Wednesday, July 9, 2025

Selamat Ulang Tahun, Hyang

Di usiamu yang matang, berkah tak terbilang

Kini kau telah kembali dari berhaji,

jadikan hati berseri, jiwa pun suci

Usia terangkai sudah,

menjalin kisah hidupmu yang penuh makna dan anugerah

Langkahmu kini ringan dan bercahaya,

bekal suci dari Makkah dan Madinah

                                                  

Semoga tiap doamu terkabulkan,

Di setiap sujud, harapan menuju wujud.

Kebahagiaan abadi menaungi,

di dunia ini hingga akhir nanti

Dirgahayu, Hyang,

Semoga Allah limpahkan rahmatNya tak terhingga

Jalanmu terang, imanmu kokoh,

Dalam pasrah, hidupmu indah...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 9 Juli 2025

Budaya Generalisasi

MASYARAKAT Indonesia itu suka salah kaprah terhadap nama-nama makanan yang berasal dari budaya-budaya yang berbeda, terutama karena kecenderungan menggeneralisasi. Generalisasi umumnya disebabkan oleh kemalasan memahami detail.

Seperti kasus Roti Canai vs Roti Maryam, misalnya—kedua jenis roti pipih yang berbeda asal budaya dan cara masaknya tapi dianggap sama. Begitu pula dengan Dimsum; masyarakat Indonesia menganggap Dimsum adalah hanya camilan berbentuk daging ayam giling berbumbu yang dibungkus kulit tepung yang dikukus. Padahal shumai (nama untuk jenis Dimsum itu) hanya salah satu dari lebih dari 950 jenis Dimsum. Dalam bahasa Kanton, dim sum berarti “makanan kecil”, dan nama itu mencakup segala jenis camilan khas Tiongkok, baik dikukus, digoreng, disetup, dibakar maupun dipanggang, termasuk onde-onde, kue ku (angku), bakcang, bakpia, bakpau, lumpia, ceker ayam, bakwan/bala-bala, kue lapis tepung beras, dan hoklopan (terang bulan/martabak manis).

Kasus lainnya adalah kebab. Di budaya asalnya, Timur Tengah, kebab secara etimologis berasal dari kata bahasa Arab kabāb yang artinya “daging bakar/panggang”. Dalam konteks budaya asalnya, kebab mengacu pada daging giling yang dibakar atau dipanggang, tapi ada pula kebab yang berwujud bola daging giling (meatball atau bakso) atau daging potong dadu yang disetup (stew). Kuliner khas Indonesia, sate, termasuk kategori kebab. Begitu tiba di Indonesia, kebab digeneralisasi sebagai “daging giling bakar yang dibungkus roti pipih”; yang tidak dibungkus roti pipih dianggap bukan kebab.

Kesalahkaprahan semacam ini juga berlaku untuk kuliner lokal Nusantara. Seperti, misalnya, tempe mendoan. Di budaya asalnya, Banyumas, mendoan mengacu pada tempe tipis yang dibungkus adonan tepung yang mengandung ketumbar dan daun bawang lalu digoreng setengah matang. Istilah setempat untuk “setengah matang” adalah mendho. Jadi, mendoan atau mendhoan seharusnya mengacu pada “gorengan setengah matang” atau “basah”, bukan “gorengan garing” atau “kering” yang disukai masyarakat di luar Banyumas, utamanya Jakarta dan Surabaya. Orang Banyumas akan terbengong-bengong mendapati camilan khas daerahnya disajikan kering di daerah lain tapi tetap pakai nama “tempe mendoan”.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 9 Juli 2025

Saturday, July 5, 2025

Saya Ada di Mana Ketika Bapak Masih Ada?

SAYA sedang melihat postingan berjudul “Overlapping Timelines That Shouldn’t Have Happened” di akun Instagramnya Look Into History, dan menemukan slide pertamanya adalah gambar ini. Terbersit pemikiran yang mengasyikkan, yaitu “saya ada di mana ketika Bapak masih ada?” 




Ketika Bapak tutup usia pada 23 Juni 1987, saya sedang kelewat larut dalam belajar di kamar saya untuk menghadapi ujian masuk perguruan tinggi negeri kedua kalinya bagi saya. Saat itu, saya sebenarnya sudah kuliah di Jurusan Pendidikan Sejarah dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta, sebuah perguruan tinggi bagi calon guru. Karena saat itu menjadi guru bukan cita-cita saya—terutama karena saya demam panggung bila berdiri di depan kelas, saya memutuskan untuk mulai kembali hit the books, mempersiapkan diri menghadapi ujian masuk perguruan tinggi negeri yang sangat kompetitif--jelas bukan ajang pertarungan yang mudah bagi seseorang dengan ranking terbawah di SMA seperti saya ketika itu. Terbersit pemikiran, seandainya saya sudah masuk Subud saat itu, mungkin menjadi agak mudah bagi saya untuk mengatur pikiran saya (yang selalu saya tuding sebagai penyebab utama ketertinggalan saya dalam pelajaran selama pendidikan dasar dan menengah saya).

Periode pendidikan saya, baik di sekolah dasar, menengah maupun ketika di universitas merupakan masa-masa yang sulit bagi saya secara psikologis. Saya menjadi pribadi yang tergolong sangat tertutup. Saya bukan saja mengalami kegagalan dalam kuliah, tetapi juga dalam pergaulan sosial dan asmara. Saya merasa terkucilkan, dan diri sendiri adalah sahabat saya. Mengenang masa-masa itu, kalau boleh, saya menyesalkan mengapa saya belum menemukan Subud. Periode pendidikan dasar, menengah hingga tinggi saya adalah saat Bapak masih ada, dan saya mungkin akan memaksimalkan bertanya jawab dengan beliau dan merajinkan Latihan demi mengatasi problema psikologis saya (rendah diri yang parah).

Tapi... ya, sudahlah, masa itu sudah lewat dan saya sintas melaluinya meski belum menerima Latihan. Bagaimanapun, saya mensyukuri kenyataan bahwa saya baru menerimanya sepuluh tahun setelah saya menamatkan kuliah sarjana saya, dan saya bertekad akan membiasakan anak saya dalam hal pasrah dengan sabar, tawakal dan ikhlas, agar ia tak perlu melalui apa yang telah saya lalui dulu.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 5 Juli 2025