“APALAH
arti sebuah nama?" tanya Shakespeare. Bagi sastrawan mashur kelas dunia
asal Inggris ini, sebuah nama mungkin hanyalah sesuatu yang sepele. Mawar jika
tidak dinamai “mawar” tidak akan hilang keharumannya, demikian kilahnya. Saya
kira, tidak sesimpel itu. Mungkinkah nama Shakespeare akan mendunia lewat
karya-karya sastranya andaikata namanya bukan “Shakespeare”?
Dalam
bidang penjenamaan (branding), nama
memainkan peran penting. Penamaan menempati posisi teratas dalam rangkaian
jenjang ekuitas merek (brand equity),
karena nama mewakili identitas dari sesuatu yang hendak dijenamakan. Bila nama
yang diberi pada sesuatu tidak merepresentasi kekhasan sesuatu yang
dijenamakan, dijamin upaya penjenamaannya akan tersendat-sendat.
Sebuah
merek tidak bisa serta-merta diberi sebuah nama, semata karena nama tersebut
terdengar indah atau baik. Nama yang diberi harus mengandung nilai-nilai
tertentu dari budaya di mana merek tersebut lahir. Begitu pun, tidak menjamin
merek tersebut dapat langgeng di tengah budaya lainnya, yang berkontradiksi
dengan budaya asal si merek.
Ambil
contoh minuman dalam kemasan berjenama Pocari Sweat. Minuman itu diproduksi
oleh sebuah perusahaan farmasi asal Jepang, yang juga memproduksi cairan infus,
bernama Otsuka Pharmaceutical Co., Ltd. Nama Pocari Sweat mungkin terdengar gagah,
dan mewakili kegunaannya, yaitu mengganti ion tubuh yang hilang bersama
keringat (sweat). Namun kesuksesan
merek tersebut sempat tersendat-sendat begitu beredar di tengah masyarakat
Amerika yang melihat cairan isotonik di dalam kemasannya keruh, yang
dipersepsikan konsumen Amerika sebagai air perasan keringat, sehingga
menimbulkan rasa jijik.
Nama
memiliki makna yang signifikan di sejumlah budaya, termasuk Jawa. Tapi bukan
karena Subud berakar di Jawa, sehingga ada kebiasaan mengganti nama lahir anggota
Subud dengan “nama jiwa”. Selain sebagai identitas seorang manusia di dalam
masyarakat, nama dipercaya sebagai doa atau harapan, bukan hanya bagi
masyarakat Jawa, melainkan di berbagai budaya lainnya. Saya menamai putri saya,
contohnya, “Nuansa Biru Oceania”, karena makna filosofisnya mewakili harapan
saya terhadapnya: Semoga “cantik di bawah (dalam) maupun di permukaannya (luar)”.
Nama Subud
saya, “Arifin”, bisa jadi mewakili harapan banyak orang terhadap diri saya,
agar saya tidak lagi berkelakuan layaknya anak-anak—yang diwakili nama lahir
saya, “Anto”, yang merupakan derivasi dari kata “ananda”—dan terbimbing menuju
pribadi yang arif dan bijaksana. Percaya atau tidak, kebetulan atau tidak,
sejak menyandang nama Arifin, Latihan Kejiwaan menuntun transformasi diri saya
secara bertahap ke arah saya yang lebih arif dan bijaksana dalam pikiran dan
perasaan, perkataan dan perbuatan.
Bagaimanapun,
sebuah nama tidak serta-merta atau dalam sekejap mengubah sikap dan perilaku
seseorang. Serangkaian proses tetap harus dilalui seseorang agar dirinya dapat
sejalan dengan nama yang disandangnya.
Jadi, di
Subud, perubahan nama bukan sesuatu yang “asal terima langsung jadi”; perubahan
nama berkonsekuensi dengan tanggung jawab yang juga harus disesuaikan dengan
nama tersebut. Saya ingat pada sebuah insiden saat saya duduk di bangku SMA dahulu. Seorang kawan sekelas bernama Syarif Hidayatullah, panggilannya “Bob”
(barangkali dia merasa terbebani dengan nama aslinya). Sebuah tanggung jawab
besar dipikul si pemilik nama, karena nama Syarif Hidayatullah dipersepsikan
khalayak sebagai tokoh Islam salah satu dari sembilan wali (wali sanga) yang menyebarkan agama Islam
di Tanah Jawa, dan tentunya memiliki karakter berkualitas terbaik.
Nyatanya,
kawan saya ini tidak mencerminkan hal itu: di kelas dia terkenal nakal, berani
melawan guru, dan suka membuat kegaduhan. Suatu hari, seorang guru baru
berwujud perempuan muda terpancing amarahnya oleh kelakuan Bob yang menyebalkan,
hingga si guru berkomentar, “Nama kamu Syarif Hidayatullah tapi kelakuan kamu nggak pas untuk nama itu!”
Nah kaan, terbukti nama tidak boleh
sembarangan diberi. Bagaimanapun, bertahun-tahun kemudian, Bob yang saya jumpai
kembali lewat Facebook beberapa tahun lalu ini telah bertransformasi menjadi
pribadi yang alim, taat beragama, dan berkelakuan sekualitas nama tokoh Islam yang
disandangnya.
GPR, Pondok Cabe, Tangerang Selatan,
11 Mei 2020
No comments:
Post a Comment