INI kejadian tadi siang, 15 Januari 2025. Anak saya yang berumur delapan tahun disuruh ibunya untuk mematikan komputer, yang sedang ia pakai untuk menonton Youtube. Sudah kelamaan ia duduk menatap layar komputer, tapi meskipun tidak menampakkan lelah saya dan istri tahu bahwa ia sudah mengantuk. Bagaimanapun, putri kami menolak beranjak dari depan komputer dan terus saja menonton.
Akhirnya, saya rebut tetikusnya dan mematikan komputer, sementara istri dengan setengah memaksa membujuk putri kami untuk segera ke kamar tidur. Ia menunjukkan sikap sebal dan kemudian menjadi tantrum yang cukup agresif, dimana ia menyerang secara fisik ibunya—dengan cakaran, gigitan, pukulan dan menjambak rambut ibunya.
Istri melarang saya marah kepadanya atau ikut campur, tetapi saya jaga agar serangan fisik putri kami tidak meningkat. Saya menjadi seperti wasit tinju yang menahan petinju yang ofensif dengan memeluk badannya. Saya pun menjadi sasaran pukulannya—yang lumayan keras, mengenai leher dan bahu kanan saya. Saya lantas mundur dan sambil duduk saya memandang anak saya mengonfrontasi ibunya.
Saya kemudian terpikir untuk menenangkan diri, dimana saya juga memohon bimbingan Tuhan serta Bapak agar putri saya dapat mereda tantrumnya. Yang saya terima malah sebaliknya: Sayanya yang menjadi sangat tenang dan damai, dan mendengar “dari dalam” bahwa yang seharusnya tenang dalam situasi seperti itu adalah orang tuanya, bahwa tingkah anak-anak sedemikian rupa adalah alami, sebagai ungkapan rasa lelah dan mengantuk yang tak dapat ia ekspresikan dengan kata-kata.
Jadi, saya hanya duduk, merasakan Latihan, hingga pada satu titik putri saya terkulai di kasur dan minta dipeluk. Kami bertiga saling memeluk dan saling memaafkan. Saya beri bantal kecil untuk menopang kepalanya dan putri saya ingin agar saya memegang tangannya. Saya tambahkan dengan membelai lembut kepalanya, dengan diri saya terus merasakan Latihan. Isakan tangis putri saya perlahan berubah menjadi embusan napasnya yang lirih yang menandakan bahwa ia telah tertidur pulas.
Ketika sorenya ia bangun, putri saya menunjukkan kegembiraan dan dengan segera mematuhi permintaan ibunya agar ia mandi. Tidak ada pemberontakan atau perlawanan.
Malamnya, di Wisma Barata Pamulang, saya berjumpa dengan pembantu pelatih sepuh dari Cabang Jakarta Selatan, dan salah satu topik obrolan kami adalah tentang keluarga. “Wah, anak Anda anak Subud ya?! Sungguh beruntung Anda,” kata beliau.©2025
Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 15 Januari 2025
No comments:
Post a Comment