PADA hari
Minggu, 7 Februari 2016, diantar oleh sepasang suami-istri anggota SUBUD Cabang
Pati, saya dan istri berkesempatan mengunjungi rumah kelahiran Bapak Muhammad
Subuh Sumohadiwidjojo, pendiri Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan SUBUD, di
Kedungjati. Kedungjati adalah sebuah desa di kecamatan bernama sama, yang
berada di wilayah administratif Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Desa Kedungjati
adalah ibukota dari Kecamatan Kedungjati. Yang membuat saya sangat antusias
adalah keberadaan stasiun kereta api warisan maskapai kereta api swasta Hindia
Belanda, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), di desa tersebut.
Stasiun
Kedungjati termasuk “Sepuluh Besar” stasiun tertua di Indonesia. Stasiun itu
resmi dibuka pada tahun 1869, sekitar dua tahun sejak jalur kereta api pertama
di Nusantara diresmikan, tetapi baru digunakan pada 1873. Stasiun tersebut
adalah dampak dari dibangunnya jalur Semarang-Tanggung hingga Kedungjati pada
1867, serta Kedungjati-Ambarawa pada 1870, yang menyebabkan Desa Kedungjati
menjadi titik keramaian dengan pertumbuhan sentra ekonomi yang pesat. Sebagai sebuah
stasiun, Kedungjati bahkan memiliki posisi sangat strategis karena menjadi
persimpang untuk jalur menuju Surabaya, Ambarawa, dan Vorstenlanden
(Tanah-tanah Kerajaan, yaitu Yogyakarta dan Surakarta).
Berawal dari
sebuah stasiun kecil dengan bangunan sederhana yang seluruhnya terbuat dari
kayu jati, NISM melakukan pembenahan menyeluruh terhadap fisik Stasiun
Kedungjati pada tahun 1907. Kayu jati sangat mudah didapat di daerah itu. Wilayah
Kedungjati memiliki struktur tanah yang datar dan berbukit, sehingga tidak ada
lahan persawahan, meskipun sumber air cukup berlimpah di sungai yang membelah
Desa Kedungjati, yang bersumber dari Rawa Pening di Tuntang, Kabupaten
Semarang. Alih-alih persawahan, dahulu terhampar ribuan hektar pohon jati di
Kedungjati dan sekitarnya, dengan kualitas nomor satu. Keberlimpahan pohon jati
itulah yang membuat daerah itu dinamai “Kedungjati”, yang bermakna kedung
(lubuk/cekungan sungai) yang dikelilingi pohon jati.
Pembenahan yang
dilakukan NISM pada tahun 1907 sama sekali mengubah wajah Stasiun Kedungjati.
Konstruksi dari bangunan stasiun yang sebelumnya dari kayu jati diubah dan
diperkokoh dengan batu bata yang diplester. Bagian peron ikut dibenahi, dengan
penambahan overkapping (kanopi) dengan rangka baja dan beratapkan seng dengan
tinggi 14,65 meter. Bentuk bangunan stasiun ini memiliki kemiripan dengan
Stasiun Willem I di Ambarawa (diresmikan 21 Mei 1873) dan Stasiun Purwosari
(1876) di Surakarta.
Stasiun Kedungjati, seperti Stasiun
Ambarawa dan Purwosari, merupakan stasiun pulau. Konstruksi bangunannya, karena
itu, berupa tiang-tiang baja yang menopang kuda-kuda atap. Di bawah atap besar
ini terdapat ruang-ruang dinas dan pelayanan penumpang serta peron di kedua
sisinya. Di emplasemen utara terdapat rel lintasan utama yang menghubungkan
Semarang dengan Surakarta, sedangkan di emplasemen selatan terdapat dua jalur
rel lintasan cabang menuju Ambarawa yang dinaungi overkapping kecil yang
ditambahkan pada 1915.
Terletak hanya
sekitar 50 meter dari rumah kelahiran Bapak Subuh, bubungan atap peron
(overkapping) yang berwarna abu-abu dari Stasiun Kedungjati dapat saya lihat
dari samping rumah tersebut. Saya sebelumnya tidak menandainya, tetapi setelah
saya tanya ke penjaga rumah Bapak Subuh, yaitu Ibu Handono, di mana stasiun
tersebut berada, beliau menunjuk ke bubungan abu-abu yang mencuat di atas
atap-atap rumah penduduk, sambil berkata singkat, “Itu! Kelihatan dari sini.”
