PADA tahun 2005—saya tidak ingat
tanggal dan bulannya, tapi sepertinya Maret, saya dalam keadaan antara tidur
dan sadar melihat siluet seorang pria tua dari arah kasur yang saya tiduri di
rumah kontrakan saya di Jl. Margodadi III, Surabaya, Jawa Timur. Waktu itu jam
dua dinihari.
Siluet itu dapat saya lihat karena
meski kamar saya gelap, pintu kamar biasa saya biarkan terbuka dan di pojok
depan kamar mandi, yang letaknya di sebelah kamar tidur saya, terpasang lampu
neon yang saya biarkan menyala sepanjang malam.
Batin saya dan pria itu seperti
tersambung dan segera saya dapat mengenali bahwa beliau adalah Om Amen, adik
kandung dari almarhum ibu saya, yang tinggal di Medan, Sumatera Utara. Dalam
dialog jiwa ke jiwa antara saya dan paman saya tersebut, beliau berpamitan;
beliau juga mengatakan, “Nanti kita ketemu lagi ya, To. Om pergi dulu.” Siluet
itu pun sirna dari pandangan saya, dan saya kembali tidur.
Ketika saya terbangun paginya, ponsel
saya berbunyi. Kakak kandung saya di Jakarta mengabari bahwa Om Amen telah
meninggal dunia pada jam dua dinihari. Persis pada saat siluet sosok paman saya
itu muncul di kamar saya. Saya pun bercerita ke kakak saya, bahwa pada jam itu,
antara mimpi dan kenyataan, saya didatangi Om Amen untuk berpamitan. Pertanyaan
kakak saya: “Lho, kamu kan nggak dekat dengan Om Amen, kok Om Amen pamitan ke kamu?!”
Saya juga tidak mengerti mengapa
begitu.
Entah dalam mimpi atau melalui keadaan-keadaan
nyata, saya kerap berhubungan jiwa ke jiwa dengan orang yang sudah atau akan
meninggal, entah itu masih famili saya atau orang lain yang tidak sedarah.
Ketika Mas Adji, cucu tiri dari Bapak Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo, meninggal
pada Februari 2005, saya yang sedang duduk di depan komputer di kantor saya
tiba-tiba merasa tidak enak badan. Saya gemetar, serasa mau mati, dan tiba-tiba
ada sesuatu di dalam diri saya yang serasa keluar dari badan saya, langsung
melesat pergi. Saya mendapat pengertian bahwa ada seorang saudara SUBUD telah
pergi untuk selamanya. Beberapa menit kemudian, pembantu pelatih daerah SUBUD
Cabang Surabaya, Pak Soejanto Luwihardjo menelepon saya, memberitahu tentang
wafatnya Mas Adji.
Perihal pengalaman jiwa ke jiwa dalam
kaitan dengan paman saya di Purwokerto, yang menghendaki masuk SUBUD pada tahun
2007, pernah saya publikasikan di blog ini dengan judul “Kebenaran Latihan
Kejiwaan SUBUD yang Saya Terima” (klik http://kriyashakti.blogspot.com/2018/09/kebenaran-latihan-kejiwaan-subud-yang.html).
Paman itu dan kemudian paman lainnya (adik kandung ayah saya juga) di
Purwokerto, yang meninggal pada 3 September 2007, saya rasakan proses kepulangannya
ke alam keabadian. Om Darno, begitu saya memanggilnya, sedang dalam keadaan kritis,
ketika sepupu saya di Purwokerto menelepon saya yang sedang berada di Ungaran,
Jawa Tengah, dalam rangka acara Konsolidasi Pemuda SUBUD Indonesia, pada 1-2
September 2007, menginformasikan hal itu dan meminta saya menunda kepulangan ke
Jakarta dan agar kembali ke Purwokerto pada hari itu juga.
Karena bingung dan grogi, saya
kemudian mengajak satu saudara SUBUD, yang juga menginap bersama saya di rumah
seorang pembantu pelatih SUBUD Ranting Ungaran, untuk menemani saya melakukan
Latihan Kejiwaan di ruangan di rumah tersebut yang memang diperuntukkan para
anggota Ranting Ungaran berlatih kejiwaan. Dalam Latihan Kejiwaan itu, saya merasakan
sesuatu keluar dari diri saya, dan saya merentangkan kedua lengan ke atas dan
mendongakkan kepala saya, seraya berucap “inna
lilahi wa inna ilaihi roji’uun”. Saya tidak mengerti mengapa, tapi perasaan
saya tidak enak. Usai Latihan, saya segera memeriksa ponsel saya—mungkin ada
SMS masuk atau miscall. Tidak ada apa
pun di layar ponsel saya yang menginformasikan adanya SMS atau miscall, tapi mata saya sempat melihat
jam menunjukkan pukul 09.33 WIB.
Sepuluh menit kemudian, sepupu saya
menelepon saya lagi. Kali itu untuk memberitahu bahwa Om Darno sudah pergi
untuk selama-lamanya. “Jam berapa?” tanya saya.
