Bapak Subuh dikerumuni para anggota Subud di bandar udara Mexico City pada tahun 1968. |
DALAM ceramah di Wendhausen, Jerman, pada 28
April 1981, Bapak Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo menyebutkan bahwa keberadaan “pembantu
pelatih” (diinggriskan sebagai helper)
adalah semata-mata membantu Bapak dalam bidang kejiwaan.
Bapak sebagai manusia tentu memiliki
keterbatasan, sehubungan dengan melayani anggota (helping the members), dalam bidang kejiwaan, bila mempertimbangkan
tempat-tempat keberadaan anggota yang tersebar di seluruh dunia. Sebagai manusia,
yang seiring bertambahnya usia semakin berkurang kekuatan fisiknya, tentu
membuat Bapak tidak selalu dapat memenuhi harapan anggota untuk datang
mengunjungi mereka. Menggantikan kehadiran Bapak, beliau menunjuk orang-orang
dengan keadaan kejiwaan tertentu untuk menjadi “pembantu Bapak”, sang pelatih
kejiwaan Subud.
“Karena
mengingat jauhnya tempat. Tidak mungkin Bapak selalu datang di Amerika, selalu
datang di Eropa, selalu datang di Amerika Selatan, atau selalu datang di
mana-mana yang bersamaan waktu, atau setidak-tidaknya, ya, selalu ada dan
datang. Tidak mungkin! Dan tidak mungkin pula Bapak melayani Latihan para
saudara seluruhnya. Jiwa Bapak dapat, tetapi physical-nya
ini—kasarannya—tidak dapat! Karena itu maka terpaksa Bapak mengadakan helper,
pembantu pelatih darurat, yaitu artinya: mencukupi pada waktu yang memang
dibutuhkan,” tutur Bapak dalam ceramah di tengah perhelatan Kongres Dunia Subud
di Briarcliff, New York, Amerika Serikat, 25 Juli 1963.
Tugas
seorang pembantu pelatih, bila “sekadar” dibaca keterangannya dari Bapak,
tergolong ringan, namun sesungguhnya berat! Dalam ceramah kepada pembantu
pelatih di Planegg, Jerman, pada 10 Agustus 1964, Bapak menekankan bahwa
pembantu pelatih sedapat mungkin agar bertindak sebagaimana para utusan Tuhan
di masa lampau, yaitu mengemong, melayani, memberi petunjuk kepada para anggota
Subud yang membutuhkan, dan memberi penuturan-penuturan yang baik bagi anggota.
Saya
katakan berat, karena faktor ego sering kali menyela. Tidak sedikit pembantu
pelatih yang tidak mampu lerem (tenang
rasa dirinya, santai, hening) ketika melayani anggota, sehingga muncul
keakuannya yang besar, lantas merasa status kepembantupelatihannya sebagai
jabatan hierarkis yang membawahi anggota. Saya jadi ingat sebuah lelucon ketika
sebagai mahasiswa baru Jurusan Sejarah di Universitas Indonesia saya mengikuti
acara inisiasi (penyambutan mahasiswa baru oleh para senior). Dalam acara tersebut berlaku aturan baku yang hanya terdiri
dari dua pasal: “Pasal 1, senior tidak pernah salah! Pasal 2, jika salah kembali
ke Pasal 1!” Persis seperti itulah anggapan pribadi sebagian pembantu pelatih
mengenai statusnya.
Nah,
dalam pengamatan saya, tidak sedikit pembantu pelatih yang memiliki sikap
merasa istimewa dan hebat, yang tidak memiliki salah, sehingga acap berperilaku
sewenang-wenang, dengan menghindari tugas pelayanan kepada anggota. Yang harus
ditekankan kepada para anggota adalah bahwa pembantu pelatih tidaklah istimewa,
tidak melampaui kemampuan para anggota dalam hal kejiwaan, bukan majikan yang
bisa sesuka hatinya menyuruh atau bersikap semena-mena terhadap anggota.
Tolok
ukur seorang pembantu pelatih yang baik menurut saya adalah yang saya amati dan
alami pada para pembantu pelatih yang melayani saya sejak saya masih berstatus
kandidat dan setelah dibuka. Meskipun sejak 2005 saya aktif melakukan Latihan
Kejiwaan bukan di cabang asal, Surabaya, melainkan di Hall Cilandak, Jakarta
Selatan, dan Kelompok Tebet, saya merasa keterikatan emosi saya pada Cabang
Surabaya, yang para pembantu pelatihnya telah melayani saya dengan baik.
Saya
ingat pada sebuah kejadian di Surabaya, di mana saya sangat memerlukan untuk
berkonsultasi dengan seorang pembantu pelatih. Saat itu, saya baru dibuka
kurang lebih satu bulan sebelumnya, dan masih dalam kondisi kejiwaan yang “acakadut”,
gampang marah, mengamuk, atau panik. Dihadapkan pada suatu masalah, besar atau
kecil, saat itu saya masih sulit untuk mengatasinya dengan sabar, tawakal, dan
ikhlas.
