Ditulis oleh Anto Dwiastoro (sejak 12 Maret 2018 berganti nama menjadi Arifin Dwi Slamet) untuk buklet berjudul Endless Flow: Exploring the Dynamics of the Mamberamo River pada Desember 2009.
(Be)cause
love is an endless flow
that
leaves no afterglow
to
the beauty of our life
far
away where passions rife
~Antichrisis, lirik An Endless Flow
MAMBERAMO. Nama itu selalu mengganggu pikiran saya. Kedekatan daerah itu membangkitkan rasa ingin tahu dan keinginan untuk menggali lebih banyak pengetahuan. Mengapa demikian? Mengapa Mamberamo begitu dijaga? Apakah karena buaya diburu di sana? Apakah karena penduduk asli yang berbahaya? Saya tidak suka pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab.
Saat itu, Bupati Jayapura, Papua, Habel Melkias Suwae mengajak saya untuk ikut bersamanya dan rombongan, mengunjungi Distrik Airu, daerah yang sebagian besar belum berkembang di kabupaten itu, yang sebagian besar berada di wilayah Sungai Mamberamo. Kami menyusuri wilayah yang luas dengan medan yang hampir belum tereksplorasi. Di sana tinggal suku-suku yang hingga saat ini hampir sepenuhnya tidak tersentuh oleh dunia luar.
Dengan perjalanan ke
Mamberamo itu, kami belajar untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak terduga.
Ini adalah tempat yang dinamis untuk mendapatkan pengalaman yang tak ada
habisnya. Jadi, penting bagi Anda untuk mengeksplorasi rencana perjalanan.
Langkah
Unik Seorang Bupati
SAYA hadir di sana bersama bupati dan rombongan, serta wartawan. Lokasinya di dermaga sungai di perkebunan kelapa sawit Sinar Mas seluas 13.000 hektar di Lereh Lembah Juk, Distrik Kaureh, Kabupaten Jayapura. Hari itu Senin, 7 Desember 2009.
Kami mengenakan rompi pelampung dan menaiki enam perahu panjang bermotor, yang masing-masing berkapasitas sepuluh hingga 15 orang. Perahu-perahu itu terbuat dari satu batang pohon Matoa yang keras dan utuh. Perahu-perahu itu tidak memiliki lunas yang membentang di bagian tengah, dari haluan hingga buritan, sehingga tidak memiliki kendali arah dan stabilitas. Keberadaan lunas justru membantu perahu untuk bergerak maju, alih-alih tergelincir ke samping.
Namun, inilah yang terjadi pada perahu kami yang tidak memiliki lunas. Kami seperti bermain untung-untungan di mana para peserta menjaga kestabilan perahu dengan meletakkan bagian bawah perahu di sisi yang benar. Jika beruntung, perahu tidak akan terbalik begitu menyentuh air. Dalam kasus saya, saya harus menggeser bagian bawah perahu dari satu sisi ke sisi lain; tergantung sisi mana yang mulai tergelincir, saya hanya mengambil yang sebaliknya. Bayangkan melakukan itu selama delapan jam, di mana pilihan untuk melompat ke air dan melanjutkan perjalanan dengan berenang sama sekali tidak mungkin. Sungai itu dipenuhi ikan dan juga buaya!
Kami menuju pegunungan di selatan, dan berlayar menyusuri Daerah Aliran Sungai (DAS) Nawa. Perjalanan itu seakan tiada akhir. Lancar dan anggun, waktu berlalu begitu cepat. Sebagian besar waktu selama perjalanan, saya memperhatikan Habel Melkias Suwae. Bupati Jayapura yang berusia 53 tahun itu memiliki banyak misi yang harus diselesaikan untuk membangun daerah dan masyarakat di bawah kepemimpinannya. Dilantik sebagai bupati Jayapura untuk masa jabatan kedua (2006-2011), Habel berkomitmen untuk mengembangkan kabupaten yang maju dan mandiri lebih baik daripada lima tahun lalu dan memberdayakan masyarakatnya melalui alokasi dana Otonomi Khusus.
