KEMARIN (10 Juni 2020), saya diundang rapat
redaksi majalah The Horizon di Gedung
Wiratno, Markas Besar Angkatan Laut Cilangkap, Jakarta Timur. Rapat yang
berlangsung dari pagi hingga sore dan dipimpin oleh Kepala Dinas Penerangan AL (Dispenal)
tersebut membahas artikel-artikel yang bisa dan tidak bisa dimuat di The Horizon edisi 2/2020.
Dalam kesempatan itu, Kepala Sub Dinas Sejarah
TNI AL (Subdisjarahal) meminta kesediaan saya untuk menyumbang artikel buat
majalah Dinas Sejarah Angkatan Laut (Disjarahal). Beberapa bulan sebelum
berakhir masa jabatan Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL)-nya (yang pada 20 Mei
2020 diserahterimakan kepada Laksamana TNI Yudo Margono), Laksamana TNI Siwi
Sukma Adji telah merilis Surat Keputusan tentang pembentukan dua kedinasan baru
di lingkungan TNI Angkatan Laut, yaitu Dinas Sejarah dan Dinas Pembinaan
Mental. Karena telah menjadi dinas tersendiri, tidak lagi di bawah Dispenal,
maka Disjarahal boleh menerbitkan media komunikasi sendiri, yang oleh Kepala
Subdisjarahal dinamai Jalakatha (=
sejarah angkatan laut).
Nah, untuk mengadvokasi pentingnya sejarah
bagi TNI AL, saya diminta untuk menyumbangkan artikel. Masalahnya, saya sudah
sangat lama tidak menulis artikel bertema sejarah militer. Minat saya pada
penulisan sejarah militer, yang di bangku kuliah—Jurusan Sejarah Fakultas
Sastra Universitas Indonesia—sangat saya sukai, sekarang sudah pupus, lenyap.
Membaca literatur sejarah militer saya masih suka, walaupun dengan intensitas
kecil.
Karena tenggat waktu (deadline) sudah mau habis, maka saya harus mengirim artikel
tersebut paling lambat pagi ini. Terpaksalah tadi malam saya lembur di depan
komputer dengan suasana diri yang bingung—dalam dunia tulis-menulis, gejala
psikologis ini disebut “Sindrom Kertas Putih” (white paper’s syndrome). Hanya judul yang sudah menggaung di benak
saya: “Signifikansi Sejarah Bagi Organisasi Militer”, tapi jari-jemari saya tak
mau mulai mengetik. Akhirnya, ketika malam kian larut, saya menenangkan diri,
dan memohon bimbinganNya, berharap Latihan Kejiwaan akan datang dan
menggerakkan jiwa dan raga saya buat menulis artikel sepanjang maksimal empat
halaman A4 dengan spasi 1,5.
Tiba-tiba saya merasa diri saya
bertransformasi menjadi seorang sejarawan militer ahli (expert military historian) yang dengan lancar “mengucurkan” kata
demi kata, kalimat demi kalimat, seperti air dari keran, yang tumpah ke halaman
Microsoft Word kosong di layar komputer saya. Artikelnya pun mewujud dengan
menyajikan dalam kata-kata yang lugas arti penting dari sejarah bagi
perkembangan organisasi militer. Saya yakin, bahwa itu merupakan bimbinganNya,
karena bagaimana mungkin saya yang sudah tidak berminat bisa menuliskannya.
Setelah itu, saya langsung emailkan ke
Subdisjarahal (berhubung Disjarahal belum diresmikan oleh KASAL baru, maka dalam
hal ini saya masih menggunakan nama lamanya), dan kemudian saya tidur.
Pagi ini, ketika saya terbangun, saya
menyadari bahwa saya tidak lagi (bisa) memikirkan ataupun mengerti apa yang
saya tulis semalam. Bimbingan Tuhan untuk itu hanya sebentar mampir karena saya
membutuhkannya.©2020
GPR, Tangerang
Selatan, 11 Juni 2020
No comments:
Post a Comment