BELAKANGAN ini, saya kerap merenungkan bagaimana saya dapat memperbaiki perilaku saya, meningkatkan kualitas hubungan saya dengan istri dan anak, membantu anak dalam tumbuh-kembangnya, dan menyikapi berbagai kegiatan profesional maupun sosial saya.
Tidak sengaja (tapi saya
tidak percaya “kebetulan”), ketika beberapa jam lalu membaca ulang PDF majalah Subud Voice edisi April 2025, pada
artikel dari Suryadi Mai yang berjudul “Essential
Factor for Practising Latihan” (Faktor Penting dalam Melakukan Latihan)
saya menemukan kutipan dua kalimat dari ceramah Ibu Rahayu yang menggugah saya,
sehingga saya mencari ceramah utuhnya. Saya cuplik yang lebih panjang daripada
yang dicuplik Suryadi Mai, sebagai berikut...
“Di dalam Latihan, kita
dilatih untuk bisa mengendapkan nafsu-nafsu. Hingga, kalau di dalam Latihan,
kita bisa merasakan kekosongan di dalam diri kita dan terisi oleh sesuatu yang
membangkitkan rasa diri. Dan rasa inilah yang sebetulnya harus saudara bawa,
yaitu di dalam mengerjakan segala sesuatu di dalam kehidupan saudara
sehari-hari.
Kalau saudara sudah
dapat membiasakan diri untuk dapat mengendapkan nafsu tadi, maka tidak ada
persoalan, tidak ada ketidakharmonisan, atau tidak ada ketidakrukunan di dalam
group saudara. Juga di dalam kehidupan rumah tangga, di dalam pekerjaan, di
dalam rapat-rapat karena kebiasaan ini tidak akan merugikan orang itu, bahkan
kadang-kadang akan menguntungkan dirinya.”
Karena suatu kebiasaan
mengikuti nafsu yang tidak bisa dikendalikan, akan membuat orang itu mempunyai
karakter—artinya pertumbuhan nafsu tadi—karena dibiarkan akan menjadi karakter
dari manusia tadi. Jadi, sebetulnya karakter itu bukan karakter yang tumbuh
dari jiwanya, tapi karakter yang saudara bentuk karena nafsu yang tidak dapat
saudara kendalikan. Dan buktinya, saudara-saudara, yang dapat kita lihat, bahwa
Tuhan tidak menghendaki nafsu itu tertanam di dalam diri saudara.
Misalnya, kalau saudara
seorang bapak, artinya bapak yang masih mempunyai anak-anak, kalau saudara
membenci seseorang—apa perbuatannya, apa rupanya—nanti kalau punya anak, kenapa
bisa terkena anak itu? Ya, ini contoh yang biasa yang dapat dilihat. Yang
karakter itu, mungkin bukan karakter dari bapaknya dan ibunya.
Tetapi mengapa anak itu
mendapat karakter yang tidak dipunyai bapak dan ibunya? Yaitu, karena tertanam
dalam diri saudara suatu kebencian hingga dapat menurun, atau tercetak, di
dalam anak yang saudara lahirkan. Jadi, ini suatu contoh saja. Jadi, terang
bahwa tindak-tanduk manusia sehari-hari itu yang akan membentuk jiwa saudara
yang asli, yang saudara punyai sendiri.
Kalau orang-orang Subud
sudah banyak yang dapat melakukan ini—artinya melakukan bisa mengendapkan nafsu-nafsu
tadi—maka kami percaya bahwa di Subud betul-betul ada kerukunan seperti apa
yang diharapkan. Karena dengan tidak menonjolnya nafsu-nafsu itu, maka segala
panca indra, dan segala sesuatu yang ada di dalam diri saudara, akan terisi
oleh jiwa saudara.
Hingga apa yang saudara
kerjakan, atau saudara lakukan, dapat memberi amal bagi sesama manusia. Artinya
amal, yaitu kebaikan bagi sesama manusia. Dan tentu saja, ini sesuatu tugas
manusia yang mulia apabila saudara dapat melakukan sesuatu atas segala yang ada
pada diri saudara untuk memperbaiki orang lain. Karena dengan demikian Tuhan
akan memuji saudara.
Karena di dalam
melakukan segala sesuatu saudara tidak perlu... artinya menguji Tuhan, karena
Tuhan adalah Yang Serba Ada dan Maha Kuasa. Tetapi kalau saudara dapat membuat
sesuatu yang baik bagi manusia, dimana manusia itu adalah makhluk Tuhan, maka
tentu saja saudara akan mendapat kemurahan dari Tuhan. Tentu saja kemurahan ini
macam-macam, yaitu dapat membangkitkan jiwa saudara, yang dapat saudara bawa
nanti apabila saudara harus pulang.” (Chiba, Jepang, 4 Mei 2004—04 TYO 05) ©2025
Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 27 Mei 2025
No comments:
Post a Comment