Tuesday, May 20, 2025

Gaya Hidup Sederhana Pak Dja’i

Ditulis dalam bahasa Inggris oleh Anto Dwiastoro (sejak 12 Maret 2018 menjadi Arifin Dwi Slamet) untuk Mata edisi ke-4 (Maret 2002), buletin resmi PT Grand Interwisata (anggota PT Dharmala Intiland).


Masyarakat Tengger tidak bisa dipisahkan dari Gunung Bromo. Wong Tengger, sebutan untuk masyarakat asli Tengger yang tinggal di pegunungan sekitar Gunung Bromo, dikenal tidak memiliki kasta dan mencintai kehidupan yang damai. (Sumber: Medium.com)

 

MENJALANI hidup sederhana dan tidak memiliki pikiran yang kacau, seperti yang dilakukan kebanyakan orang modern, adalah rahasia awet muda. Setidaknya, itulah pandangan pribadi Soedja’i, kepala adat masyarakat Tengger. Dikenal di kalangan masyarakat Tengger dengan sebutan Pak Dja’i, dukun (sebutan setempat untuk “ketua adat”) Tengger itu berpendapat bahwa cara hidup sederhana yang dilakukan oleh masyarakat yang telah hidup selama berabad-abad di Pegunungan Tengger (Bromo-Semeru) mampu menciptakan keharmonisan dan kedamaian, yang jarang ditemukan di dunia kontemporer.

 

Lahir di desa Ngadisari, Bromo, 70 tahun lalu (artikel ini aslinya ditulis tahun 2002), warga asli Tengger ini terlihat jauh lebih muda dari usianya yang sebenarnya. Apa resepnya agar tetap awet muda? “Saya menjalani hidup sederhana dan menghindari pikiran yang kacau,” kata Pak Dja’i kepada saya.

Dalam wawancara eksklusif dengan ketua adat Tengger yang memimpin empat desa Tengger dengan jumlah penduduk di bawah 1.500 jiwa itu, Pak Dja’i menyampaikan banyak ajaran moral yang sudah dipraktikkan oleh masyarakat Tengger sejak zaman nenek moyang mereka.

Pak Dja’i bangga karena pemuda Tengger saat ini masih melestarikan adat istiadat yang diwariskan oleh leluhur mereka. Pak Dja’i sendiri tidak tahu persis mengapa para pemuda masih meneruskan tradisi “pulang kampung”, meskipun saat ini ada beberapa anak Tengger yang memilih untuk bersekolah di banyak daerah lain di Jawa Timur. “Mereka selalu kembali ke Tengger. Meskipun mereka sudah berpendidikan, mereka memilih untuk bertani di kampung halaman, daripada mencari pekerjaan di kota. Saya tidak tahu mengapa,” jelas Pak Dja’i. Yang lebih mengejutkan adalah meskipun Bromo telah menjadi tujuan wisata internasional, yang menyebabkan menjamurnya bisnis perhotelan di daerah tersebut, orang Tengger tidak tertarik untuk bekerja di bidang lain selain bertani.

“Di sini ada tradisi berkumpul keluarga di rumah, di mana dalam situasi seperti itu orang tua mendekatkan anak-anaknya dengan ajaran moral,” imbuh mantan anggota DPRD Probolinggo periode 1982-1997 itu, yang salah satu putrinya menikah dengan orang luar, dan suaminya memilih tinggal di Tengger untuk menjadi petani. “Mungkin ini salah satu hal yang menyebabkan pemuda Tengger selalu rindu untuk pulang kampung.”

Masyarakat Tengger, diakui Pak Dja’i, memiliki tradisi saling menghormati dan menghargai antar sesama manusia selama berabad-abad. Itulah sebabnya tidak pernah muncul konflik di antara masyarakat Tengger. Pak Dja’i memberikan contoh toleransi beragama antara masyarakat desanya yang beragama Hindu dengan masyarakat desa tetangga yang beragama Islam. Untuk melestarikan budaya dan adat istiadatnya, meskipun masyarakat Tengger berperilaku secara terbuka, mereka tetap menjalankan kebiasaan hidup yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Cara hidup yang sederhana dan jauh dari konflik juga membuat permukiman Tengger menjadi tempat yang tertib dan damai. “Kalau motor diparkir di depan rumah dengan kunci starter masih menyala atau tidak dikunci, saya jamin tidak akan ada yang mencuri,” tutur Pak Dja’i yang menjadi kepala adat secara turun temurun dari ayahnya. “Kejahatan di sini hanya dilakukan oleh orang luar,” imbuh bapak tiga anak ini. Kok bisa? Pak Dja’i menekankan pentingnya takut akan karma, yaitu sesuatu yang buruk yang menimpa seseorang karena perbuatan di kehidupan sebelumnya. “Kalau saya mencuri satu jarum, suatu hari saya harus membayarnya dengan kapak. Dan harga satu kapak lebih mahal daripada harga satu jarum,” tutur Pak Dja’i mencontohkan tentang karma.

“Manusia harus takut kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa,” kata Pak Dja’i menjelaskan prinsip moral yang diterapkan oleh masyarakat Tengger dalam kehidupan sehari-hari. “Yang Maha Kuasa akan menilai perilaku kita di dunia ini.” Masyarakat Tengger yang sepenuhnya sadar akan keberadaan Tuhan, karenanya akan selalu menjaga perilaku baiknya. Hal itu akan terlihat ketika Anda mengunjungi permukiman Tengger, di mana masyarakatnya bersikap ramah dan menyambut Anda.

Budaya dan adat Tengger, khususnya ajaran moralnya, telah dipelajari dan diteliti oleh banyak orang luar, yang kabarnya menjadi dasar kursus penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pada masa Orde Baru (1967-1998). “Orang Tengger tidak mengerti apa itu kursus P4, karena sila Pancasila sudah ditaati orang Tengger sejak lama,” kata Pak Dja’i, yang juga menjelaskan bahwa Tengger bukanlah suku, sebagaimana kebanyakan orang luar menyebutnya, melainkan masyarakat. Suku memiliki bahasanya sendiri, tetapi orang Tengger berbicara bahasa Jawa sebagaimana orang Jawa lainnya.©2025


Diterjemahkan oleh Arifin Dwi Slamet di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 20 Mei 2025

No comments: