BARU-baru ini,
saya mendengar tentang satu anggota SUBUD yang tidak pernah lagi muncul di
Wisma SUBUD Cilandak atau di kelompok SUBUD mana pun lantaran kecewa pada
Tuhan. Dia kecewa pada Tuhan karena dianggapnya Tuhan tidak mengabulkan
permohonannya akan kehidupan yang lebih baik.
Karena kecewa
pada Tuhan, ada orang yang meninggalkan SUBUD. Ketika saya kecewa pada Tuhan,
saya tinggalkan Tuhan, bukan SUBUDnya. SUBUD adalah saya, saya adalah SUBUD.
Dan di SUBUD saya ketemu Tuhan yang bukan meme
agama.
Kebanyakan
orang—sebagian terbesar malah—mengenal Tuhan dari gagasan yang menyebar dari
satu orang ke orang lain dalam sebuah budaya, atau “meme”. Meme tidak
menawarkan kebenaran indrawi, melainkan hanya kepuasan akal pikir yang pada
gilirannya membangkitkan sensasi merasa paling benar agamanya, dan akhirnya
menimbulkan sikap tidak toleran terhadap yang tidak sejalan dengan
pemikirannya. Meme memang virus yang
persebarannya lewat persepsi yang dibangun di pikiran. Pikiran manusia memiliki
kelemahan, yaitu terlalu cepat menyerap informasi, bahkan yang palsu sekalipun.
Karena itu, orang yang telah berbekal ilmu yang mempelajari meme, disebut memetika, tidak mudah
termakan berita hoax.
Di dunia
Barat, agama-agama besar telah ditinggalkan umatnya sejak 20 tahun yang lalu,
karena terumpan rayuan gerakan Era Baru (New
Age) yang menawarkan experiential
religiosity (ER) atau keberagamaan berdasarkan pengalaman keilahian
langsung yang menghormati ranah pribadi, bukan kepercayaan kolektif yang
berkiblat pada pengalaman satu orang (nabi atau utusan Tuhan).
Meskipun
mengandung konsep keberagamaan atau religiusitas, ER tidak masuk ranah agama.
Ia adalah pengalaman indrawi akan hal-hal yang diyakini memiliki daya ilahiah
yang melampaui eksistensi manusia. Ada yang menyebut itu Tuhan, daya hidup,
kesadaran agung, sang cahaya, atau apa pun yang ingin Anda sebut.
ER tidak
seragam; ia beragam, yang membangun keimanan seseorang berdasarkan pencerahan
pribadi yang esoteris (hanya dipahami oleh yang bersangkutan). Karena itu, ER
bersifat pribadi, tidak kolektif sebagaimana agama-agama yang dikenal selama
ini. Tidak ada ajaran yang baku; satu-satunya tuntunan adalah yang diterima
seseorang melalui “suara batin” atau tanda-tanda niskala (tak tampak) yang
hanya dapat dipahami secara pribadi.
Di ranah ER
ini, saya menghirup udara segar, setelah sekian lama sesak napas akibat
ketumpatan ritual agama yang tak bermakna. Saat saya dibuka untuk menerima
kontak Latihan Kejiwaan, saya serasa seperti ditarik secepat kilat dari ruang
sempit di tengah panas gurun pasir dan dipindah ke ruang beratap langit
berlantai bumi di lereng gunung yang berkabut dingin, di mana embusan angin
meninggalkan embun yang memuaskan dahaga pencarian akan kesejatian diri. Di
ruang tak berdinding dan tanpa batas waktu itu, saya menari penuh sukacita
mengikuti irama bimbingan rasadiri yang telah berkontak dengan kesadaran agung,
sang Kenyataan Tertinggi, Tuhan yang bukan meme.
Segala kecewa atau sakit dalam rasa perasaan melebur dalam cinta. Cinta yang
tak bertepi.
Terima kasih,
Tuhan. Terima kasih, Bapak.©2018
Jl.
Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 18 Desember 2018
No comments:
Post a Comment