Habel sendirilah yang menggagas program pemberdayaan distrik dan kampung, yang telah berhasil dilaksanakan di kabupaten tersebut, terbukti dengan meningkatnya taraf ekonomi masyarakat. Pada masa jabatan keduanya, ia akan melanjutkan program pembangunan yang telah dilaksanakan lima tahun sebelumnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah ini.
Berpikiran terbuka, jujur, dan egaliter, Habel menerima setiap ide dan gagasan yang disampaikan kepadanya selama dapat mendukung keberhasilan pembangunan di daerahnya. Memprioritaskan pariwisata sebagai salah satu cara meningkatkan perekonomian merupakan salah satu langkah unik yang diambilnya. Hal ini dinilai unik, karena pada umumnya kepala-kepala daerah lain di Indonesia lebih menitikberatkan pada pertanian atau industri. Berkat dukungan berbagai pihak, Habel justru menempatkan pertanian dan industri dalam konteks pariwisata.
Sering menghabiskan akhir pekannya dengan memancing, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Papua dari Partai Golkar ini gemar bersikap praktis. Alih-alih menunggu informasi dan data dari pimpinan dinasnya, Habel menggagas ekspedisi Mamberamo hanya untuk mengetahui apa yang dibutuhkan warganya dan langkah apa yang harus diambil untuk memajukan daerah tertinggal di Kabupaten Jayapura.
Kecamatan Airu terdiri dari empat desa—atau kampung, karena masing-masing kampung memiliki tidak lebih dari 20 rumah, yaitu Aurina, Hulu Atas, Muara Nawa, dan Pagai. Kampung-kampung ini tersebar dari DAS Nawa hingga wilayah Sungai Mamberamo.
Persebaran penduduk kabupaten ini terpusat di wilayah yang menjadi pusat pemerintahan dan pusat perekonomian. Hal ini dapat dilihat di Distrik Sentani. Sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian, Distrik Sentani memiliki jumlah penduduk terbanyak, sedangkan jumlah penduduk terkecil terdapat di Distrik Airu.
Kabupaten Jayapura membawahi 19 distrik, termasuk Distrik Airu yang dikunjungi Habel saat ekspedisi Mamberamo. Sebagian dari kami dalam rombongan belum pernah ke sana sebelumnya. Habel pernah ke sana dalam kapasitasnya sebagai ketua DPRD provinsi. Tak heran jika ia hanya duduk santai namun tegap di perahunya selama perjalanan, meski arus sungai agak deras.
Di akhir perjalanan perahu
selama delapan jam, kami menemukan Kampung Aurina I, yang penduduknya nomaden
dan dikenal sebagai pejuang Sungai Mamberamo. Di sana kami bermalam, dengan
rencana untuk melanjutkan perjalanan keesokan paginya. Namun, kami harus
menelan kekecewaan setelah diberitahu oleh seorang warga setempat—yang dijuluki
“Tuan Mamberamo”, orang yang tahu segalanya tentang sungai tersebut—bahwa
Mamberamo sedang marah. Saat air pasang, akan muncul pusaran air. Dan kampung
berikutnya yang akan kami kunjungi terletak di muara DAS Nawa (maka nama kampung
tersebut adalah Muara Nawa atau “Mulut Nawa”), yang juga merupakan titik
pertemuan sungai Nawa dan Mamberamo.
Gubuk-gubuk di Kampung Aurina II, sebuah kampung dengan penduduk nomaden di Distrik Airu, Kabupaten Jayapura, Papua.
