Thursday, December 18, 2025

Perdukunan 2.0

 

Poster film Dukun Magang, sebuah film horor-komedi Indonesia yang baru saja dirilis pada November 2025 lalu. Industri film Indonesia terus memanfaatkan obsesi masyarakat—terutama di kalangan Gen Z—terhadap tema-tema yang berpusat pada horor dan perdukunan. 

MENJELANG akhir tahun 2005, saya menyertai seorang pembantu pelatih senior dari Cabang Jakarta Selatan yang diundang untuk mengunjungi Cabang Probolinggo, Jawa Timur. Seorang pembantu pelatih yang lebih muda juga ikut bersama kami. Kami tidak langsung menuju Probolinggo; melainkan terbang dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Jakarta ke Bandara Internasional Juanda di Sidoarjo, yang berjarak sekitar 18,5 kilometer dari pusat kota Surabaya, ibu kota Jawa Timur. Kami menginap semalam di Surabaya, yang memberi kami kesempatan untuk memenuhi undangan dari Cabang Surabaya—cabang yang sama di mana saya menyelesaikan kandidatan saya sebelum akhirnya dibuka.

Malam itu di Hall Surabaya, pembantu pelatih senior dari Cabang Jakarta Selatan tersebut diminta untuk memberikan ceramah, yang kemudian dilanjutkan dengan gathering kejiwaan. Beliau memiliki kekayaan pengalaman dan bakat alami dalam berkomunikasi; orang-orang sangat menyukai beliau dan selalu menantikan kunjungan beliau ke cabang-cabang mereka. Pemahaman beliau tentang kejiwaan sungguh mendalam, menjangkau jauh melampaui konteks standar Subud. Beliau wafat pada tahun 2010. Setelah dibuka pada tahun 1972, beliau sebenarnya sempat meninggalkan Subud setelah hanya tiga tahun melakukan Latihan—sebuah episode dalam perjalanan spiritual beliau yang beliau sebut sebagai “masa pembersihan”.

Selama masa vakumnya dari Subud, beliau menjadi seorang dukun, “mewarisi” kemampuan dari ayah beliau yang kabarnya adalah seorang dukun sakti. Menariknya, beliau tidak diperkenalkan ke Subud oleh ayah beliau, melainkan oleh seorang paman yang telah membesarkan beliau sejak kecil. Setelah sepuluh tahun mempraktikkan perdukunan, beliau akhirnya kembali ke pangkuan Subud.

Beliau membagikan kisah ini dalam pertemuan dengan para anggota di Surabaya malam itu, pada tanggal 30 Desember 2005. Cerita beliau memicu seorang pembantu pelatih wanita untuk bertanya, “Apakah benar anggota Subud tidak bisa disantet?”

“Siapa bilang?” jawab pembantu pelatih senior itu. “Tentu saja bisa!”

Pembantu pelatih wanita itu terperanjat. Selama ini, ia selalu mendengar dari pembantu pelatih lain, para anggota, bahkan dalam ceramah-ceramah Bapak dan Ibu Rahayu bahwa kekuatan gelap atau “daya setaniah” tidak dapat menyentuh anggota Subud. Pembantu pelatih senior itu tertawa terbahak-bahak sebelum melanjutkan, “Maksud saya, kecuali anggota Subud yang sabar, tawakal, dan ikhlas.”

Gathering malam itu menjadi semarak ketika diskusi beralih ke topik perdukunan dan masalah mixing. Di Indonesia, perdukunan bukanlah hal yang asing atau tidak lazim. Dahulu, pada masa-masa awal Subud, banyak anggota yang terlibat dalam “pengobatan alternatif”, yang oleh masyarakat Indonesia umumnya dikategorikan sebagai “pekerjaan dukun”. Pada masa itu, orang-orang di luar Subud bahkan menyebut Bapak sebagai seorang dukun karena beliau melakukan praktik penyembuhan, meskipun beliau dengan ketat memegang teguh prinsip “mengikuti petunjuk Tuhan” melalui pembukaan (asalkan pasien menerima tawaran tersebut, seperti yang terjadi pada Prio Hartono).