“Jam sembilan lewat tiga puluh tiga
menit, Mas,” jawab sepupu saya.
Jawaban itu membuat saya merinding.
Saya merasa, Latihan Kejiwaan yang saya lakukan tadi telah menjadi “jembatan”
bagi paman saya untuk kembali kepada Sang Pencipta.
Segera setelah mendapat telepon
tersebut, saya menelepon pemilik rumah, Mas Susilo Haksoro namanya, yang sedang
mengantar Koordinator Pemuda SUBUD Indonesia ke Bandar Udara Ahmad Yani
Semarang dan sesudah itu akan ke Stasiun Semarang Tawang untuk memesan tiket KA
Argo Bromo Anggrek buat saya pulang ke Jakarta malamnya. Saya menelepon Mas
Susilo untuk membatalkan pemesanan tiket kereta api, karena saya toh harus kembali ke Purwokerto
menumpang bus. Beberapa hari sebelum acara Konsolidasi Pemuda SUBUD Indonesia
digelar di Bandungan, Ungaran, saya memang sedang berada di Purwokerto dalam
rangka pengukuhan satu saudari SUBUD dari Cabang Purwokerto menjadi gurubesar
Universitas Jenderal Soedirman, dan saya sengaja terus tinggal di Purwokerto
karena lebih dekat ke Ungaran.
Mas Susilo beserta istrinya, Mbak
Dini, tiba kembali di rumah dengan membawa tiket bus Lorena jurusan Purwokerto
yang berangkat jam 12.00 WIB, dan sejumlah oleh-oleh untuk saya bawa ke
Purwokerto. Saya tiba di Purwokerto tidak lama setelah magrib. Di rumah duka,
saya berjumpa dengan kakak dan adik saya, sepupu-sepupu, dan ipar-ipar saya
yang baru tiba di Purwokerto dengan bermobil. Satu sepupu saya berujar, “Mas
Anto kok selalu kebetulan ya ada di
tempat saat Om Darisan dan saat Om Darno meninggal.” Saya hanya tersenyum—karena
juga tidak mengerti mengapa bisa begitu. Kebetulan saya tidak percaya “kebetulan”.
Mungkin karena hubungan jiwa ke jiwa, di mana jiwa paman-paman saya berkoneksi
dengan jiwa saya.
Seorang pembantu pelatih sepuh SUBUD
Cabang Jakarta Selatan, almarhum Pak Djoko Mulyono, pernah berbagi pengetahuan
ke saya, bahwa jiwa orang yang akan meninggal sudah terlebih dahulu
meninggalkan tubuh orang tersebut. Yang masih tinggal pada orang itu adalah
akal pikir dan nafsunya, karena akal pikir dan nafsu adalah dua unsur niskala
pada diri manusia yang paling sulit berserah diri. Jiwa yang sudah meninggalkan
wadahnya akan berhubungan dengan jiwa-jiwa yang utama (yang sudah terbuka dan
menerima bimbingan kekuasaan Tuhan), yang belum tentu dari kerabat orang
tersebut.
Kebenaran dari apa yang disampaikan
almarhum Pak Djoko itu ke saya, saya alami pada hari Jumat, 30 November 2018
lalu. Sepulang dari menengok adik ipar saya yang sedang kritis, almarhum Riza
Aulia bin Achmad Kamal (14 April 1968-2 Desember 2018), saya menuju Tebet untuk
memenuhi jadwal Latihan Kejiwaan rutin tiap Jumat malam di kediaman pembantu
pelatih daerah (PPD) Cabang Jakarta Selatan, Mas Luthfie Hadiyin, di kompleks
perumahan Regensi Tebet Mas, Jakarta Selatan. Saat penenangan diri, saya
berucap “inna lilahi wa inna ilaihi ro’jiuun”
serta mendaraskan puji dan puja kepada Allah Swt, seperti layaknya tahlilan.
Lalu, ketika masuk ke momen Latihan Kejiwaan, saya terus mendaraskan puja dan
puji seperti sebelumnya, dengan rasa perasaan yang dipenuhi kedamaian dan
kesukacitaan. Rasanya ringan dan melayang.
Kemudian, saya “melihat” (menyaksikan
dengan rasa diri) sosok adik ipar saya mengulurkan tangan kanannya ke saya
untuk bersalaman, dan kemudian ia terbang menuju lingkaran cahaya putih yang
berangsur-angsur melebar, ke mana ruh adik ipar saya masuk dan menyatu dengan
semesta alam. Saat itulah, saya merasa pasti, dalam beberapa hari lagi Riza
akan meninggalkan dunia fana ini. Ia mengembuskan napas terakhir pada 2
Desember 2018, pukul 12.50 WIB, di rumahnya. Saya tidak seberapa dekat dengan
almarhum semasa hidupnya, tapi rupanya hubungan jiwa ke jiwa antara almarhum
dan saya lebih dekat daripada yang dapat dijangkau akal pikir siapa pun.©2018
Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 5 Desember 2018