Dengan bijaksana, Habel memutuskan bahwa kami akan tinggal di Aurina hingga hari Rabu, lalu kembali ke dermaga di perkebunan kelapa sawit Sinar Mas. Selama waktu itu, Habel meresmikan gereja baru kampung itu, gedung sekolah, dan balai kampung. Sementara itu, kami mengisi waktu luang dengan mengikuti kelompok berburu, yang terdiri dari beberapa tentara, polisi, serta penduduk Kampung Aurina. Saya mengamati kontras dalam teknologi yang digunakan untuk berburu: para tentara dan polisi mengandalkan kecanggihan senapan serbu mereka, sementara penduduk setempat masih menggunakan busur dan anak panah. Namun, keduanya menunjukkan keefektifan praktis dalam menguasai perburuan.
Selain itu, saya dan mitra
saya hanya berkeliling, dan belajar tentang kehidupan kampung terpencil yang
masih belum terjangkau listrik dan air bersih. Penduduk setempat bergantung
pada panel surya yang dipasang di atap rumah-rumah sementara mereka, atau
generator bertenaga diesel. Sumber daya alam kampung itu sangat melimpah.
Penduduk desa sangat bergantung pada sumber daya ini.
Perahu-perahu yang terbuat dari batang pohon di dermaga Kampung Aurina I, Distrik Airu, Kabupaten Jayapura, Papua. Dermaga kayunya hancur tersapu banjir besar yang melanda DAS Nawa.
![]() |
Rumah dari Ketua Adat Kampung Aurina I, Distrik Airu, Kabupaten Jayapura, Papua. |
Orang Papua menjunjung tinggi perilaku baik dan hubungan dengan alam. Misalnya, jika ada orang yang membuang sampah sembarangan di sungai dan merusak lingkungan, maka mereka akan mendapatkan balasan berupa banjir yang berasal dari sungai. Orang Papua diajarkan oleh para leluhur mereka untuk meminta bantuan roh leluhur. Hutan, pohon besar, batu, gunung, dan benda alam lainnya juga merupakan bagian dari sistem lingkungan alam Papua. Itulah konsepsi tentang kehidupan, lingkungan, dan habitat.
Landasan
Pacu yang Miring
JARAK yang jauh dan letak geografis menjadi kendala tata kelola pemerintahan baik di tingkat distrik maupun tingkat kabupaten. Kepala distrik yang biasa disapa “Pak Distrik” mengatakan bahwa kampung terdekat dengan Aurina, Muara Nawa, berjarak empat jam perjalanan. Dua kampung Airu lainnya, Hulu Atas dan Pagai, terletak di tepi Sungai Mamberamo. Ketiga desa tersebut tidak dapat dijangkau dengan perahu saat air pasang, yang sering kali menyebabkan pusaran air yang dapat menenggelamkan perahu yang nekat memasukinya. Pak Distrik juga mengatakan bahwa ia membutuhkan waktu seharian untuk mencapai kantornya dari Aurina dengan perahu bermotor berkekuatan 150 tenaga kuda.
Pilihan lainnya adalah pesawat kecil berbaling-baling, yang sebagian besar lepas landas dari Bandara Sentani di Jayapura. Setiap kampung memiliki landasan pacu sendiri di sekitarnya; yang kami temukan di Aurina berupa hamparan rumput, dikelilingi dedaunan dan semak belukar. Landasan pacu terletak di sebidang tanah yang miring di separuh bagian lainnya, jadi pesawat kecil yang mendarat di landasan pacu harus menanjak, dan meluncur menuruni bukit saat lepas landas!
![]() |
Sebuah lahan terbuka yang miring antara Kampung Aurina I dan dermaganya berfungsi sebagai landasan pacu bagi pesawat-pesawar kecil yang membawa pasokan makanan dan obat-obatan untuk penduduk kampung. |
Masalah transportasi menjadi salah satu alasan mengapa Distrik Airu masih menjadi daerah terbelakang di Kabupaten Jayapura. Masyarakat setempat di Aurina, misalnya, hanya mengandalkan perahu kayu bertenaga manusia untuk mencapai pusat ekonomi terdekat, yang biasanya memakan waktu tiga hingga lima hari. Jika air pasang dan mereka harus melawan arus, waktu tempuhnya akan jauh lebih lama. Selama ini, penyediaan logistik diurus oleh Pak Distrik yang berangkat sendiri ke Jayapura melalui sungai atau, jika anggaran memungkinkan, menggunakan pesawat.