Salah satu bibi saya, yang tahu bahwa saya telah masuk Subud, membagikan kisah beliau saat diobati oleh Pak Subuh. Beliau pindah ke daerah Pondok Labu, dekat Wisma Subud di Cilandak, pada tahun 1979. Sebenarnya tetangga beliaulah yang menyarankan agar beliau pergi menemui “orang pintar” di Wisma Subud bernama Pak Subuh untuk mencari kesembuhan atas penyakitnya. Bibi saya akhirnya memang sembuh, tetapi beliau sendiri tidak pernah masuk Subud. Bahkan, ketika putri bungsunya menyatakan minat untuk masuk, bibi saya dan suami beliau tidak mengizinkannya. “Islam sudah cukup,” kata putri beliau kepada saya, menjelaskan alasan orang tuanya.

Di Indonesia, khususnya dalam lingkaran tradisional, perdukunan memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini—terutama sejak krisis keuangan Asia di akhir tahun 90-an—bukan hal yang aneh bagi orang Indonesia modern untuk menggantungkan harapan mereka pada dukun. Para praktisi ini telah melakukan pencitraan ulang (rebranding) yang modern; mereka tidak lagi berpakaian tradisional atau menggunakan gelar kuno. Alih-alih menyebut diri mereka dukun atau orang pintar, mereka kini memasarkan diri sebagai “inspirator” atau “mindset coach”.

Kelestarian perdukunan di Indonesia merupakan perpaduan kompleks antara warisan budaya yang berakar dalam, kebutuhan psikologis akan kepastian, dan terbatasnya akses ke lembaga-lembaga formal.

Sejarah Indonesia berjangkar pada kepercayaan animisme, dinamisme, serta pengaruh Hindu-Buddha yang telah ada jauh sebelum penyebaran agama-agama Abrahamik. Warisan ini membentuk kepercayaan masyarakat terhadap “orang pintar”, terutama karena praktik-praktik tersebut sering kali diwariskan secara turun-temurun dalam keluarga. Dukun dipandang sebagai penjaga kearifan lokal, yang menyeimbangkan dunia manusia dengan alam gaib. Di banyak wilayah di tanah air, para praktisi—seperti dukun bayi atau tetua adat—memiliki kedudukan sosial yang bergengsi dan dianggap sebagai pemimpin masyarakat.

Pada tahun 2016, saat melakukan perjalanan ke pelosok sebuah daerah di Jawa Tengah untuk menyelidiki mengapa masyarakat setempat menolak pembangunan pabrik semen baru, saya bertemu dengan beberapa warga yang mengaku bahwa mereka sangat ketakutan terhadap seorang preman lokal yang dijuluki “Dukun Sakti”. Ketakutan ini memaksa mereka untuk mematuhinya daripada mengambil risiko menjadi sasaran ilmu hitamnya. Alhasil, mereka memberikan dukungan penuh terhadap penolakannya atas pembangunan pabrik semen di daerah mereka.

Berkat bantuan seorang pembantu pelatih dari cabang Subud setempat, saya berhasil menemui sang “dukun sakti” ini di rumahnya dan mewawancarainya selama dua jam. Saya memperhatikan bahwa dia sama sekali tidak memancarkan aura seorang dukun. Entah karena keseleo lidah atau hal lain, dia mengaku bahwa dia sering tampil di depan umum dengan pakaian serba hitam dan ikat kepala senada karena dia yakin hal itu memproyeksikan “aura yang menakutkan”. Saya sampai pada kesimpulan bahwa dia bukanlah dukun sungguhan; dia hanya menggunakan citra tersebut untuk mengintimidasi orang—dan cara itu berhasil. Itulah realitas bagi kebanyakan orang di pelosok Indonesia: mereka mudah goyah oleh penampilan luar.

