Wednesday, August 20, 2025

Senja untuk Irania

 


Untukmu, Elizabeth Irania Andari,

                                                      

Kutemukan puisi ini dalam bingkai senja,

sama seperti cahaya yang memeluk hangat punggungmu di sana

Begitulah caramu masuk dan menerangi jiwa

 

Di balik kacamata bening itu, kulihat dunia,

penuh tawa yang renyah dan harapan yang nyata

Jemarimu yang menyisir pelan ujung rambutmu

adalah isyarat sederhana yang menenangkan kalbuku

 

Tujuh tahun mungkin menjadi bentang waktu,

angka yang menjadikanmu adik, dan aku kakakmu

Namun di antara peran itu, kita adalah sahabat,

dua jiwa setara yang terikat erat

Aku membimbing bukan karena lebih tua,

aku hanya berjalan di sisimu, menjaga nyala cinta

 

Tangan kita mungkin menengadah pada waktu yang tak sama

Doaku mengalun di heningnya sajadah,

sembahyangmu teduh di bawah naungan salibNya

Kita menatap langit yang satu, dari dua jendela iman yang berbeda

Namun di ujung setiap pinta, bibir kita sama-sama mengucap kata “Amin”,

menyatukan harapan pada Tuhan yang sama-sama kita yakini Maha Pengasih

 

Maka biarlah cinta kita menjadi bukti,

bahwa hormat adalah fondasi sejati

Kita tak saling meminta untuk berubah, hanya saling menerima seutuhnya,

membangun istana di tengah perbedaan yang indah

 

Teruslah tersenyum seperti ini, Irania

Karena dalam satu senyummu itu, kutemukan alasan dan arah,

untuk percaya pada masa depan yang kita eja bersama

Rumah kita, yang atapnya adalah kasih dan tiangnya adalah penghargaan...

 

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 20 Agustus 2025

Bangku Latihan

 


SEORANG saudara Subud datang bertamu ke rumah saya. Karena di rumah saya sedang ada kesibukan masak-memasak yang dilakukan istri saya bersama temannya (mereka berbisnis kuliner), maka saya ajak saudara tersebut nongkrong di bangku dalam foto di atas, yang terletak tepat di depan rumah saya.

Saudara itu, yang tinggal di Wisma Subud Cilandak, menempati rumah yang pernah dimiliki Prio Hartono, berkomentar, “Kok enak ya duduk di bangku ini, dan lingkungan rumah Mas Arifin begitu tenang seperti di Wisma Subud.”

Rumah saya berada dalam klaster tujuh rumah—yang secara bercanda dibilang seorang pembantu pelatih yang pernah bertamu ke rumah saya: “Hanya tujuh rumah? Melambangkan tujuh lingkaran pada lambang Subud, dong?!”—di Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan (satu hal yang membuat beberapa saudara Subud secara bercanda mendaulat rumah saya sebagai “gardu petugas keamanan yang menjaga kediaman Ibu Rahayu”, karena berjarak hanya 5 km dari Wisma Barata Pamulang), yang berbatasan langsung dengan Jakarta Selatan di sebelah utaranya. 

Klaster tersebut cukup nyaman karena berposisi sekitar 100 m dari jalan yang ramai dengan kendaraan lalu lalang dan hiruk-pikuk kegiatan orang (banyak toko di sepanjang jalan tersebut), namun ajaibnya keramaian kendaraan dan orang itu sama sekali tidak terdengar di dalam klaster. Sepertinya ada suatu dinding kedap suara raksasa mengelilingi klaster di mana rumah saya berada.

Saya bilang ke saudara Subud itu, bahwa bangku dimana kami duduk (lihat foto) adalah tempat saya melakukan Latihan duduk; yang memberi saya privilese untuk berdialog dengan diri saya sendiri—yang oleh seorang pembantu pelatih senior di Cabang Jakarta Selatan, yang dulu sering diajak Bapak mengunjungi berbagai negara, dikatakan sebagai “Latihan duduk”. Saya belum menemukan apapun terkait Latihan duduk di ceramah Bapak dan Ibu Rahayu serta buku-buku yang ditulis anggota, tetapi duduk di tempat yang jauh dari keramaian, berdialog dengan diri sendiri, dan/atau sambil merasakan vibrasi Latihan, saya rasa baik juga untuk dilakukan.