Diterpa
sebuah masalah—saya lupa apa—saya menyatakan kepada seorang pembantu pelatih
dari Cabang Surabaya melalui telepon, bahwa saya ingin curhat kepadanya, dan
berharap ia dapat memberi saya solusi. Sesuai janji yang kami buat via telepon,
saya bertemu dengannya di teras timur Hall Latihan Cabang Surabaya, Jl. Manyar
Rejo 18-22, Surabaya, Jawa Timur. Pembantu pelatih ini tergolong muda, usianya hanya
dua-tiga tahun di atas saya, dan berprofesi di bidang yang sama dengan saya,
yaitu periklanan. Entah karena bidang kreatif periklanan yang ia hidupi atau memang begitu sikap hidupnya, si pembantu pelatih ini hampir
selalu berpenampilan, berpikiran, serta bertindak eksentrik.
Saat
menemui pembantu pelatih muda ini, ia sedang merokok sebatang Djisamsoe yang
masih panjang, sehingga membuat saya berpikir dia pastilah baru menyalakannya. Karena
tak sabar, saya hampir seperti bendungan jebol, yang langsung meluapkan
unek-unek saya ketika pantat saya baru saja menempel di tikar anyaman yang
digelar di teras Hall Surabaya.
Saya
pendam perasaan sebal saya karena melihat si pembantu pelatih hanya duduk
bersila dengan kedua mata terpejam dan punggungnya membungkuk, sesekali
mengisap rokoknya. Ia sesekali tertawa lebar, tetap dengan mata terpejam, dan
tidak mengomentari sama sekali perkataan saya, walau hanya dengan “ya”.
Selesai
saya menceritakan masalah saya, si pembantu pelatih berkata, tetap dengan mata
terpejam, “Wis ta? Yo, wis,
ngudud sik.” (Sudahkah? Ya, sudah,
merokok dulu.)
Ia
menggeser bungkus Djisamsoe-nya ke depan saya. Saya mengambil satu batang,
menyalakannya, dan mengisapnya dalam-dalam serta mengembuskan asapnya perlahan.
Entah sudah berapa kali saya isap-embus rokok itu, tapi si pembantu pelatih diam
saja. Saya mulai tidak sabar dan ingin segera mendesak si pembantu pelatih agar
mengomentari cerita saya, atau, saya berharap, memberi solusi. Namun, saya
mengurungkan niat saya. Lantaran sesuatu mulai terjadi di dalam diri saya.
Ada
suatu dorongan dalam diri saya, yang mengajak saya untuk menikmati momen di
sore hari itu, berdua saja di teras timur Hall Surabaya, dikelilingi kesunyian
yang sesekali ditingkahi suara angsa dan semilir angin yang meniup dedaunan di
pepohonan yang mencirikan pekarangan Wisma Subud Surabaya. Dorongan itu
mengajak saya memejamkan mata, yang kemudian saya lakukan dengan ikhlas. Ketidaksabaran
saya mereda, lumer bersama angin lembut yang menerpa wajah saya. Keheningan merasuki
diri saya, memaksa kekalutan pikiran saya agar menyingkir. Berangsur-angsur
beban berat, yang menumpuk di kepala saya akibat memikirkan sesuatu yang saya
anggap masalah, lenyap entah ke mana. Saya merasakan damai yang rasanya tidak
berlebihan jika saya menyebutnya “surgawi”. Saya merasa bersih, tenang, damai,
tenteram, sejuk. Saya merasa tiada, lebur menjadi satu dengan angin dan suara angsa!
Saya
sesekali mendengar suara tawa si pembantu pelatih, jenis tawa dari orang yang
merasa lucu akan sesuatu. Juga suaranya yang berkata di antara tawanya, “Ya,
ya, ya...”
Saya
kemudian membuka mata. Bersamaan itu, si pembantu pelatih juga membuka matanya.
“Gimana? Sudah kan?” tanyanya. Tak saya pungkiri, “masalah berat” yang saya pikul
sejak dari rumah hingga berada di hadapan si pembantu pelatih telah terangkat.
Saat itu, saya mengira si pembantu pelatihlah yang telah mengangkatnya, tapi
dia berkata, “Alhamdulillah.
Berterimakasihlah pada Gusti Allah, karena Dia sudah mengangkat masalahmu.”
Dalam
perjalanan saya berproses hidup melalui bimbingan Latihan Kejiwaan Subud, harus
saya akui, diam dengan berperasaan sabar, tawakal, dan ikhlas selalu menjadi solusi terbaik bagi semua
masalah.©2020
GPR 3, Tangerang
Selatan, 23 Juni 2020
No comments:
Post a Comment