LATIHAN
Kejiwaan memberi pelatih (dalam bahasa SUBUD berarti “orang yang berlatih
kejiwaan”) banyak sekali “icip-icip" berupa kesaktian atau kemampuan yang
menurut logika tidak mungkin dicapai seseorang dengan mudah, atau melampaui
kebiasaan dan kebisaan orang biasa. Karena bersifat icip-icip maka kesaktian
tersebut tidak bertahan lama. Bagaimanapun, sifat atau bentuk kesaktian
tersebut berganti-ganti seiring seorang pelatih menekuni Latihan Kejiwaan.
Tidak jarang
seorang pelatih kejiwaan terpedaya oleh icip-icip tersebut; ia merasa telah
sampai pada suatu aras (level) yang
lebih tinggi daripada pelatih-pelatih lainnya. Padahal SUBUD tidak mengenal
jenjang; seorang pelatih yang baru dibuka (pertama kali menerima kontak Latihan
Kejiwaan) dapat saja lebih maju kejiwaannya daripada pelatih yang sudah puluhan
tahun berlatih kejiwaan.
Saya mengenal
satu saudara SUBUD yang terpedaya oleh icip-icip. Merasa dirinya maju secara
akademis (penyandang gelar magister dari sebuah perguruan tinggi terkemuka di
Pulau Jawa) dan mampu membuat orang lain tenteram dengan perkataannya, dia
membukai para wanita usia lanjut yang tergabung dalam majelis taklimnya.
Padahal dia belum menjadi pembantu pelatih—suatu tugas yang dibebankan kepada
seorang anggota yang telah berlatih minimal tujuh tahun dan disukai para anggota
lainnya karena pembawaannya yang mampu ngemong
dan mengayomi.
Untuk tertib
organisasi, hanya pembantu pelatih yang diberi tugas untuk membuka kandidat
(calon anggota SUBUD) dan mendampinginya selama hal itu diperlukan. Dan orang
yang berminat masuk SUBUD harus melalui masa orientasi atau “masa tunggu”
selama tiga bulan. Selama masa tunggu itu, seorang kandidat mendapat penerangan
dari pembantu pelatih mengenai asas dan tujuan SUBUD, mengenai berbagai aspek
kejiwaan dan keorganisasian SUBUD. Bukan tugas yang ringan, karena tanpa
penerangan dan pendampingan yang memadai, menurut yang saya saksikan, banyak
anggota akhirnya meninggalkan SUBUD.
Nah, saudara
SUBUD ini merasa mampu membuka orang, tetapi ujung-ujungnya kelabakan ketika
harus mendampingi para wanita usia lanjut yang ia buka—tanpa penerangan yang
cukup—mengalami kebingungan. Utamanya, karena Latihan Kejiwaan mereka dibungkus
dengan pengajian (dan pengkajian) syariat Islam, sedangkan SUBUD bukan agama,
tidak memiliki ajaran serta tidak berteori. SUBUD adalah bakti kepada Tuhan
Yang Maha Esa yang bersifat eksperiensial, atau mengalami langsung keilahian
pada diri masing-masing orang.
Alhasil,
saudara SUBUD itu meminta saya untuk memberi penerangan lanjutan kepada para
wanita usia lanjut tersebut. Saya mau asal saya boleh menjadi diri sendiri,
tidak harus mengutip dalil-dalil dari Al Qur'an atau berlagak ustad, supaya
diterima para anggota majelis taklim yang dipimpin saudara SUBUD itu. Dia
setuju, walaupun sempat mendesak saya agar membekali diri dengan satu-dua ayat
dari Al Qur'an. Saya menolak, karena masuk SUBUD adalah tentang menjadi diri
sendiri, bukan menjadi orang yang disukai menurut nilai-nilai orang lain.
Demi menjaga
kesejatian saya (menjadi diri sendiri, apa adanya), saya pun muncul di acara
pengajian dengan pakaian kesukaan saya: kemeja lengan pendek yang bagian
bawahnya saya biarkan menggantung di luar celana, dan sepotong celana jeans belel. Pokoknya, jauhlah dari
citra seorang ustad. Sebelum tampil di hadapan 50an anggota majelis taklim yang
rata-rata sudah sepuh, saya menenangkan diri, sepenuhnya berserah diri kepada
bimbingan Tuhan.
Lalu, mulailah
saya bicara. Saya bercerita tentang berbagai pengalaman kehidupan saya setelah
menerima Latihan Kejiwaan. Tidak terselip satu pun ayat suci di antara
penceritaan saya. Semua mengalir sebagaimana adanya. Saya merasa ucapan saya
dibimbing—begitu lancar, tanpa keraguan atau kelupaan. Tetapi yang ajaib, yang
saya yakini sebagai bimbingan Tuhan, pada sesi tanya-jawab, para anggota
majelis taklim membenarkan cerita-cerita saya dengan dalil-dalil dari Al Qur’an
yang mereka sampaikan kalimat-kalimatnya dalam bahasa Arab yang fasih serta
terjemahannya. Tanpa saya lengkapi dengan ayat-ayat suci, sebagaimana yang
diharapkan saudara SUBUD tadi pada saya, ternyata audiens sendiri yang
melengkapinya.
Begitu pun,
para anggota majelis taklim itu menobatkan saya sebagai ustad yang hebat,
sampai mereka tak segan untuk bergiliran mencium tangan saya ketika momen
berbagi pengalaman itu sudah selesai. Maha Besar Tuhan dengan segala firmanNya,
yang Dia salurkan melalui ucapan saya.©2018
Jl.
Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 18 Desember 2018
No comments:
Post a Comment