Saat Kelompok SUBUD Tebet bersilaturahmi ke Wisma SUBUD Bogor pada 25 Desember 2018. |
SEBAGAI
sebuah perkumpulan, adalah lazim bila persaudaraan kejiwaan Susila Budhi Dharma
(SUBUD) mengadakan kongres nasional dan dunia. Perkumpulan Persaudaraan
Kejiwaan (PPK) SUBUD Indonesia rutin menyelenggarakan kongres nasional dua
tahun sekali. Dalam kongres, anggota, melalui pengurus cabangnya masing-masing
mencalonkan kandidat ketua umum, yang akan memimpin pengurus nasional PPK SUBUD
Indonesia selama satu periode (dua tahun).
Di
kongres juga digelar sidang-sidang yang membahas program-program organisasi,
kepembantupelatihan, dan kepemudaan, yang akan diputuskan oleh kongres untuk
dilaksanakan selama dua tahun kepengurusan dari ketua umum yang terpilih.
Bagaimanapun,
sebagian besar peserta Kongres Nasional SUBUD Indonesia datang untuk
acara-acara kejiwaannya, seperti gathering
dengan sesama anggota dan pembantu pelatih, ceramah dan/atau testing dari Ibu
Rahayu, ataupun sekadar temu kangen dengan saudara-saudara sejiwa yang terpisah
jarak yang jauh. Acara kejiwaan, formal maupun nonformal, di ajang Kongres
Nasional mampu men-charge anggota
dengan semangat baru yang tak terlupakan sepanjang hayat, karena bersama-sama
para anggota menjadi sebuah gardu listrik yang memberi daya setrum yang
menggelorakan semangat batin, yang pada gilirannya mengaktifkan sisi lahiriah
kita.
Ceramah-ceramah
Bapak Subuh di sejumlah kongres nasional SUBUD di berbagai negara Eropa
sepanjang tahun 1970 mengkritisi sangat kurangnya porsi kejiwaan dibandingkan porsi
organisasi atau kepengurusan pada perhelatan anggota SUBUD. Rupanya, kongres
nasional ala SUBUD seharusnya menjadi ajang kejiwaan bagi.anggota untuk mengisi
baterai dirinya dengan setrum persaudaraan yang terbangkitkan melalui acara
tersebut, dan bukan ajang pengurus dalam rangka menata organisasi. Inilah yang
membedakan organisasi SUBUD dengan organisasi pada umumnya.
Degradasi
kongres nasional SUBUD—dari ajang kejiwaan menjadi acara pengurus—juga menimpa
Indonesia, dari mana SUBUD berasal. Pembahasan anggaran dasar dan rumah tangga
tak berkesudahan dan bursa pencalonan ketua umum mengingatkan anggota SUBUD
akan nuansa kongres partai politik. Dan jangan dikira politik uang tidak ada
dalam pencalonan ketua umum organisasi kejiwaan ini. Para anggota yang datang
untuk aspek kejiwaannya malah disandangi status "penggembira", seakan
tidak penting apakah mereka hadir atau tidak.
Kenyataan
ini telah mendorong para anggota SUBUD Indonesia, khususnya, yang berasal dari
budaya yang kental tradisi silaturahminya, berinisiatif sendiri membangkitkan
setrum persaudaraan dengan melakukan kunjungan-kunjungan sosial ke berbagai
cabang SUBUD di seluruh negeri.
Sebagaimana
yang saya alami berkali-kali, setrum persaudaraan menyengat sekujur diri saya
hanya melalui pertemuan kasual dengan saudara-saudara sejiwa dalam suasana yang
santai. Pertemuan itu tidak perlu mewah, dengan hidangan ala kadarnya, dan di
tempat yang sederhana. Kadang tanpa perlu mengobrol, setrum tersebut
membangkitkan kesadaran akan kedekatan dan keselarasan, suatu rasa damai tak
terbatas, suatu perasaan kuat meskipun sedang menderita. Keberadaan setrum itu
membuat anggota SUBUD betah berlama-lama bersama saudara sejiwa.
Bila
dalam jarak yang jauh saja—lintas benua, sebagaimana yang saya alami—setrum persaudaraan
dapat dirasakan sengatannya, apalagi dalam jarak yang dekat. Tidak perlu
bersusah-payah ke kongres nasional di tempat yang jauh, memakan biaya yang
tidak sedikit, serta besar porsi urusan keorganisasiannya.©2018
Aeon Mall, Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, 29 Desember
2018
No comments:
Post a Comment