SABAR,
tawakal, dan ikhlas merupakan kredo bagi anggota Subud dalam berlatih kejiwaan
maupun saat melakoni hidup keseharian. Ketiga sikap yang melengkapi penyerahan
diri seorang anggota Subud ternyata tidak mudah dipraktikkan dalam hidup
sehari-hari. Hambatannya hanya satu: Tidak ada keberanian! Sehingga, dalam
ceramah terakhir Bapak Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo di Cilandak, pada 27 Mei 1987
(kode rekaman: 87 CDK 5), beliau menambahkan aspek “berani” pada sekuens sabar,
tawakal, dan ikhlas.
Dalam
Latihan Kejiwaan, ketiadaan sikap sabar, tawakal dan ikhlas hanya menghalangi
seseorang dari menerima vibrasi Latihan maupun penerimaan bimbingan yang
meliputi badan wadag, rasa perasaan, pengertian, dan/atau keinsafan. Pun,
ketiadaan ketiga aspek penyerahan diri ini dalam keseharian kita cenderung meniadakan
kontak kita dengan kekuasaan Tuhan dalam segala perkataan dan perbuatan,
pikiran dan perasaan kita. Dengan kata lain, kemurahan Tuhan yang seharusnya merupakan
hak dasar kita malah emoh mendatangi kita.
Mengapa
aspek berani ditambahkan Bapak Subuh pada kredo Latihan Subud adalah karena
aspek inilah yang dapat “memaksa” seorang anggota untuk berada dalam keadaan
Latihan sepenuh waktu (24-hour state of
Latihan). Pengalaman saya maupun banyak anggota Subud lainnya, bersikap
sabar, tawakal, dan ikhlas ketika menghadapi permasalahan-permasalahan hidup
tidaklah segampang melakukannya saat Latihan di hall. Beranikah Anda, misalnya, bersikap sabar, tawakal, dan ikhlas
ketika dihadapkan pada permasalahan bisnis yang dapat membuat Anda kehilangan
banyak uang? Sebagian besar dari kita, saya yakin, tidak berani. Siapa pula
yang mau kehilangan uang? Tapi, tahukah Anda bahwa ketakutan itu sebenarnya
telah membuktikan Anda tidak sepenuhnya beriman kepada Tuhan?
Berani
yang dinasihatkan Bapak Subuh bukanlah berani tanpa pertimbangan—bukan nekat,
melainkan keberanian yang disertai kearifan. Tanpa kearifan (wisdom), sikap berani kita cenderung
membabi-buta, asal tabrak, tak peduli akan kemungkinan tindakan kita merugikan
orang lain. Hal ini dilakukan oleh, sebagai contoh, sejumlah anggota Subud yang
tetap datang ke Hall Latihan Cilandak selama pandemi Covid-19, sementara akibat
pandemi tersebut hall-hall Latihan di
berbagai lokasi di Indonesia dinyatakan tertutup untuk kegiatan massa.
Jiwa
tidak terbatas oleh ruang dan waktu, sehingga di mana pun kita berada, kita
tetap dapat melakukan Latihan bersama saudara-saudara sejiwa yang berlainan
tempat. Kenyataan ini menguntungkan anggota Subud di saat pandemi seperti
sekarang ini, yang “mengurung” mereka di rumah masing-masing, karena tetap
dapat berlatih kejiwaan secara bersama-sama dalam waktu yang sama tanpa harus
bertemu muka atau berdekatan secara lahiriah.
Alasan
dari beberapa anggota yang bersikeras untuk Latihan di hall Latihan (mereka hanya dapat melakukannya di teras hall, berhubung pintu aksesnya terkunci
rapat) adalah bahwa seyogianya tak perlu takut terhadap ancaman virus, karena
anggota Subud dimurahi Tuhan. Seperti inilah keberanian yang tidak disertai
kearifan! Sedangkan Latihan Kejiwaan, menurut pengalaman saya, memberi kita
kearifan tanpa batas. Kita telah diberi otak yang dengannya kita berpikir. Akal
budi yang terbimbing kekuasaan Tuhan mampu melahirkan kearifan, yang membuat
kita tidak gegabah dalam tindakan-tindakan kita.
Momen
seperti sekarang ini—dengan pandemi penyakit mematikan yang disebabkan oleh
virus Corona—merupakan momen kita sebagai anggota Subud untuk belajar berani
bersabar, berani bertawakal, dan berani bersikap ikhlas terhadap keharusan
bersama untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Kita harus berpikir sebagai
“kita”, bukan sebagai “saya” dalam hal ini. Anda bisa saja terhindar dari terinfeksi
virus saat Latihan di hall, tapi
bukan tidak mungkin sepulang dari hall
Anda tak sengaja berinteraksi dengan orang yang sakit atau benda-benda yang
tidak higienis. Atau karena kelelahan, Anda sendiri jatuh sakit, yang membuat
keluarga Anda rentan terinfeksi virus tersebut.
Berbagai
kemungkinan tetap ada; apakah kita akan tertular atau tidak, tidak dapat kita
pastikan. Sebagai pencegahan risiko, sebaiknya kita berupaya dengan sabar,
tawakal dan ikhlas, apa pun langkah—yang dianjurkan pihak-pihak yang berwenang—yang
harus kita tempuh. Beranikah?!©2020
GPR, Tangerang Selatan, 24 Mei 2020