SAYA pernah
iseng memlesetkan kata-kata filsuf Perancis, René Descartes yang terkenal: “Saya
berpikir, karena itu saya ada” (Cogito,
ergo sum—I think, therefore I am).
Saya plesetkan menjadi “Saya berpikir, karena itu saya bodoh”. Plesetan itu
saya ekspresikan di status Facebook dan WhatsApp saya pada 19 Juni 2020, dengan
memlesetkan pula nama penganjurnya menjadi Mrene Ndaskertas (bahasa Jawa untuk “ke
sinilah, kepala kertas”).
Gagasan
usil itu bermula dari suatu pagi ketika istri saya mengungkapkan serangkaian
hal untuk saya kerjakan hari itu. Saat itu masih awal pagi dan saya baru bangun
tidur. Karena istri saya mengungkapkannya dengan cepat—berhubung begitu banyak
hal harus ia kerjakan, saya mencoba mengingat urutannya dengan mengerahkan
segenap pikiran saya, mulai dari apa sebenarnya yang dikehendaki istri saya.
Saya malah berakhir dengan menanyakan beberapa hal yang sama berulang-ulang, yang
membuat saya tampak bodoh di mata istri saya. Pikiran saya telah jadi semrawut
tidak karuan, justru ketika saya berusaha menggunakannya dengan benar.
“Katanya you pintar, kok malah yang sepele gitu
kamu tanyain melulu?” ujar istri saya
dengan suara bernada kesal.
Ucapannya
saya tanggapi dengan tertawa. Saat itulah, entah gagasan usil atau “penerimaan
kejiwaan”, terbersit plesetan dari ungkapan terkenal René Descartes di atas.
Terlepas dari lelucon atau candaan, sejak dibuka di Subud berpikir memang
menjadi momok yang mengkhawatirkan saya. Pikiran saya sudah terlalu sering
membohongi saya.
Saya bukan
orang yang pintar, sebagaimana anggapan istri saya dan banyak orang lainnya.
Meminjam gagasan satu saudara Subud saya, saya sejatinya meminjam kepintaran
Tuhan. Yang saya ucapkan atau tuliskan, karena itu, bukan keluar dari pikiran
saya yang “berusaha dengan kekuatan sendiri”, melainkan pikiran yang dibimbing
oleh Latihan Kejiwaan, justru di saat pikiran itu berhenti menguasai saya.
Bila
ditelusuri dari nilai rapor saya semasa sekolah dasar hingga menengah atas,
maupun indeks prestasi kumulatif saya semasa di perguruan tinggi, akan tampak
jelas dan tegas: Saya bukanlah orang yang pintar! Sebagian orang menyanggah pernyataan
itu, mengingat bahwa saya kuliah di Universitas Indonesia (UI), sebuah
perguruan tinggi negeri (PTN) bergengsi di negeri ini, dan saya pernah dua kali
lolos seleksi masuk PTN, yang, bagi sebagian orang itu, menandakan saya
tergolong pintar.
Saya juga
tidak mengerti mengapa saya bisa lolos seleksi masuk PTN hingga dua kali
berturut-turut. Bila diolah dengan akal pikir, mungkin hal itu disebabkan oleh
jurusan yang saya pilih tidak tergolong “favorit”, sehingga daya tampungnya
selalu mampu menerima orang terbodoh di kelas seperti saya (saya menempati
ranking ke-32 di bangku kelas 3 SMA, di kelas yang jumlah muridnya 32 orang!).
Banyak segi
dari aspek pikiran manusia itu lemah. Pikiran tidak bisa diandalkan. Pikiran bila
dibiarkan mengembara seenak perutnya, malah membawa kita ke jurang kehancuran.
Nasihat Bapak Subuh bahwa “pikiran lebih berbahaya daripada rokok” (ceramah di
Santiago de Chile, 1 Agustus 1969) benar adanya! Pikiran harus ditenangkan,
yang dengan cara itu ia kembali ke statusnya sebagai pembantu yang manut. Tidak sedikit kenalan saya yang
mati karena penyakit kanker berawal dari pikiran cemas yang dalam keseharian
mereka mereka biarkan mencengkeram diri mereka seolah gagasan-gagasan yang
diolah pikiran (meme) mereka merupakan kebenaran yang sejati. Termasuk
diagnosis dari dokter tentang stadium penyakit kanker diterima pikiran mereka dengan
ketakutan luar biasa, yang malah akan menurunkan imunitas tubuh mereka terhadap
penyakit.
Saya telah
mempelajari memetika (ilmu pengetahuan tentang meme) sejak tahun 2006, bermula
dari membaca buku yang ditulis Richard Brodie, Virus Akalbudi. Mengkaji
memetika, saya menjadi mengerti mengapa seyogyanya pikiran sepatutnya hanya
menjadi pembantu, alih-alih menjadi majikan kita.
Kelemahan
terbesar pikiran adalah kekukuhan pendiriannya untuk bertahan di zona nyaman.
Ia mudah dan akan tetap percaya pada satu hal yang tidak benar atau semu, hanya
karena ia malas menggali lebih banyak. Ia tidak akan mau diajak untuk berjalan
melalui jalan yang tidak pernah dilalui sebelumnya (a road less traveled). Setelah berlatih kejiwaan, pikiran saya (dan
juga saya sendiri, jiwa dan raga) kerap dibimbing untuk melewati jalan yang
dihindari sebagian besar orang itu.
Tidak
mengherankan, karena itu, bilamana memetika berjaya sebagai senjata politik dan
bisnis (branding). Karena melalui
pikiran yang lebih suka berada di zona nyaman itu, pesan-pesan palsu (hoax) sekalipun diterima sebagai
kebenaran! Jadi, jangan heran, bila banyak orang tidak mau bersusah-payah
mencari pembanding (yang dewasa ini dipermudah oleh mesin pencari berbasis
internet) untuk mencari tahu apakah sebuah pesan atau berita memang benar atau
tidak, meskipun kampanye anti-hoax
sudah menyarankan cara itu. Yang membuat nyaman itulah yang diterima.
Pikiran
merupakan bagian yang mulia dari eksistensi manusia hanya bila ia terbimbing
oleh kekuasaan Tuhan. Melalui pikiran yang terbimbing, kita meminjam kepintaran
Tuhan untuk mengatasi berbagai masalah kehidupan yang kita hadapi. Tanpa
bimbinganNya, pikiran hanya barang sampah yang tidak pantas dipertuan.©2020
GPR 3, Tangerang Selatan, 24 Juni 2020
No comments:
Post a Comment