Saturday, May 24, 2025

Latihan Kejiwaan dan Gangguan Mental

RABU lalu, 21 Mei 2025, saya mengirim pesan WhatsApp ke salah satu pembantu pelatih (PP) yang menjadi saksi pembukaan saya, yang kini tinggal di kampung halamannya, Madiun, (secara administratif dia adalah PP Cabang Surabaya): “Aku kalau nggak punya Latihan Kejiwaan, dengan situasiku saat ini (ekonomi dan rumah tangga) rasanya pengen bunuh diri.”

Dulu, sekitar tujuh tahun sebelum saya masuk Subud, saya pernah menderita anxiety disorder yang saya sendiri tidak bisa tandai. Yang menandai justru bos saya di biro iklan tempat saya bekerja, yang kebetulan salah satu anaknya yang masih remaja juga menderita anxiety disorder. Beliau merujukkan saya ke psikiater di Kalibata untuk mendapat penanganan.

Selama menderita anxiety disorder, saya tidak bisa mengendalikan diri saya, persis seperti mobil yang remnya blong. Medikasi dengan obat tidur dan penenang yang diresepkan psikiater hanya menenangkan saya selama sekitar 12 jam saja, dan selanjutnya saya kembali dicekam kecemasan. Saat itu, yang bisa sedikit banyak menyamankan saya adalah orang-orang yang dengan sabar mendampingi dengan mendengarkan keluh kesah saya tanpa penghakiman. Saya belum menikah saat itu, tetapi sudah mempunyai calon istri, yang sama sekali tidak mengetahui keadaan saya karena saya tidak bercerita kepadanya.

Si psikiater mengatakan ke saya bahwa bila saya ingin sembuh itu semua tergantung saya mau atau tidak. “Yang bisa menyembuhkan Anda hanya Anda sendiri,” kata si psikiater, yang membuat saya sempat mengamuk. “Lho, Dok, kalau semua tergantung saya, ngapain saya harus ke sini?!” kata saya, membentak si psikiater. Tapi saat itu saya juga teringat artikel dari psikolog ternama Indonesia, Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono di koran Kompas dimana beliau menulis “Manusia pada dasarnya bisa berubah, hanya bila itu berasal dari dirinya.”

Si psikiater selanjutnya menyarankan agar saya melakukan apa saja yang ingin saya lakukan selama, terutama, saya mencintai diri saya sendiri—sehingga tidak akan melukai atau membunuh diri saya sendiri. “Kalau Anda mau kabur dari semua yang bikin Anda tertekan, lakukan saja!  Masalah bukan untuk dihadapi, tapi untuk diabaikan kalau kita nggak mau,” kata psikiaternya.

Untungnya, ketika saya menemukan Subud dan akhirnya dibuka saya sudah tidak depresi lagi dan ketika kadang rasa tertekan muncul saya akan menjauh dari penyebabnya. Yang Mulia Bapak juga memberi nasihat agar ketika sesuatu atau seseorang membuat kita tertekan saat itulah sebaiknya kita berhenti berurusan dengannya. Makin lama saya di Subud dan rajin dan tekun melakukan Latihan, saya merasa tidak perlu susah payah lagi berusaha mengelola diri, karena hal itu sudah diambil alih oleh Latihan saya. Saya tinggal rileks saja, seperti yang dianjurkan PP yang saya WhatsApp hari Rabu lalu.

Menilik pengalaman saya ini, saya jadi paham mengapa sebaiknya peminat yang ingin masuk Subud yang menderita gangguan mental agar disembuhkan dahulu. Bukan Latihan tidak bisa mengatasinya tapi dikhawatirkan si peminat belum ada keinsafan bahwa kesembuhannya tergantung sepenuhnya pada dirinya sendiri.2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 25 Mei 2025

No comments: