Friday, October 11, 2024

Puncak Wijaya


AYAH saya terlahir dengan nama Kislam, gabungan dari kata “ki” dan “islam”. Beliau sendiri yang menceritakannya ke saya, jauh sebelum beliau wafat pada 1 November 1995.

“Ki” adalah sebutan atau gelaran yang dikenal dalam masyarakat Jawa. “Ki” berhubungan dengan kata “aki” yang berarti laki-laki atau bapak. Sebutan “ki” setara dengan kata “nyi” yang berhubungan dengan kata “nyai” untuk menyebut perempuan atau ibu. “Islam” adalah nama agama yang dianut ayah saya. Mungkin kakek saya (ayah dari ayah saya) berharap ayah saya kelak menjadi ulama atau kyai.

Tetapi—yang lazim menjadi latar belakang kisah orang-orang hebat di Jawa—nama “Kislam” rupanya memberatkan keadaan diri ayah saya secara lahir. Akibatnya, ayah saya semasa kecil sering sakit dan memiliki kepribadian yang lemah. Ayah saya menuturkan bahwa karena itulah nama beliau harus diganti. Beliau tidak merinci apakah kakek saya yang mengganti nama beliau atas keputusan sendiri atau atas saran “orang pintar”.

Nama beliau diganti menjadi “Slamet Wijaya”. Kabarnya, nama Slamet diambil dari Gunung Slamet yang siluetnya terlihat jelas dari arah pintu depan rumah kakek saya di Desa Sumampir, Kecamatan Purwokerto Utara, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Dan “Wijaya” ditambahkan di belakangnya, tetapi ayah saya tidak sampai ke detail mengapa nama “Wijaya” yang digunakan sebagai tambahan.

Harapan kakek saya adalah agar ayah saya tumbuh menjadi pribadi yang tegar, kuat dan berwibawa sebagaimana orang Jawa, khususnya di daerah Banyumas dan sekitarnya, melihat sosok Gunung Slamet. Dan sebagaimana yang dipercayai masyarakat Jawa terhadap penggantian nama, ayah saya memang merupakan pribadi yang tegar, kuat dan berwibawa. Bayangkan, di usia 15 tahun beliau nekat bergabung sebagai anggota TNI yang baru dibentuk (1947) dan sudah keluyuran di hutan dan gunung dengan memanggul senjata, siap menghadapi musuh yang merongrong eksistensi Republik Indonesia.

Beliau sebenarnya kelahiran 15 Agustus 1933, tetapi demi bisa diterima sebagai anggota TNI, yang syarat usianya minimal 17 tahun, beliau palsukan tanggal lahir beliau menjadi 26 Januari 1930. Konon, tanggal 26 Januari beliau comot dari tanggal lahir Jenderal Douglas MacArthur (26 Januari 1888), panglima Sekutu untuk Pasifik Barat Daya, yang diidolakan ayah saya. Tanggal itu terus melekat pada diri beliau, tertera di nisan beliau, dan kami anak-anaknya senantiasa memperingati 26 Januari sebagai hari ulang tahun beliau.

Sesuai nama barunya, di usia yang tergolong belia itu beliau sudah meninggalkan rumah dan menjadi pria yang mandiri dengan berkarier di ketentaraan, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dan tidak melulu bercokol di kampung halaman beliau, Purwokerto.

Baru-baru ini, sebuah akun Instagram mengunggah video pendakian Gunung Slamet, yang ketika mencapai salah satu puncaknya menampakkan papan bertuliskan “Puncak Wijaya”. Di 3.248 meter di atas permukaan laut (mdpl), Wijaya merupakan puncak tertinggi kedua Gunung Slamet (3.432 mdpl)—puncak tertingginya, Puncak Surono namanya, berada di 3.428 meter di atas permukaan laut. Yang terlihat dari arah rumah kakek saya tampaknya adalah Puncak Wijaya.

Bagi masyarakat Jawa, puncak (gunung) melambangkan Yang Maha Tinggi. Jadi lengkap pengertian saya mengenai nama ayah saya: tegar, kuat, dan berwibawa tetapi tak pernah lupa untuk berpasrah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 12 Oktober 2024

No comments: