Tuesday, May 27, 2025

Membiasakan Diri Mengendapkan Nafsu

BELAKANGAN ini, saya kerap merenungkan bagaimana saya dapat memperbaiki perilaku saya, meningkatkan kualitas hubungan saya dengan istri dan anak, membantu anak dalam tumbuh-kembangnya, dan menyikapi berbagai kegiatan profesional maupun sosial saya.

Tidak sengaja (tapi saya tidak percaya “kebetulan”), ketika beberapa jam lalu membaca ulang PDF majalah Subud Voice edisi April 2025, pada artikel dari Suryadi Mai yang berjudul “Essential Factor for Practising Latihan” (Faktor Penting dalam Melakukan Latihan) saya menemukan kutipan dua kalimat dari ceramah Ibu Rahayu yang menggugah saya, sehingga saya mencari ceramah utuhnya. Saya cuplik yang lebih panjang daripada yang dicuplik Suryadi Mai, sebagai berikut...

 

“Di dalam Latihan, kita dilatih untuk bisa mengendapkan nafsu-nafsu. Hingga, kalau di dalam Latihan, kita bisa merasakan kekosongan di dalam diri kita dan terisi oleh sesuatu yang membangkitkan rasa diri. Dan rasa inilah yang sebetulnya harus saudara bawa, yaitu di dalam mengerjakan segala sesuatu di dalam kehidupan saudara sehari-hari.

 

Kalau saudara sudah dapat membiasakan diri untuk dapat mengendapkan nafsu tadi, maka tidak ada persoalan, tidak ada ketidakharmonisan, atau tidak ada ketidakrukunan di dalam group saudara. Juga di dalam kehidupan rumah tangga, di dalam pekerjaan, di dalam rapat-rapat karena kebiasaan ini tidak akan merugikan orang itu, bahkan kadang-kadang akan menguntungkan dirinya.”

 

Karena suatu kebiasaan mengikuti nafsu yang tidak bisa dikendalikan, akan membuat orang itu mempunyai karakter—artinya pertumbuhan nafsu tadi—karena dibiarkan akan menjadi karakter dari manusia tadi. Jadi, sebetulnya karakter itu bukan karakter yang tumbuh dari jiwanya, tapi karakter yang saudara bentuk karena nafsu yang tidak dapat saudara kendalikan. Dan buktinya, saudara-saudara, yang dapat kita lihat, bahwa Tuhan tidak menghendaki nafsu itu tertanam di dalam diri saudara.

 

Misalnya, kalau saudara seorang bapak, artinya bapak yang masih mempunyai anak-anak, kalau saudara membenci seseorang—apa perbuatannya, apa rupanya—nanti kalau punya anak, kenapa bisa terkena anak itu? Ya, ini contoh yang biasa yang dapat dilihat. Yang karakter itu, mungkin bukan karakter dari bapaknya dan ibunya.

 

Tetapi mengapa anak itu mendapat karakter yang tidak dipunyai bapak dan ibunya? Yaitu, karena tertanam dalam diri saudara suatu kebencian hingga dapat menurun, atau tercetak, di dalam anak yang saudara lahirkan. Jadi, ini suatu contoh saja. Jadi, terang bahwa tindak-tanduk manusia sehari-hari itu yang akan membentuk jiwa saudara yang asli, yang saudara punyai sendiri.

 

Kalau orang-orang Subud sudah banyak yang dapat melakukan ini—artinya melakukan bisa mengendapkan nafsu-nafsu tadi—maka kami percaya bahwa di Subud betul-betul ada kerukunan seperti apa yang diharapkan. Karena dengan tidak menonjolnya nafsu-nafsu itu, maka segala panca indra, dan segala sesuatu yang ada di dalam diri saudara, akan terisi oleh jiwa saudara.

 

Hingga apa yang saudara kerjakan, atau saudara lakukan, dapat memberi amal bagi sesama manusia. Artinya amal, yaitu kebaikan bagi sesama manusia. Dan tentu saja, ini sesuatu tugas manusia yang mulia apabila saudara dapat melakukan sesuatu atas segala yang ada pada diri saudara untuk memperbaiki orang lain. Karena dengan demikian Tuhan akan memuji saudara.

 

Karena di dalam melakukan segala sesuatu saudara tidak perlu... artinya menguji Tuhan, karena Tuhan adalah Yang Serba Ada dan Maha Kuasa. Tetapi kalau saudara dapat membuat sesuatu yang baik bagi manusia, dimana manusia itu adalah makhluk Tuhan, maka tentu saja saudara akan mendapat kemurahan dari Tuhan. Tentu saja kemurahan ini macam-macam, yaitu dapat membangkitkan jiwa saudara, yang dapat saudara bawa nanti apabila saudara harus pulang.” (Chiba, Jepang, 4 Mei 2004—04 TYO 05) ©2025

 

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 27 Mei 2025

No comments: