TANGGAL 2 Desember 2018, bertepatan
dengan hari ulang tahun saya, adik ipar saya mengembuskan napas terakhir pada
pukul 12.50 di atas ranjang di rumahnya. Ditunggui istri, kedua putra dan
putrinya, serta saudara-saudara kandungnya, adik ipar saya meninggal karena
penyakit kanker nasofaring stadium akhir yang dideritanya sejak Februari 2018.
Almarhum dimakamkan keesokan harinya,
tanggal 3 Desember 2018, di Tempat Pemakaman Umum Pondok Petir, Depok, Jawa
Barat. Saya menyaksikan seluruh prosesi pemakamannya, mulai dari menurunkan
jenazah yang telah dikafani ke liang lahat hingga para tukang gali menimbun
kembali liang kubur dengan tanah, dan keluarga inti serta kerabat menaburkan
bunga di atas gundukan tanah merah nan basah yang telah menutup liang kubur.
Saat kedua anak-anak almarhum
menaburkan bunga di pusara ayah mereka, saya mendapat kepahaman tentang apa
makna hal tersebut. Menaburkan bunga di pusara memang bagian dari tradisi
masyarakat, yang tidak ada dalam ajaran agama. Mungkin hanya sebuah tradisi
masyarakat Jawa atau kepercayaan mistik Jawa (Kejawen), untuk mengharumkan
tanah kubur. Tapi saat menyaksikan prosesi tabur bunga ke atas makam adik ipar
saya itu, saya beroleh kepahaman berikut ini.
Tabur bunga ternyata melambangkan atau
merepresentasi suatu nasihat kepada yang masih hidup, terutama anak-anak dari
orang yang telah meninggal, bahwa tugas mereka adalah mengharumkan kubur orang
tuanya. Secara etimologi, “kubur” berasal dari kata bahasa Arab “kufur” yang merupakan kata kerja (verba), yang
berarti “menanam” atau “memendam”.
Dalam kaitan tulisan saya ini, hakikat
dari menanam bukanlah “meletakkan jenazah di dalam tanah”, melainkan “mencamkan
di dalam diri” anak-anak dari orang yang telah meninggal, bahwa tugas mereka
selanjutnya adalah mengharumkan nama orang tua mereka yang telah tiada. Bukan
dengan taburan bunga-bunga cantik nan harum, melainkan dengan perbuatan dan
perkataan yang baik. Karena, bagaimanapun, anak-anak direlasikan langsung oleh
masyarakat kepada orang tua mereka. Bila anak dari seseorang bernama Syamsudin,
yang sudah meninggal, berbuat jahat di lingkungan tempat tinggalnya, maka
masyarakat setempat pun akan menilai, “Wah, itu anaknya Pak Syamsudin kok jahat ya? Padahal ayahnya sendiri
tidak demikian.” Anak yang berbuat jahat, ayahnya yang telah meninggal
dibawa-bawa.
Saya memujikan Tuhan untuk
bimbinganNya atas pengetahuan mengenai tindakan simbolik “mengharumkan kubur”
ini. Sayangnya, saya tidak dapat, atau belum diberiNya kesempatan untuk,
menyampaikan hal ini kepada kedua anak almarhum adik ipar saya. Semoga di lain
kesempatan saya dapat melakukannya.©2018
Jl. Kalibata Selatan
II, Jakarta Selatan, 4 Desember 2018
No comments:
Post a Comment