Maka saya pun
bergegas menuju stasiun tersebut. Saya baru menandai, bahwa lahan dan bangunan
di sisi timur rumah Bapak Subuh ditancapi papan penanda aset milik PT Kereta
Api Indonesia (Persero), yang membuat saya menduga bahwa sebagian dari desa
tersebut semasa Hindia Belanda merupakan kompleks bangunan fungsional NISM,
mungkin untuk rumah dinas pegawai kereta api.
Jalan sempit
menyerupai gang dengan deretan rumah di sisi kanan dan kirinya, di selatan
rumah Bapak Subuh, saya lalui tidak lama setelah saya tinggalkan pekarangan
rumah Bapak Subuh. Jalan itu tembus ke emplasemen utara Stasiun Kedungjati yang
mewadahi tiga jalur rel dengan rel yang di tengah sebagai sepur lurus. Di
selatan stasiun berbentuk pulau itu terdapat dua jalur rel, yang dipayungi
kanopi peron mirip yang saya jumpai di Stasiun Purwosari.
Jalur 1 di sisi
selatan Stasiun Kedungjati yang mengarah ke barat langsung menikung ke selatan,
yang membentuk jalur kereta api yang dikenal sebagai Jalur Kedungjati-Secang.
Jalur Kedungjati-Secang merupakan jalur bersejarah yang telah ditutup sejak
tahun 1976. Di jalur ini kini yang aktif digunakan hanya petak Ambarawa-Tuntang
dan Ambarawa-Bedono, yaitu oleh kereta api wisata yang berjalan reguler pada
hari Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional, serta dengan sistem sewa pada
hari-hari lainnya.
Saat saya
berkunjung pada 7 Februari 2016 itu, saya lihat jalur rel di sisi barat emplasemen
selatan Stasiun Kedungjati belum tersambung, meskipun kericak sudah ditata dan
bantalan rel beton sudah terpasang beberapa. Dan tidak ada pula pekerja-pekerja
yang sedang bergiat memasang rel. Saya sempat mengira, mungkin karena hari
Minggu mereka libur kerja. Namun rupanya aktivitas untuk reaktivasi jalur
kereta api Kedungjati hingga Ambarawa sudah berhenti sejak awal tahun 2015.
Menurut
Kompas.com tertanggal 16 Oktober 2017, mengutip Menteri Perhubungan, Budi Karya
Sumadi, reaktivasi jalur kereta api bersejarah Kedungjati-Tuntang memiliki
potensi masalah, terutama pembebasan lahan. Pasalnya, banyak lahan di sepanjang
jalur kereta api ini masih dikuasai oleh masyarakat. Sebelumnya dikabarkan,
proyek reaktivasi jalur kereta api Kedungjati-Tuntang mangkrak. Proyek reaktivasi
jalur kereta api sepanjang 30 km ini bahkan belum jelas kapan akan dilanjutkan
kembali, setelah tiga tahun tak terurus.
Arsitektur Stasiun Kedungjati sangat
mirip dengan Stasiun Ambarawa dan Stasiun Purwosari yang dibangun pada masa
yang sama. Perbedaan yang menonjol selain pada ukuran juga pada perletakan
ruang tunggu kelas 3. Di Stasiun Kedungjati, letak ruang tunggu kelas 3 berada
di depan pintu masuk berdampingan dengan loket penjualan tiket. Ini berbeda
dari Stasiun Ambarawa dan Purwosari yang ruang tunggu kelas 3-nya berada di
belakang, berdekatan dengan kamar mandi dan WC.
Dengan diluncurkannya KA
Joglosemarkerto atau Loop Line Jawa Tengah pada 1 Desember 2018, Stasiun
Kedungjati kian ramai lalu lintas kereta apinya. Stasiun ini menjadi salah satu
persinggahan dari KA Joglosemarkerto, yang memungkinkan para pecinta sejarah
perkeretaapian maupun bangunan tua dapat mempercepat ketibaan mereka di stasiun
yang menjadi salah satu tujuan wisata sejarah itu.
Tujuan sebenarnya dari kunjungan saya
dan istri ke Kedungjati pada 7 Februari 2016 adalah untuk melihat langsung
rumah di mana Bapak Muhammad Subuh dilahirkan dan melakukan Latihan Kejiwaan
bersama ketua Ranting SUBUD Kedungjati, namun saya mendapat bonus “khatir ilham”
saat blusukan ke Stasiun Kedungjati yang sebelumnya hanya saya lihat di
lembaran majalah dan buku sejarah perkeretaapian.©2018
Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 14 Desember 2018
No comments:
Post a Comment