“KENAPA lo keto?” tanya saya pada
salah seorang kawan yang saya ketahui menjalani diet ketofatosis. Kawan ini
menjawab bahwa beberapa teman sekantornya dan kerabatnya menganjurkannya agar
ia melakukan metode diet tersebut untuk memelihara kebugaran tubuhnya. Dia
percaya pada anjuran mereka dan menjalaninya tanpa mempertimbangkan apa yang
sejatinya ia butuhkan.
Di lain kesempatan, seorang kawan lainnya bercerita bahwa ia terusik dengan
postingan-postingan dari satu teman Facebooknya, yang dirasakannya sebagai sindiran
terhadap atau persaingan melawan dirinya. Ia pun memosting balasan dengan
pendekatan yang sama: Sinisme! Saya diam saja mendengar penuturan dirinya
mengenai semua rencana pembalasannya.
Kawan lainnya lagi, yang sudah lama lost
contact dengan saya, ketika bertemu lagi, saya lihat penampilan dirinya
berbeda 180 derajat dari yang terakhir kalinya kami berjumpa beberapa tahun
lalu. Ia mengenakan atribut-atribut yang dipersepsikan sebagai identitas agama
tertentu. “Gue hijrah, Fin. Sudah
saatnya, menurut teman-teman gue di
pengajian.”
Saya kasihan pada orang-orang seperti ini. Mudah sekali mereka dikontrol
oleh lingkungan mereka, tak menyadari bahwa sesungguhnya mereka dapat
mengatasinya sejalan dengan apa yang sejatinya mereka butuhkan. Ingin sekali
saya berteriak lekat-lekat di telinga mereka: “Ambil alih kendalinya!”
Yang tahu diri kita hanya kita sendiri dan Tuhan. Atau, menurut pengertian
saya, hanya Tuhan yang Maha Tahu apa yang dibutuhkan diri kita. Orang lain
boleh saja dijadikan acuan, tapi jangan sebagai alasan utama untuk berubah.
Alasan utama dan paling penting dalam keputusan kita untuk melakukan atau tidak
melakukan haruslah diri kita sendiri. Jangan sampai apa yang kita pilih untuk
kita lakukan atau tidak lakukan malah mencelakai kita di kemudian hari.
Namun, memang, tidak semua orang mau menyadarinya. Banyak orang tidak
percaya diri, dan mengandalkan apa yang dikatakan orang lain. Kebanyakan alasan
untuk ini adalah kekhawatiran bilamana pilihan atau keputusan mereka sendiri
ternyata salah atau keliru. Banyak orang men-switch off suara diri (inner
voice) mereka sendiri, sering bahkan untuk hal-hal yang penting bagi hidup
mereka.
Banyak orang membiarkan diri mereka larut dalam suatu keadaan yang
diciptakan orang lain. Tak sedikit orang yang secara tak sadar mengaplikasikan
citra-citra tertentu pada diri mereka, yang sebenarnya bukan aslinya mereka,
melainkan merepresentasi kehendak orang lain. Ingat, tidak akan ada yang peduli
bila keadaan itu malah menjauhkan kebahagiaan sejati kita! Kita mungkin merasa
senang diterima oleh orang lain, dicintai orang banyak. Tapi apa artinya
penerimaan atau cinta, jika kesejatian kita terkikis karenanya?
Hakikatnya, manusia diberi bekal tuntunan atau bimbingan melalui apa yang
disebut sebagai suara diri. Suara diri, yang terdengar hanya di tengah
ketenangan rasa diri, menyuarakan kebenaran. Kebenaran yang bersifat pribadi,
hanya mutlak bagi si pemilik diri. Suara itu hanya “membacakan ulang” kitab
pedoman yang telah dituliskan di dalam diri setiap orang.
Orang-orang yang mendengarkan suara diri mereka adalah orang-orang yang
memegang kendali atas hidup mereka; atas bagaimana mereka seharusnya menjalani
hidup sejalan kepribadian masing-masing. Dan tidak ada orang yang tidak
memiliki suara diri; yang ada adalah orang yang menolak suara dirinya.
Saran orang lain, sebaik apa pun itu, tidak selalu baik atau berguna bagi
kita. Meniru plék (seperti mesin
fotokopi atau pemindai) tak jarang mencelakai peniru, biarpun yang ditirunya
adalah sesuatu yang baik. Baiknya, lakukan pertimbangan yang masak, perenungan
dengan menggunakan akal pikir, lalu rasakan diri kita tentang bagaimana
baiknya, kemudian serahkan apa pun keputusan kita kepada Tuhan. Dia yang akan
memperbaiki apabila kita salah memilih atau mengisi kekurangan kita dalam
menjalankan apa yang kita pilih untuk kita tuju. Jangan takut, kendali ada di
tangan kita!©2020
GPR, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 10 Mei 2020
No comments:
Post a Comment