Bagi saya, Latihan duduk menyediakan momentum untuk menghayati pengalaman-pengalaman hidup saya dengan Latihan Kejiwaan, sekaligus mendengarkan suara jiwa yang memberi saya pengertian-pengertian atas segala sesuatu yang saya alami, atau jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang terus-menerus mengisi pikiran saya yang sulit diatur.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 20 Agustus 2025

Tuesday, August 19, 2025

Godaan Kepandaian

SUDAH hampir setahun belakangan ini, terlebih sejak Oktober 2024 lalu, dimana karir copywriting dan branding saya mencapai tahun ke-30, saya mengalami kejenuhan yang “parah”, seperti jiwa saya sudah emoh melakukannya.

Saya memang pernah membaca maupun mendengar bahwa Latihan Kejiwaan secara bertahap akan menyisihkan kebisaan-kebisaan dan kebiasaan-kebiasaan lama kita, menggantinya dengan kebisaan-kebisaan dan kebiasaan-kebiasaan baru. Ini termasuk segala pengertian yang pernah kita peroleh dalam suatu episode perjalanan kejiwaan kita—tidak ada yang final atau stagnan, melainkan selalu mengalami perubahan. Yang kita terima sebagai suatu kebisaan baru saat ini hanya untuk “saat ini”, jangan sampai kita terlena di situ, karena perjalanan atau proses kita masih akan berlanjut...

Berikut cuplikan ceramah Bapak menyangkut hal itu, yang beliau sampaikan di Los Angeles, Amerika Serikat, 1 September 1969 (kode rekaman: 69 LAX 6):

“Jadi, terang saudara sekalian, bahwa segala sesuatunya yang dapat merubah sesuatu yang tidak dapat berubah, itu hanya Tuhan. Dan untuk mendapatkan pertolongan Tuhan, tidak ada jalan lain, selain menyerah dengan penuh ketawakalan dan keikhlasan dan penuh kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa. Dan bagi saudara sekalian sudah tidak asing lagi, karena saudara sudah dapat tuntunan bagaimana caranya orang menyerah, bagaimana caranya orang ikhlas, bagaimana caranya orang sabar.

Jadi, terang saudara sekalian, bahwa apa yang telah saudara terima adalah suatu anugeraha yang luar biasa besarnya. Sedangkan bagi orang-orang lain di luar Subud, itu harus dilakukan bertahun-tahun menyingkiri dunia ramai, bertahun-tahun menghilangkan kesenangan hidup, bertahun-tahun berada dalam tengah-tengah rimba dan di pinggir samudera. Justru belum tentu mereka dapat menerima nugraha seperti yang saudara terima.

Karena itu maka Bapak harapkan, janganlah anugeraha yang sebesar itu disalah-gunakan hanya untuk sedikit-sedikit saja. Bapak dengar, saudara sekalian, ada saudara yang menggunakan Latihan Kejiwaan ini secara apa yang dikatakan spiritis, apa yang dikatakan okultis, apa yang dikatakan magnetis dan apa pula yang dikatakan ini itu, artinya isme-isme. Ya memang, saudara sekalian, dalam Subud, seperti apa yang telah Bapak katakan kemarin, semua ada, semua ada. Tapi saudara harus waspada. Janganlah hanya itu saudara gunakan. Saudara masih besar harapannya.

Andaikata saudara telah diwahyui Tuhan menjadi tukang pengarang, tukang penulis buku. Kalau Tuhan telah mengizin kepada saudara, saudara dapat menulis apa saja. Umpama saja Bapak ini. Kok Bapak ini suka menulis, mungkin penuh ini, kamar ini; penuh buku yang Bapak tulis. Segala macam ada. Tapi Bapak tidak lakukan itu, karena kalau Bapak hanya itu yang Bapak lakukan, kandas di situ. Bapak hanya sampai ke situ saja.

Jadi, kalau saudara sesudahnya menerima Latihan Kejiwaan, maka sudah baik latihannya dan dapat menerima, maka saudara gunakan seperti dukun—yaitu menyembuhkan orang dengan dapat bayaran, nanti bisa beginikan orang dengan dapat bayaran—saudara akan sampai ke situ saja. Jalan ke sorga akan tertutup bagi saudara sekalian; saudara akan terjun ke dalam jurang kegelapan. Janganlah saudara yang demikian itu. Ingat, bahwa apa yang telah saudara terima adalah sesuatu anugeraha yang tidak dapat dinilaikan besarnya.

Apa yang demikian itu sungguh-sungguh? Telah Bapak perlihatkan kepada saudara-saudara sekalian, dalam waktu testing, saudara telah dapat menangkap bagaimana keadaan orang, saudara telah dapat mengerti bagaimana orang-orang. Adalah itu sesuatu rahasia hidup. Jadi, Bapak ini mengerti saudara. Saudara saban hari di rumah apa, bagaimana, bagaimana, Bapak tahuuu. Bagaimana saudara dengan istrinya, istri dengan suaminya, bagaimana di rumah, Bapak tahuuu. (Bapak tertawa kecil.) Ya, tahu semua. Tapi apakah Bapak ceritakan bahwa Bapak begitu, coba? Anggap sebagai suatu kepandaian? Tidak.

Demikianlah jalan menuju ke Tuhan, melalui segala macam kepandaian, segala macam pengertian. Itulah menjadi goda, saudara. Kalau saudara hanya sampai ke situ saja, saudara tidak akan sampai ke atas, sedangkan jalan ke atas jauh, jauh, jauh. Seperti yang telah Bapak katakan, malaikat ini dijalankan seratus tahun, apalagi manusia. En toch Kristus bisa tiga hari, en toch Muhammad bisa satu malam. Dan ini pula telah Bapak lakukan. Tidak perlu Bapak katakan kepada sekalian para saudara. Tuhan tahu, Maha Tahu, apa yang telah Bapak terima dan apa pula yang telah Bapak katakan.”


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 19 Agustus 2025

Monday, August 18, 2025

Bahasa Sederhana

 

Irsyad Mohammad berdiri diapit oleh saya dan Farhan Muhammad Aditomo (Sejarah FIBUI 2015).

SENIN, 18 Agustus 2025, saya bersama tiga saudara Subud Cabang Jakarta Selatan menghadiri acara peluncuran dan bedah dua buku puisi esai karya Irsyad Mohammad. Sang penulis adalah yunior saya di Program Studi (Prodi) Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIBUI) Angkatan 2014. Saya mengenalnya pertama kali pada bulan Desember 2022, ketika ia mewawancarai saya untuk posisi editor lepasan di perusahaan di mana ia menjabat sebagai Manajer Operasionalnya.                                                                                             

Buku-buku yang ditulisnya masing-masing berjudul Sejumlah Puisi Esai Kontemporer yang Luput dari Jantung Sejarah dan Lima Saksi Reformasi Denny JA dalam Atas Nama Cinta (2025). Acaranya berlangsung di Al-Zastrouw Library/Ada Kopi Satu Lagi di Jl. Mangga, Taman Serua, Cisarua, Depok, Jawa Barat, pada siang hingga sore hari. Sejumlah penggiat sastra dan sarjana sejarah dari FIBUI turut menghadirinya. Ada pembacaan puisi-puisi esai karya Irsyad sebelum acara utama, yaitu bedah buku, dimulai.                                                                                                    

Meskipun saya alumnus Fakultas Sastra UI (kelak menjadi FIBUI), saya tidak terlalu menyukai puisi. Di almamater saya, puisi adalah makanan sehari-hari, terutama bagi mahasiswa Prodi-Prodi Sastra dan Bahasa. Salah satu teman kuliah saya seangkatan di Jurusan Sejarah bahkan adalah putri sulung penyair besar Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Namun semua itu rupanya tidak terlalu berpengaruh bagi saya. Bagaimanapun, kadang, saya menulis puisi sebagai wahana ekspresi bila saya jatuh cinta atau mengalami ketakjuban spiritual, atau mengungkapkan suatu penerimaan kejiwaan yang sulit saya jelaskan secara prosa.

Usai acara tersebut dan setelah kembali ke Rumah Wing Bodies Subud Indonesia di kompleks Wisma Subud Cilandak No. 22C, saya memposting beberapa foto dari acara tersebut ke yunior saya di Prodi Sejarah FIBUI Angkatan 2004 yang juga anggota Subud Jakarta Selatan, Sulaiman namanya. Dalam pandangannya, ia merasa belum ada anggota Subud yang menjadi penyair. Menurutnya, pemusik, pelukis dan penari cukup banyak di Subud, tetapi penyair belum ada.

Dalam pesan WhatsAppnya, ia menulis:

“Iya, penulis sangat banyak. Padahal, dalam tradisi sejarah para spiritualis, mereka umumnya membuat syair. Dulu, 2016, saya baru ingat, ada sastrawati senior Dyah Hadaning masuk Subud pada usia 75 tahun. Jadi, pas sudah tua Subudnya. Dia sudah meninggal dunia pada 2021 dalam usia 81 tahun.”

Saya menerka-nerka, mengapa penyair jarang atau tidak ada di Subud. Ketika saya mencari tahu lewat Google Gemini, apakah sebenarnya penyair itu—yaitu orang yang menulis puisi atau syair. Mereka menggunakan bahasa dengan cara yang kreatif dan imajinatif untuk mengekspresikan gagasan, emosi, dan pengalaman. Penyair sering menggunakan teknik seperti rima, meter, dan citraan untuk menciptakan karya yang unik dan berkesan—tiba-tiba saya menerima pengertian dari dalam, mengapa penyair sulit eksis di Subud.

Pengertian itu saya tulis dalam pesan WhatsApp saya ke Sulaiman:

“Mungkin karena dengan Latihan Kejiwaan bahasa kita menjadi sederhana, jarang menggunakan metafora atau simbolisme.”

Selama ini, setiap kali menjelaskan hal-hal terkait kejiwaan kepada kandidat atau anggota, secara lisan maupun tulisan, saya menerima bimbingan yang berwujud kata-kata yang membumi, mudah dipahami oleh lawan bicara saya. Pemikiran para anggota Subud yang sudah mendalam Latihannya umumnya realistis, tidak berlebihan, dan tidak terjebak dalam khayalan atau harapan yang tidak realistis. Mereka memiliki pandangan yang jernih tentang situasi dan mampu mengambil keputusan yang tepat. 

Mereka juga tidak terputus dari kenyataan. Mereka memahami nilai-nilai dasar kehidupan dan tidak kehilangan kontak dengan realitas sosial, lingkungan, dan budaya mereka. Hal ini disebabkan, menurut pemahaman saya berdasarkan berbagai pengalaman kejiwaan yang pernah saya lalui, oleh karena orang yang sudah menerima Latihan Kejiwaan berada dalam kondisi penuh kesadaran, baik secara lahiriah, emosional, maupun mental. Ini berarti hadir sepenuhnya pada saat ini, tanpa terlalu larut dalam imajinasi. 

