MESKIPUN
hanya dua semester saya kuliah di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, IKIP Negeri Jakarta (sekarang Universitas
Negeri Jakarta), saya tetap dianggap alumnus institut keguruan dan ilmu
pendidikan yang berkampus di Rawamangun, Jakarta Timur itu. Karenanya, saya
selalu diundang, paling tidak, oleh rekan-rekan Angkatan 1986 Pendidikan
Sejarah FPIPS IKIP Jakarta.
Salah satu
dari dua kali reuni yang pernah saya hadiri diadakan di rumah salah seorang
alumnus Angkatan ‘86 di Jomin, Cikampek, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Dia
seorang wanita yang, teriring ketakjuban saya, menjadi guru di sebuah sekolah
menengah atas negeri di Jakarta Utara.
Dengan dia
bertempat tinggal di Cikampek, saya mengira di hari kerja dia kos atau
menempati rumah kontrakan di Jakarta, mungkin di wilayah Jakarta Utara juga.
Perkiraan saya ternyata salah. Dia menempuh perjalanan Cikampek-Jakarta Utara,
dari rumah ke tempat kerjanya, tiap hari dengan bermobil. Berangkat dari rumah
jam tiga pagi, dia akan mampir di rumah kerabatnya di Bekasi untuk menyimpan
mobilnya, dan melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum.
Saya sulit
membayangkan apa yang dia harus lakukan tiap hari, lima hari dalam seminggu,
untuk membuat dapurnya tetap mengepul. “Kalau dibayangkan memang sulit. Kamu
harus menjalaninya. Lakukan! Lama-lama terbiasa. Kalau sudah biasa, segalanya
jadi ringan!” kata rekan alumnus itu kepada saya.
Seperti
ungkapan “practice makes perfect”,
ibarat pisau makin diasah makin tajam. Ketika masih berlatih Taekwondo dahulu,
semakin rajin saya melatih satu teknik tendangan, teknik itu jadi menyatu
dengan diri saya, yang bereaksi secepat tangan saya ketika melakukan hal-hal
yang sudah biasa saya lakukan, misalnya menggaruk ketika gatal.
Jadi,
sejatinya, tidak ada yang susah atau sulit bila kita sudah menyatu dengan apa
pun kegiatan yang kita lakukan. Saya teringat pada satu saudara Subud saya,
yang rajin salat lima waktu. Begitu azan terdengar, segera dia bersiap untuk
salat. “Kalau saya salat, jangan anggap saya alim ya. Ini karena sudah
terbiasa, jadi otomatis,” kata dia suatu ketika.
Ketika saya
mengawali karier sebagai copywriter
di biro iklan, tahun 1995, saya merasa berat dan tidak memiliki hasrat sama
sekali—saya melakukannya karena tergiur gaji copywriter yang besar dan suasana kerjanya dinamis. Tiap hari
kerja, perhatian saya terpecah antara memelototi layar komputer dan melihat jam
di dinding Departemen Kreatif. Saya tidak sabar menunggu jam bubar kantor.
Karena tidak ada hasrat, makanya saya cepat lelah, mudah bosan, jenuh dengan
pekerjaan saya. Pekerjaan yang menantang saya anggap sebagai cobaan yang
membuat saya ingin kabur darinya.
Lama-lama,
secara tidak sadar, pekerjaan itu menyatu dengan diri saya. Saya menjadi
otomatis dalam bidang menulis naskah. Tangan, hati dan pikiran saya sepenuhnya
berpadu dalam merancang bangun teks. Ditambah kini dengan Latihan Kejiwaan,
saya bahkan bisa “mengobrol” dengan kata-kata yang saya gunakan. Mereka
memberitahu saya kapan saya harus dan kapan tidak usah menggunakan kata
tertentu, dan energi Latihan mengisi kata-kata yang saya gunakan secara terbimbing,
yang efeknya dapat “merasuki” rasa dan/atau pikiran pembacanya.
Kini, saya
dan kegiatan tulis-menulis bukan lagi dua entitas yang berbeda. Melainkan telah
manunggal. Bukan lagi sebuah pekerjaan atau profesi, melainkan sebuah kecintaan
yang membuat saya “hidup”. Tidak ada nilai nominal uang di dunia ini yang mampu
membayar kecintaan!
Tentu saja,
yang saya alami ini tidak semudah membalikkan tangan, tidak semudah mengedipkan
mata. Saya melalui proses panjang yang menurut saya berat. Tapi proses ini
bermakna, karena menyatukan diri saya dengan apa pun kegiatan saya secara
manunggal.©2020
GPR 3, Tangerang Selatan, 14 Juni 2020
No comments:
Post a Comment