Apotek
Terbesar di Dunia
HUTAN hujan tropis dijuluki sebagai “apotek terbesar di dunia”, karena banyaknya obat-obatan alami yang ditemukan di sana. Dibentuk pada tahun 2004 sebagai hasil pemekaran Kabupaten Jayapura, Distrik Airu hampir seluruhnya ditutupi oleh hutan hujan yang masih alami. Pandanus conoideus, atau buah merah, adalah buah tradisional dari Papua, yang melimpah di hutan hujan Airu. Penduduk setempat menyebutnya kuansu, dan secara tradisional diyakini sebagai suplemen yang baik sebagai obat kulit dan mata, dan untuk mengobati cacingan.
Hutan merupakan potensi sumber daya bagi distrik dan kabupaten, serta bernilai ekonomis karena menghasilkan berbagai jenis hasil perkebunan dan juga sebagai habitat satwa liar. Oleh karena itu, kawasan ini juga berpotensi sebagai destinasi ekowisata. Apalagi mengingat hutan hujan tropis dunia yang semakin menipis dan berdampak pada pemanasan global.
Lebih dari separuh spesies tumbuhan dan hewan di dunia ditemukan di hutan hujan. Hutan hujan mendukung berbagai macam fauna termasuk mamalia, reptil, burung, dan invertebrata. Diperkirakan bahwa jutaan spesies tumbuhan, serangga, dan mikroorganisme masih belum ditemukan di daerah tersebut. Namun, kami berdua berhasil menemukan beberapa rusa dengan tanduk yang sudah tumbuh, kasuari, dan babi hutan muncul di antara pepohonan dan semak belukar. Beberapa buaya terlihat berenang di sungai atau berjemur di tepi sungai yang berlumpur, yang menjawab pertanyaan kami, mengapa tidak ada yang berenang di sungai. Elang botak, yang sudah punah di tempat-tempat lain di kepulauan Indonesia, masih dapat terlihat terbang atau hanya berdiri santai di dahan pohon. Kami belum pernah melihat kakatua koki (Cacatua galerita) dan bangau putih di luar kebun binatang sebelumnya, tetapi ada banyak dari mereka, “bebas seperti burung”, di sekitar DAS Nawa.
Lembah Sungai Mamberamo yang luas merupakan rumah bagi berbagai masyarakat terpencil dan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Pada tahun 1990-an, Pemerintah Indonesia berencana membangun bendungan hidroelektrik besar di Mamberamo yang akan menenggelamkan sebagian besar wilayah tersebut. Rencana ini ditangguhkan setelah krisis keuangan Indonesia tahun 1998-1999, tetapi ada kekhawatiran dari kelompok-kelompok lingkungan bahwa rencana tersebut dapat dihidupkan kembali di masa mendatang.
Wilayah Mamberamo juga secara umum merujuk pada beberapa pegunungan di dekatnya, termasuk Pegunungan Van Rees dan Foja (juga dikenal sebagai Foya), yang menjadi subyek penilaian biologis cepat terkini yang dilakukan oleh Conservation International, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Universitas Cenderawasih. Tim ilmiah tersebut menemukan spesies burung baru pertama dari Nugini dalam 60 tahun, dan kekayaan tanaman dan hewan baru lainnya. Pegunungan Foya tampaknya merupakan gudang keanekaragaman hayati yang luar biasa di dunia.
Keberhasilan ekspedisi ini
menantang kami untuk kembali! Mamberamo memperkaya perjalanan kami dengan
berbagai kemungkinan baru. Sama seperti sungai, aliran pengalaman yang akan
didapatkan seseorang saat menyusuri daerah ini tidak ada habisnya.©2025
Diterjemahkan
di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 20 Mei 2025
No comments:
Post a Comment