Bukan berarti anggota Subud tidak ada yang menulis puisi, tetapi puisi-puisi karya orang yang sudah menerima Latihan Kejiwaan umumnya ditulis dalam bahasa sederhana, bahasa yang mudah dipahami oleh siapa saja, dan bukan bahasa representasi yang sarat simbolisme (penggunaan simbol untuk menyampaikan makna yang lebih dalam dari sekadar arti harfiahnya). Karena yang utama adalah vibrasi energi Latihan yang menyeruak keluar dari puisi tersebut. Seindah-indahnya diksi yang digunakan dalam puisi, jika tidak ada “isi” tidak akan dapat dirasakan keindahannya. Atau paling tidak, hanya terasa di alam akal pikir, tidak sampai merasuk ke jiwa.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 18 Agustus 2025

Sunday, August 17, 2025

Disaksikan Saja

BULAN Januari 1992, usai menempuh ujian akhir semester (UAS) untuk matakuliah Ikhtisar Sejarah Indonesia I, saya buru-buru pulang. Saya naik mikrobus Miniarta dari Kober, di tepi Jl. Margonda Raya, Depok, menuju Pasarminggu, Jakarta Selatan. Saat menatap keluar jendela, sambil menenangkan pikiran yang kusut, yang saya dapatkan selama mengerjakan UAS, tiba-tiba hadir wajah seorang gadis cantik yang pernah saya taksir semasa SMP hingga SMA. Kehadiran itu dibarengi perasaan jatuh cinta lagi.

Saya terkejut dengan kemunculan perasaan yang tiba-tiba itu, namun saya menikmatinya. Perasaan itu menggelisahkan, yang di hari-hari selanjutnya mendorong tindakan saya untuk terhubung kembali dengan gadis itu. Padahal semasa SMP hingga SMA saya hanya memendam perasaan saya terhadapnya lantaran saya begitu malu dan takut ditolak. Ketika kuliah, terutama setelah masuk Universitas Indonesia (UI), kepercayaan diri saya bertambah.

Saya memberanikan diri menelepon gadis itu, Prifajaryani namanya (bukan nama sebenarnya), pada malam hari pertama Lebaran tahun 1992. Seminggu sebelumnya, saya telah mengiriminya via pos kartu ucapan selamat Idulfitri, yang rupanya telah ia terima. Meski jantung saya berdebar kencang saat menunggu hadirnya suara gadis itu di seberang sambungan, saya bergeming. Tibalah saat yang saya tunggu-tunggu. Terdengar suaranya, melegakan diri saya. Itulah pertama kalinya kami bercakap hanya di antara kami berdua. Prifajaryani rupanya juga tak menyangka bahwa kami akhirnya bisa berbincang satu sama lain.

Setelah malam itu, saya menjadi lebih gencar meneleponnya. Tentu saja tidak terlalu sering, tetapi setiap kali meneleponnya obrolan kami bisa berlangsung lama.

Prifajaryani tinggal tak jauh dari rumah orang tua saya, hanya beda Rukun Tetangga (RT). Tak jarang, karena itu, saya menjumpai dia berbelanja di toko yang sama dengan saya, yang berada di RT dimana rumah orang tua saya berlokasi. Dia menjadi alasan utama saya mengapa saya kerap nongkrong di depan toko itu, bersama beberapa teman se-RT yang pernah bersama saya dan Prifajaryani bersekolah di sekolah-sekolah dasar dan/atau menengah yang sama.

Sekali waktu saya nongkrong di depan toko itu, mengenakan kaus putih tanpa kerah bergambar lambang Makara UI diapit tulisan U dan I yang besar. Datanglah Prifajaryani bersama ibunya berbelanja. Saya menyapanya, dan ia membalas dengan senyuman manisnya yang membuat saya memiripkannya dengan selebritas Indonesia Marissa Haque. Malamnya, ketika saya meneleponnya, ia memuji kaus saya. Tentu saja saya melambung. Saya menggodanya, “Sekeren orang yang pakai kausnyakah?” Ia tertawa renyah.

Kala itu, Prifajaryani masih tercatat sebagai mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung. Ia diterima melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) tahun 1986. PMDK adalah jalur masuk perguruan tinggi negeri (PTN) yang seleksinya didasarkan pada prestasi akademik dan non-akademik siswa. Dulu dikenal sebagai jalur undangan atau jalur tanpa tes, PMDK sekarang lebih dikenal sebagai Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP). Hal itu menegaskan bahwa Prifajaryani merupakan pribadi yang pintar dan cerdas.

Ketika musim perkuliahan dimulai kembali, pasca libur akhir semester ganjil, Prifajaryani kembali ke Bandung. Ditemani satu teman kuliah dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI (FSUI), saya nekat menyambangi gadis itu di kosnya di Jl. Tilil, Bandung, sekitar 2 km dari lokasi kampus Unpad di Jl. Dipati Ukur. Segila itu tindakan saya saat itu.

Perihal kembalinya perasaan yang pernah ada terhadap seseorang dan/atau kenangan mengenainya tampaknya merupakan suatu fenomena yang semua atau sebagian besar orang pernah mengalaminya. Bagaimana kita menyikapinya, apakah bertindak seperti saya terhadap Prifajaryani atau hanya menyaksikan saja hingga perasaan itu lenyap dengan sendirinya, itu semua tergantung masing-masing. Satu pembantu pelatih (PP) dari Subud Cabang Jakarta Selatan, Harris Roberts, menyarankan agar saya menyaksikan saja bagaimana perasaan dan kenangan yang menyertainya berlangsung.

Dalam pesan WhatsApp kepada saya, beliau menulis (aslinya dalam bahasa Inggris):

“Artinya kamu memiliki hubungan dengannya di dunia itu. Ini adalah pengalaman yang cukup umum di kalangan anggota Subud. Namun, kita tidak perlu membawa ke dunia ini sesuatu yang ada di dunia lain.

Disaksikan saja.

Saya memiliki wanita-wanita yang menemani saya bepergian di dunia spiritual. Saya cukup menikmatinya dan mereka adalah teman yang baik. Di dunia nyata, saya bahkan tidak pernah mencium mereka.

Pikiran tidak dapat memahami pengalaman-pengalaman ini. Ia hanya bisa menonton dan mungkin menarik kesimpulan... Ooh begitu!”

Penjelasan PP tersebut terkait pengalaman saya baru-baru ini dengan kembalinya perasaan cinta saya terhadap, dan kenangan yang menyertainya, seorang gadis yang lebih tua satu setengah tahun dari saya, ketika kami sama-sama masih kuliah di FSUI. Kedekatan kami sendiri sudah lama lewat, 35 tahun yang lalu. Trea namanya (bukan nama sebenarnya). Bukan saja dia lebih senior dari saya, Trea juga dari jurusan yang berbeda—dia di Sastra Jerman, saya di Sejarah.

Kembalinya perasaan cinta saya kepada Trea dan kenangan yang menyertainya bermula dari mimpi saat saya tidur malam hari, 28 masuk ke 29 Juli 2025. Dalam mimpi itu, kami sedang berada di kereta rangkaian listrik (KRL) Jabodetabek relasi Jakarta-Bogor, yang kami naiki dari Stasiun UI Depok. Anehnya, dalam mimpi itu, kami berpacaran, padahal dalam kehidupan nyata kami 35 tahun lalu kami tidak pernah resmi berhubungan romantis. Kami memang sangat dekat dan akrab, tetapi kami berdua tidak pernah melabeli hubungan kami sebagai “pacaran”.

Setelah saya lulus pada tahun 1993 (dan dia pada 1991), kami benar-benar putus kontak, dan terus terang saya melupakan segala sesuatu tentang dirinya. Hal itu mudah bagi saya terutama karena saya berkenalan dengan calon istri saya hanya lima bulan setelah saya lulus.

“Jadi, mengapa dia muncul dalam mimpi saya sekarang? Saya merasa gelisah dan merindukannya sejak saat itu. Apakah ini suatu bentuk pembersihan pikiran atau rasa perasaan saya, ataukah menandakan sesuatu yang lain?” tulis saya dalam pesan WhatsApp saya kepada Harris Roberts pada 3 Agustus 2025. Jawaban beliau seperti yang saya tulis di atas.

