TAHUN 2010,
saat di Selandia Baru tengah berlangsung Kongres Subud Dunia, seorang anggota
Subud di depan toilet pria di Hall Cilandak berbicara kepada saya yang duduk di
sebelahnya. Meskipun tidak akrab, saya cukup mengenal anggota itu: seorang pria
usia lanjut, yang masuk Subud ketika dirinya sudah sangat tua (70an), dan
pemikir yang kritis yang mendapati kenyataan bahwa di Subud “berpikir kritis”
tidak selalu relevan.
Meninggal pada
1 Maret 2019 lalu dalam usia 81 tahun, anggota ini mengutarakan kesebalannya
pada berbagai laporan mengenai acara-acara di kongres dunia yang tengah
berlangsung di Christchurch, Selandia Baru. Ia merasa agenda acaranya tidak
cocok untuk Subud karena, menurutnya, minim aspek kejiwaannya.
Pernyataannya
membuat saya terlonjak karena kaget. Meskipun banyak anggota Subud, saya
ketahui, memisahkan antara keduniawian dan spiritualitas, atau antara
non-kejiwaan dan kejiwaan, tetap saya kaget mendengar pernyataan seperti itu.
Merasa barangkali dia salah ucap, saya pun bertanya padanya, “Maksudnya, Pak?”
“Iya, kok yang dibahas hanya masalah
organisasi dan enterprise saja.
Kejiwaannya mana?” jelasnya, dengan suara parau seakan pita suaranya juga ikut
menua sejalan dengan usianya.
“Maksud
Bapak dengan ‘bahasan kejiwaan’ apa, ya?” tanya saya, benar-benar bingung.
Bapak tua itu
terlihat bingung merespons pertanyaan saya. Mungkin dia menyadari bahwa yang
namanya bahasan kejiwaan sesungguhnya tidak ada, karena kejiwaan adalah ranah
gaib yang bebas bahasa dan, karena itu, tidak bisa dibahas. Menurut pengertian saya,
“kejiwaan” adalah wilayah rasa, yang untuk tiap orang berbeda, sehingga
membahasnya hanya akan mengaburkan maknanya.
“Pak Achmad
pernah jadi pengurus di Subud?” tanya saya, setelah kagetnya berlalu dan
menjadi tenang. Bapak itu menidakkan, dengan alasan bahwa dia tidak tertarik
dan hanya mau “berkejiwaan” saja. Saya pun menjelaskan lebih lanjut.
“Subud itu
tidak mengenal pemisahan ranah-ranah dunia dan akhirat, Pak. Tidak ada istilah
kejiwaan dan non-kejiwaan. Diri kita, luar dan dalam, adalah wadah yang
menaungi kedua aspek tersebut. Seperti diterangkan Yang Mulia Bapak, adalah
seperti air dan minyak yang disatukan dalam wadah yang sama: Nggak saling mencampuri tapi harmonis
dalam wadah tersebut,” kata saya. “Yang Mulia Bapak menyebutnya Ilmu Pisah.”
Saya
meneruskan penuturan saya dan si anggota usia lanjut itu mendengarkan dengan
saksama. Saya menceritakan pengalaman saya saat mengemban tugas sebagai Wakil
Sekretaris Nasional (namun karena aktif berkomunikasi dengan komunitas Subud
internasional, para anggota luar negeri menganggap saya adalah “Sekretaris
Nasional”-nya untuk masa bakti 2009-2011) di pengurus nasional PPK Subud
Indonesia. Saya mengutarakan bahwa apa pun jabatan yang diemban dalam
kepengurusan Subud semuanya bertitik tolak pada Latihan Kejiwaan. Dalam
berpikir dan merasakan, dalam berkata dan berbuat sebagai “pengurus”, semuanya
merupakan ekspresi yang terbimbing Latihan Kejiwaan. Sekalinya mengandalkan
akal pikir yang ditunggangi nafsu, maka yang mengemuka adalah kepentingan
pribadi yang ujung-ujungnya berbuah konflik antar pribadi. Saya pernah
mengalaminya, makanya bisa menceritakan hal ini.
“Itulah
sebabnya mengapa rapat-rapat pengurus nasional selalu didampingi Pembantu
Pelatih Nasional dan sebulan sekali atau tergantung tuntunan, pengurus dan PP
Latihan bersama. Supaya selalu harmonis, selalu rukun. Kalau perkumpulan kita
terasa kacau, biasanya karena nggak
terisi Latihan. Semua yang terlibat punya kepentingan, apa pun itu,” kata saya.
Si bapak
tua itu tertegun. “Jadi, walaupun kelihatannya bukan kejiwaan, tapi sebenarnya
acara-acara Kongres Dunia itu ada isi Latihannya ya?” tanyanya, seperti
menuntut penegasan saya.
“Betul,
Pak. Organisasi kita ini ada ‘isi’nya. Isinya adalah Latihan Kejiwaan. Jadi,
Pak Achmad jangan menolak kalau ditawari jadi pengurus. Karena itu kesempatan
untuk tumbuh dan berkembang Latihannya Pak Achmad. Pak Achmad jadi bisa belajar
me-niteni bekerjanya jiwa, hati, dan
akal pikir, sehingga dapat mengendalikan diri,” jawab saya. Anggota uzur itu
mengangguk-angguk dalam diam. Selanjutnya, ia mohon diri dan berlalu dari
hadapan saya.©2020
GPR 3, Tangerang Selatan, 29 Juni 2020