PADA 4 Januari 2025 lalu, saya memenuhi undangan makan malam dari Stuart Cooke di kediamannya di Jakarta Selatan. Saya mengajak serta istri dan Nuansa dan satu keponakan saya yang saat ini masih ngandidat di Pamulang.
Dalam kesempatan makan malam itu, saya dan Stuart membahas banyak hal terkait perkembangan terkini di Subud Indonesia, juga mengenai berbagai topik yang dilandasi oleh ceramah Bapak dan Ibu Rahayu. Ketika malam makin larut, dan setelah istri saya dan istrinya Stuart melakukan Latihan di lantai atas rumahnya, saya dan Stuart melakukan Latihan bersama disusul oleh testing.
Saya mengalami sesuatu yang sangat berarti bagi pribadi saya dalam serangkaian testing-nya. Merespons pertanyaan “Bagaimana Latihan Arifin saat ini?” dan “Bagaimana Tuhan menghendaki Latihan Arifin?”, saya mendapat kepahaman mengenai bagaimana ego mengendalikan diri saya. Saya mendapat pengertian bahwa menasihati orang lain dan memotivasinya untuk melakukan apa yang dinasihatkan kepadanya ternyata jauh lebih mudah daripada menerapkan hal yang sama pada diri sendiri! Ego seringkali menghalangi dalam hal ini, “membisiki” kita bahwa kita jauh lebih baik daripada orang lain dan mendorong kita untuk merasa paling benar.
Pada testing “Bagaimana Latihan Arifin saat ini?” saya menerima bahwa keadaan saya belum sempurna, belum total berserah diri. Menerima kenyataan itu, Ego saya mengamuk, membantah, menentang, dan pertarungan di dalam diri saya membuat hati saya sangat sakit—seperti sakitnya hati ketika cinta ditolak, atau seperti satu sahabat saya mengibaratkannya “sakitnya bagaikan menelan buah kedondong bulat-bulat, dan tersangkut di kerongkongan”.
Penerimaan saya dalam testing itu terobati oleh testing berikutnya: “Bagaimana Tuhan menghendaki saya Latihan?” Karena dalam penerimaan saya, saya dibimbing untuk merasakan Latihan Kejiwaan—yang didayai oleh kesabaran, ketawakalan dan keikhlasan serta keberanian untuk menghadapi, terutama, diri sendiri.
Ketidakberanian untuk jujur pada diri sendiri, saya alami dan amati menjadi penyebab mengapa banyak sekali anggota Subud yang merasa korban (playing victim) dari keadaan atau orang lain. Mereka menyalahkan Subud atau orang Subud atas penderitaan atau keadaan mereka yang tidak menyenangkan, tanpa mau mengecek diri mereka sendiri. Menyalahkan keadaan memang terasa lebih enak daripada menelan kedondong bulat-bulat.©2025
Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 18 Januari 2025
No comments:
Post a Comment