Mimpi menawarkan jalur unik untuk memahami pikiran bawah sadar, seperti yang disoroti oleh konsep mimpi dari pendiri aliran psikoanalisis dalam bidang ilmu psikologi, Sigmund Freud (1856-1939), sebagai “jalan utama menuju alam bawah sadar”. Melalui penafsiran mimpi, individu dapat memperoleh wawasan tentang keinginan tersembunyi, konflik yang belum terselesaikan, dan emosi yang tertekan, yang mengarah pada kesadaran diri dan pertumbuhan emosional. Hal ini saya titeni melalui pengalaman mimpi saya tentang Trea, tetapi alih-alih saya membiarkan wawasan apapun mempengaruhi kehidupan saya di masa kini, saya relakan saja.

Meski saya pernah mengalaminya sebelum saya menerima Latihan Kejiwaan—dengan Prifajaryani pada tahun 1992, yang saya tindaklanjuti dengan mengejar bayangannya, saya kira dengan pengalaman sejenis pada 2025 ini, saya cukup menyaksikannya saja. Apalagi keberadaan Trea saat ini adalah bagai kabut yang tak dapat saya terobos. Ia tidak memiliki jejak digital kecuali satu, yaitu data mengenai dan PDF dari skripsinya, yang bisa diunduh dari portal web Perpustakaan Universitas Indonesia. Bahkan teman-teman seangkatannya atau di bawahnya yang pernah berkiprah di kegiatan-kegiatan yang sama dengan dia di kampus, dari jurusan-jurusan yang berbeda dengannya, tidak dapat mengingatnya atau tidak mengenalnya. Apakah ia masih hidup atau sudah meninggal, saya benar-benar tidak tahu. Kecuali Tuhan menghendaki saya dapat bertemu kembali dengan Trea, saya cukup menyaksikan saja fenomena ini.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 17 Agustus 2025

Saturday, August 16, 2025

Cerita Lama di Selasar Sastra

 




Dulu, hati kita menyatu dalam pandang mata

Jalinkan rasa di Universitas Indonesia

Air mata membasahi ingatan itu semua

Hadirkan bayangmu yang kadang sirna

Takdir memisahkan, sisakan memori tak bersuara

Eloknya kisah kita tak terlupa

Rasa ini masih utuh, meski tinggal cerita

Akhir dari kisah, awal sebuah nostalgia

                                                         

Namamu terpatri kembali, walau pernah pergi

Aku tak mengerti mengapa ku merindu lagi

Sastra tempat kita bertemu,

Untuk membangun cita-cita sejalan waktu

Tak kusangka cinta merekah di antara kita

Impian menyala pada suatu ketika

Obrolan berdua di selasar Sastra

Nanti mungkin kita akan bertemu lagi, entah di mana...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 16 Agustus 2025

Friday, August 15, 2025

Jejak Rindu di Bangku Kampus



Kampus usang di bawah senja,

bangku kayu tempat kita bertemu

Senyummu, mata yang lebih dewasa,

memelukku dalam waktu yang beku

Usiamu di depanku,

langkahmu pasti, tawamu merdu

Sedang aku masih mencari arah diriku,

seperti perahu tanpa tuju

 

Kenangan itu kini menari lagi,

di antara hiruk pikuk jalan yang kutiti

Wajahmu, bisikmu, memanggilku,

dari labirin nyata di masa lalu

Kau tawarkan hati yang tulus,

sedang aku, bimbang dan tak berani

Takut melukai, takut tak pantas,

terlalu sibuk dengan badai dalam hati

 

Bodohnya aku, tak menggapai tanganmu.

Biarkan bunga asmara layu sebelum mekar

Kau kini entah di mana,

sebuah nama yang tak lagi tertera

Apakah kau masih menghirup udara yang sama?

Atau telah menjadi bintang di sana?

Rinduku mengangkasa, tanpa alamat

Sebuah penyesalan yang takkan pernah sirna...

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 15 Agustus 2025