LATIHAN
Kejiwaan bukan meditasi atau semadi. Itu reaksi saya saat menghadapi pernyataan
dari orang-orang yang ingin tahu tentang latihan spiritualnya Susila Budhi
Dharma (Subud). Karena sebelum menerima Latihan Kejiwaan pada tahun 2004, saya
sempat berlatih meditasi (sejak 1988), sehingga saya jadi tahu bedanya.
Meditasi
melibatkan pengalihan situasi secara sengaja, dengan usaha cukup keras,
sehingga ada tekanan terhadap diri, walaupun halus, bahkan tak disadari oleh
banyak meditator. Meditasi adalah sebentuk usaha manusiawi untuk mencapai
keadaan tenang, tenteram, hening, dan akhirnya memperoleh penerangan atau
pencerahan (enlightenment). Proses
bertahap ini persis yang dialami Siddhartha Gautama hingga ia menjadi seorang
Buddha (yang tercerahkan).
Latihan
Kejiwaan, sebaliknya, hanya menerima apa pun yang datang ke kita. Tidak ada
pengekangan, tidak perlu menunggu atau menantikan apa pun, tidak melibatkan
usaha untuk membendung atau melawan apa pun yang datang atau timbul di dalam
maupun luar diri. Intinya, hanya menerima tanpa melibatkan hati dan pikiran.
Karena Subud bersandar pada kenyataan yang bersifat kanyatan (kenyataan yang tampak) dan kasunyatan (ada tapi tak tampak), sehingga meskipun
tidak menerima apa pun—menurut konteks akal pikir kita—ya, kita terima saja apa
adanya. Secara gaib nan ajaib, dengan Latihan Kejiwaan, kita tertuntun (made to) secara alami, tanpa usaha dan
tekanan atau paksaan, untuk berperasaan sabar, tawakal, dan ikhlas. Keadaan ini
melahirkan energi untuk berpikir dan berperasaan, berkata dan berbuat secara
spontan, yang pada gilirannya mendorong suatu kondisi transformasi lahir dan
batin terus menerus.
Meditasi biasanya dilakukan dengan diam dan hening, dalam keadaan duduk atau berdiri
atau berjalan; dalam keadaan berjalan, perhatian kita tertuju pada langkah kaki.
Latihan Kejiwaan bisa diam, tapi mayoritas berupa gerakan-gerakan dinamis,
kadang lemah gemulai, kadang keras dan kencang, ditambah suara yang keluar dari
mulut kita, tanpa kita kehendaki tapi tak dapat kita lawan, sementara kita
dalam keadaan sadar. Dan tidak diperlukan memusatkan perhatian pada
gerakan-gerakan tersebut. Rileks saja, nikmati kelepasan dan kebebasannya.
Perbedaan
paling mendasar di antara keduanya, yang paling jelas adalah bahwa dalam
meditasi ada serangkaian aturan, sedangkan dalam Latihan Kejiwaan aturan justru
menghambat individu untuk menerima Latihan. Bila meditasi berpostur seragam,
Latihan bersifat beragam, dengan masing-masing individu menerima tuntunan
sesuai keadaan dirinya pada suatu waktu.
Meditasi atau samaddhi dalam Buddhisme merupakan
latihan untuk mencapai pencerahan sempurna. Latihan Kejiwaan adalah teknik
untuk menyempurnakan pencerahan yang diperoleh dengan mempraktikkannya dalam
kehidupan sehari-hari. “Gerak hidup yang terbimbing” adalah istilah umum di
kalangan anggota Subud.
Bagaimanapun,
menurut saya, Latihan Kejiwaan dan meditasi memiliki tujuan yang sama, atau
paling tidak, mirip, yaitu hidup secara sadar di Saat Ini, penuh kepasrahan,
berperasaan menyerah yang dinamis. Kosong tapi penuh, penuh tapi kosong!
Satu
saudara Subud saya pernah mengungkapkan pengamatannya, bahwa sementara kaum
Buddhis menapaktilasi perjalanan Gautama mencapai alam kebuddhaan, sebaliknya
anggota Subud “menjadi Buddha” (baca: tercerahkan) dahulu baru kemudian
menapaki kehidupan dengan tuntunan pencerahan tersebut.
Tidak
ada yang salah dengan atau tidak ada yang paling benar di antara kedua metode ini, karena
jalan ke Tuhan ada banyak, sebanyak jumlah manusia di muka Bumi.
Mempertengkarkan mana jalan yang paling benar adalah seperti berdebat di
terminal bus tentang mana bus jurusan, misalnya, Surabaya yang paling benar.
Meskipun rutenya mungkin berbeda, dan model perjalanannya bervariasi, tapi
tujuannya tetap sama, yaitu Surabaya. Semoga sempurna pencerahannya!©2020
Selamat
Hari Raya Tri Suci Waisak 2564 BE/7 Mei 2020. Sabbe satta bhavantu sukkhitatta!
GPR 3, Tangerang Selatan, 7 Mei 2020
No comments:
Post a Comment