Inilah gambaran stereotip mengenai dukun yang begitu mendarah daging dalam psikis masyarakat Indonesia. Seorang anggota Subud lama di Jakarta pernah bercerita kepada saya bahwa sebelum masuk Subud, ia sering berkonsultasi dengan dukun. Ia sangat terkejut saat pertama kali bertemu Pak Subuh, yang penampilannya sama sekali tidak seperti yang ia bayangkan—begitu berbedanya, hingga pada awalnya ia mengira Bapak tidak memiliki kekuatan spiritual sama sekali.

Orang sering kali berpaling ke dukun saat menghadapi frustrasi sosial atau tekanan hidup yang hebat. Banyak yang mencari “jalan pintas” tanpa proses panjang—baik itu untuk kekayaan, asmara, maupun kenaikan jabatan. Mengunjungi dukun memberikan rasa tenang atau “kepastian semu” bagi mereka yang sedang berada di tengah krisis kesehatan, keuangan, atau hubungan.

Pada tingkat praktis, dukun sering kali menjadi pilihan utama karena mereka lebih mudah dijangkau daripada sistem formal. Dibandingkan dengan biaya rumah sakit yang mahal atau konsultasi hukum yang rumit, jasa dukun dipandang lebih terjangkau atau berbasis sistem “bayar seikhlasnya”. Di daerah terpencil dengan tenaga medis yang minim, dukun tetap menjadi pilihan utama untuk persalinan dan layanan kesehatan umum.

Bahkan dalam politik Indonesia—mulai dari pemilihan gubernur hingga pemilihan kepala desa—banyak kandidat yang masih menyewa jasa dukun untuk meningkatkan rasa percaya diri mereka atau untuk berfungsi sebagai “perisai spiritual” terhadap serangan lawan-lawan mereka.

Di hadapan modernisasi yang pesat dan banjir informasi yang tak henti-hentinya, perdukunan di Indonesia tidaklah memudar; melainkan bertransformasi dan menemukan relevansi jenis baru. Dukun, yang dulunya hanya dikaitkan dengan ritual mistis di desa-desa terpencil, kini tampil dengan gaya kontemporer. Mereka memainkan peran yang semakin signifikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, bahkan di kalangan elit perkotaan dan kaum terpelajar.

Pergeseran ini terkait erat dengan gejolak sosial dan ekonomi, terutama setelah krisis keuangan Asia 1997-1998. Ketidakpastian dan tekanan hidup telah mendorong banyak orang untuk mencari dukungan dan solusi di luar saluran konvensional. Di sinilah dukun modern menemukan ceruk pasar mereka. Mereka bukan lagi sekadar “orang pintar” dengan mantra-mantranya; mereka telah melakukan pencitraan ulang sebagai “inspirator”, “motivator spiritual”, atau bahkan “mindset coach” yang menawarkan perpaduan antara bimbingan psikologis dan spiritual.

Dukun modern adalah ahli dalam pemasaran dan komunikasi. Mereka memanfaatkan media sosial, situs web pribadi, bahkan tampil di media arus utama untuk menjangkau khalayak yang lebih luas. Mereka menggunakan gelar profesional seperti “certified paranormal” (paranormal bersertifikat) atau “spiritual healer” (penyembuh spiritual), yang membuktikan betapa baiknya mereka beradaptasi dengan tuntutan zaman modern.

Fenomena ini menunjukkan bahwa di balik permukaan modernitas, masyarakat Indonesia tetap menjaga hubungan yang berakar kuat dengan dimensi spiritual dan metafisika. Dukun modern adalah contoh adaptasi budaya yang menarik—sebuah bukti bagaimana tradisi kuno menemukan cara untuk tetap relevan dan tetap menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam masyarakat Indonesia kontemporer.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 19 Desember 2025

No comments: