SEJAK
kecil, saya diajari orang tua sesuatu yang kemudian menjadi kebiasaan: Bila
pulang dari bepergian walaupun hanya sebentar—tidak sampai lebih dari sehari—saya
harus berwudu dahulu sebelum berinteraksi dengan orang di rumah.
Dahulu,
saya pikir, berwudu itu hanyalah sekadar membersihkan bagian-bagian tubuh yang
berpotensi terkena kotoran, dan sebagai syariat bagi seseorang yang hendak menunaikan salat. Baru setelah saya menerima Latihan Kejiwaan Subud,
saya memahami bahwa berwudu merupakan tindakan simbolik untuk memelihara
kebersihan lahir maupun batin.
Membasuh
kening bermakna menjaga kebersihan pikiran. Membasuh tangan dan lengan
merepresentasi kebersihan perbuatan dengan kedua tangan (yang secara anatomis
gerakannya dimungkinkan oleh mekanisme lengan), dan mencuci kaki melambangkan
bahwa langkah-langkah kehidupan kita seyogianya selalu berhati-hati,
jangan sampai menginjak hak-hak orang lain, dan selalu berada di jalan yang
lurus.
Setelah
berlatih kejiwaan, wudu saya semakin lengkap, karena Latihan Kejiwaan memberi
saya pembersihan yang menyeluruh, meliputi diri, luar dan dalam, raga dan jiwa,
lahir dan batin, bahkan turut membantu pembersihan leluhur saya (orang tua dan
seterusnya ke atas).
Sejak
kelahiran putri saya, pada Oktober 2016, bertambah kebiasaan saya: Sepulang
dari bepergian, sebelum saya boleh bertemu putri saya, selain wudu dan mandi,
saya juga terbimbing untuk menenangkan rasa diri terlebih dahulu. Penenangan
rasa diri saya lakukan sejak suatu ketika saya diberi kesadaran dalam Latihan
Kejiwaan bahwa di sekeliling saya terdapat daya/energi rendah yang terpancar
dari orang lain dan benda-benda. Daya rendah ini dapat (dan pasti) terserap
oleh diri saya saat saya berinteraksi dengan orang lain atau benda-benda, yang
menyisakan residu atau “kekotoran” pada rasa diri saya.
Bila
Anda sudah dibuka dan rajin berlatih kejiwaan, Anda dapat merasakan sendiri
kehadiran halus residu tersebut; seperti ada sesuatu yang bukan milik Anda
menggelayut pada badan Anda. Kalau saya, biasanya saya merasakan berat di
kepala, pusing, dada sesak, susah bernapas, sangat mengantuk, dan/atau mata
seperti terkena sengatan bawang. Hal ini bisa menular ke orang-orang yang
secara kejiwaan terkoneksi dengan jiwa saya, seperti anak dan istri. Maka dari
itu, saya selalu melakukan “wudu jiwa” melalui penenangan rasa diri.
Latihan
Kejiwaan secara otomatis menempatkan kita sesuai lingkungan di mana kita sedang
berada. Sebagai praktisi branding,
misalnya, di hadapan klien saya bukanlah Arifin yang dikenal oleh
saudara-saudara Subud atau teman-teman di luar Subud. Saat bersama
saudara-saudara Subud saya cenderung talkative
dan cuek, berbeda dengan saya yang cenderung pendiam atau malu berekspresi
ketika bersama teman-teman alumni Universitas Indonesia, IKIP Jakarta, SMA
Negeri 60 Jakarta, SMP Negeri 141 Jakarta, atau SD Negeri Pela Mampang 05 Pagi.
Tanpa saya usahakan atau dengan sengaja saya buat berbeda, Latihan membuat saya
dengan mudahnya beradaptasi sesuai tempat saya berada pada suatu waktu dan
orang-orang yang dengan mereka saya berinteraksi. Saya tidak mengerti mengapa
bisa begitu; semua mengalir saja!
Pernah
saya lupa melakukan wudu jiwa, yang mengakibatkan saya tetap menjadi diri saya
di tempat dan keadaan sebelumnya (meeting
dengan klien) saat berinteraksi dengan putri saya. Putri saya sampai ketakutan
melihat saya, dan saya pun tersadar bahwa saya belum berwudu jiwa. Sebagai anak
usia bawah lima tahun, jiwa putri saya masih suci; ia dapat melihat keberadaan
halus residu pada diri seseorang yang jiwanya belum diwudukan.
Saya
pun segera menyingkir, masuk kamar dan melakukan Latihan Kejiwaan, bukan semata
penenangan diri. Lalu, saya berwudu dan kemudian mandi. Setelah itu, baru saya
kembali menemui putri saya dan meminta maaf atas sikap saya yang mungkin dia
rasakan “bukan saya”. Pengalaman itu membuat saya sejak itu aktif me-niteni diri, mengobservasi diri saya
sendiri, apakah berbalut kekuasaan Tuhan atau, sebaliknya, gelombang energi
residual yang mengikis kesejatian diri.©2020
GPR, Tangerang Selatan, 18 Mei 2020
No comments:
Post a Comment