliau. Saya pun menunggu penuh harap akan hari pertemuan itu.
Namun yang datang ke saya pada 28 Oktober 2024 pukul 08.04 (Waktu Indonesia Barat) adalah pesan WhatsApp dari satu saudara Subud asal Indonesia yang tinggal di Gainesville, Florida, AS, bahwa Ruslan Moore wafat pada hari Senin, 28 Oktober 2024, pukul 4.05 pagi US Eastern Standard Time. Selamat jalan, Ayah. Engkau akan selalu kurindukan sampai saatku pun tiba untuk kembali kepada Sang Pencipta.©2024
Pondok
Cabe, Tangerang Selatan, 29 Oktober 2024
No comments:
Post a Comment