SEBUAH pengumuman dari akun Instagram Subud Youth Indonesia, tentang kegiatan gathering bertopik “Sabar”, yang difasilitasi Dewan Pembantu Pelatih Nasional (DPPN) Subud Indonesia, menggelitik ingatan saya pada sebuah insiden 11 tahun lalu.
Saat itu, saya sedang mudik ke Surabaya dalam rangka Idulfitri. Kakak ipar saya, laki-laki, curhat ke saya bahwa dia sedang berada di titik terendah hidupnya akibat kebangkrutan yang dihadapi perusahaan ekspedisi muatan kapal laut yang dia gawangi.
Dia minta saran saya tentang keinginannya untuk masuk Subud. Saya tidak tahu dari mana ia mendapat pemikiran untuk masuk Subud, karena saya tidak menyarankannya dan dia juga tidak tahu bagaimana Subud bisa membantu dia. Tetapi karena dia bersikeras, saya persilakan dia untuk mengikuti prosedurnya, yaitu melalui masa kandidatan selama tiga bulan.
“Saya ingin belajar sabar,” kata dia berulang kali. Dia terperangah ketika saya bilang bahwa di Subud tidak ada orang yang akan mengajarnya, karena di Subud tidak ada pelajaran dan teori, dan bahwa kita belajar dari kenyataan melalui pengalaman hidup kita. Kakak ipar saya, meski sempat terheran-heran, tetap memastikan diri bahwa dia ingin masuk Subud.
“Pelajaran sudah dimulai sejak masa kandidatan itu. Sebaiknya Mas siap menghadapinya,” kata saya, mengingatkan.
Pada suatu hari Kamis malam, jadwal reguler Latihan dari Cabang Surabaya, kakak ipar saya mengekor motor saya dengan motornya sendiri menuju Wisma Subud Surabaya. Saya perkenalkan dia ke salah satu pembantu pelatih, yang lantas mengajak dia ke ruangan khusus kandidatan. Saya tidak nimbrung bersama ipar saya; saya biarkan dia lebur bersama para pembantu pelatih dan sesama kandidat.
Beberapa saat kemudian, saya sempat melihat satu pembantu pelatih senior, yang baru tiba di Wisma Subud Surabaya, melangkah tertatih-tatih ke arah ruangan kandidatan. Sekitar 15 menit kemudian, saya lihat kakak ipar saya melangkah keluar dari ruangan tersebut, dengan wajah merah menahan marah dan mengumpat. Saya tidak tahu apa yang terjadi, tetapi pembantu pelatih pertama yang sebelumnya mengajak ipar saya ke ruangan kandidatan kemudian duduk di sebelah saya, dan berbisik, “Mas, ada suatu insiden... Kakak ipar panjenengan tidak terima dan marah. Tapi panjenengan nanti tidak perlu menegurnya, biarkan dia redam dulu amarahnya."
Keesokan paginya, kakak ipar saya menyampaikan ke saya dan istri saya (yang juga di Subud) bahwa para pembantu pelatih itu “tidak benar agamanya”. Jadi, si pembantu pelatih senior itu rupanya menanyakan ipar saya, apa pekerjaannya, tetapi jawaban ipar saya dinilai oleh si pembantu pelatih sebagai “bohong”, ditambah dengan penegasan bahwa perusahaannya bangkrut—suatu fakta yang tidak diketahui oleh siapapun selain kakak ipar saya, istri saya dan saya sendiri.
“Kamu yang tidak benar agamanya,” kata istri saya, membentak kakak laki-lakinya yang jebolan pesantren. “Kalau kamu benar agamamu, kamu tidak akan mudah marah oleh sebab hal sepele begitu.”
Saya menambahkan, “Mas katanya ingin belajar sabar. Saya kan sudah ingatkan bahwa di Subud tidak ada pelajaran, tidak ada teori. Semua pelajaran diperoleh dari praktik langsung. Jadi, PP itu sejatinya sedang dibimbing Tuhan untuk mengajari Mas bersabar... Nyatanya, Mas gagal dalam hal itu.”
Kakak ipar
saya kaget dan kemudian tercenung. Akhirnya, ia memutuskan untuk melanjutkan kandidatannya—meski
ia tidak pernah dibuka lantaran ia tidak sabar melalui prosesnya.©2025
Pondok Cabe Ilir,
Pamulang, Tangerang Selatan, 2 Desember 2025

No comments:
Post a Comment