Logo dari gerakan Biasa Baru, yang dijiwai oleh sikap Sabar. Didesain oleh LI9HT Brand. |
TERMINOLOGI yang tengah tren di saat pandemi
COVID-19 sedang melanda dunia adalah “normal baru”. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, “normal” berarti “menurut aturan atau menurut pola yang umum; sesuai
dan tidak menyimpang dari suatu norma atau kaidah; sesuai dengan keadaan yang
biasa; tanpa cacat; tidak ada kelainan”. “Normal baru”, karena itu, berarti
aturan umum yang baru.
Bagi saya, terminologi “normal baru” merupakan
sesuatu yang kocak atau berlebihan (oxymoron). Pasalnya, kebiasaan “baru” yang ditawarkannya sebagian
besar sudah saya dan istri saya lakukan sejak lama. Kalau Anda memahami
pentingnya kebersihan dan kesehatan, kebiasaan yang diimbau untuk dilakukan di
era “normal baru” ini sama sekali tidak baru. Mencuci tangan dan/atau mandi
bila habis bepergian atau baru memegang sesuatu yang diragukan higienitasnya
sudah saya lakukan sejak anak saya, Nuansa, lahir. Saya harus mencuci tangan
apabila ingin menggendongnya, harus mandi bila saya baru pulang dari bepergian,
untuk tujuan yang sama. Apabila saya sedang batuk atau pilek, saya wajib
mengenakan masker jika ingin mendekati Nuansa—tidak hanya ketika dia masih
bayi, tapi sampai sekarang ya begitu. Menjaga imunitas tubuh dengan olahraga dan
makan makanan yang sehat juga bukan kebiasaan baru.
Selain itu, sejak saya dibuka di Subud,
pertama kali menerima Latihan Kejiwaan, saya mengalami diri saya yang baru setiap
hari. Setiap hari, saya merasa dilahirkan kembali, dengan kesadaran diri yang
baru. Dalam sehari bahkan saya mendapat banyak hal baru yang belum saya kenal
atau ketahui sebelumnya. Bagi saya, orang yang sudah menerima Latihan Kejiwaan
tidak seharusnya menjadi usang, atau terbelenggu kebiasaan-kebiasaan dan
kebisaan-kebisaan lama. Penerimaan dalam Latihan Kejiwaan juga terbarukan
setiap saat.
Latihan Kejiwaan membimbing saya untuk mampu
menerima kebiasaan-kebiasaan dan kebisaan-kebisaan baru. Pendek kata, orang
Subud seyogyanya biasa dengan kebaruan. Dia biasa baru. “Normal baru”, karena
itu, tidak relevan bagi orang-orang yang senantiasa terbimbing kekuasaan Tuhan.
Rasa biasa baru terasa ketika kita melakukan
apa yang sering Bapak dorong agar anggota Subud lakukan: enterprise. Bapak mengatakan, enterprise
adalah gerak hidup yang tertuntun Latihan Kejiwaan. Enterprise adalah kerja, bergeraknya kita secara lahir maupun batin
yang gerakan-gerakannya (maupun diamnya) terisi getaran Latihan. Enterprise adalah media penyaksian kita
atas bekerjanya bimbingan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Tujuan enterprise bukan semata perolehan
keuntungan materi (material gain),
tetapi yang lebih utama keyakinan bahwa Tuhan memang ada, hadir, dan membimbing
kita. Itu yang saya alami dan pahami.
Sejalan dengan bimbingan Tuhan dalam enterprise, saya mengalami banyak
sekali, dan sering kali, perubahan-perubahan dalam cara-cara saya melakukan
hal-hal. Saya menjadi copywriter sejak
tahun 1995, jauh sebelum saya masuk Subud, dan secara jumlah tahun, di kalangan
praktisi periklanan saya dipandang “berpengalaman”, yang artinya saya mampu menulis
naskah untuk berbagai jenis materi komunikasi pemasaran dan korporat. Saya juga
dipandang sebagai profesional di bidang copywriting,
karena telah menguasai teknik-teknik penulisan naskah komunikasi maupun
memahami kaidah-kaidah periklanan melalui masa kerja saya yang demikian
panjang.
Bagaimanapun, hal itu “dipandang” oleh jiwa
saya sebagai tidak sejalan dengan kehendak Tuhan. Karena yang dominan dalam
setiap pengerjaan proyek adalah akal pikir dan hati saya yang terisi nafsu. Itu
saya akui sebagai “kelemahan” saya. Pembantu pelatih yang melayani saya di
Surabaya dahulu, ketika saya masih ngandidat
di Cabang Surabaya, yang juga seorang praktisi periklanan, pernah berujar
ke saya, “Selama ini, kamu menulis dengan akal pikirmu. Tunggu saja nanti
Latihan akan membuatmu melakukannya dengan tuntunan jiwamu.” Saat itu, saya
belum mengerti bagaimana jiwa itu dapat menuntun saya melakukan pekerjaan yang
sarat hal teknis.
Ketika saya telah menerima Latihan Kejiwaan,
kebisaan dan kebiasaan saya dalam bekerja berubah 180 derajat. Saya yang
biasanya harus nongkrong di warung
kopi atau brainstorming bersama tim
kreatif di kafe—dan belum tentu mendapat ide, meski telah memeras otak,
tiba-tiba saya dibisakan untuk brainstorming
dengan diri sendiri di mana saja saya berada, sering tanpa berpikir sama
sekali—kalaupun berpikir, berpikirnya secara terbimbing, biasanya dibimbing
agar fokus ke hal yang sedang saya kerjakan. Tiba-tiba saya mampu “mengobrol”
dengan kata-kata dan kalimat yang saya gunakan saat menulis naskah materi
komunikasi pemasaran dan korporat atau tulisan apa pun. “Hidup di dalam hidup”
saya ini membimbing kapan suatu kata atau kalimat dipakai dan kapan tidak.
Perubahan terus terjadi dalam kebisaan dan
kebiasaan saya terkait, utamanya, dengan cara saya melakukan pekerjaan. Hal-hal
baru diperkenalkan ke saya, secara spontan saat saya mengerjakan naskah. Satu
pembantu pelatih Cabang Jakarta Selatan mengungkapkan kepada para anggota Subud
yang hadir di teras Hall Sukamulya pada 21 Juni ke 22 Juni 2020 lalu, sambil
menunjuk ke saya: “Tanya nih ke
Arifin, yang selalu menggunakan Latihan dalam bekerja.”
Saya hanya bisa berbagi pengalaman saya
terkait Latihan Kejiwaan dalam bekerja, tetapi tidak bisa mengajarkan, karena
Subud bukan ajaran maupun pelajaran. Anda harus mengalaminya untuk bisa
memahaminya. Dengan mengalami, dan bersabar, dengan bimbingan Tuhan Yang Maha
Kuasa, kita senantiasa dimurahi dengan kebaruan, yang sering kali tidak kita
sangka kita dapat melakukannya.©2020
GPR 3, Tangerang
Selatan, 26 Juni 2020
No comments:
Post a Comment