SAYA punya klien, seorang wanita yang berkarir di sebuah institusi militer.
Selama bekerja sama dengannya, terungkap bahwa ia tidak mengerti bagaimana
menggunakan dan untuk apa dua komputer desktop Apple iMac di ruang kerja
divisinya (tepat di depan cubicle-nya),
tidak mengerti bagaimana mengunduh dokumen PDF yang dikirim via WhatsApp, tidak
banyak tahu tentang perkembangan-perkembangan aktual di dunia (padahal bidang
tugasnya adalah mengelola penerbitan majalah inggriya dari institusi di mana
dia bekerja), dan tidak mampu mengaplikasikan bahasa Inggris yang dia pelajari
di bangku kuliah, sementara dia adalah seorang sarjana sastra Inggris jebolan
sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya.
Ketika, dengan keheranan yang teramat besar, saya menanyakan “mengapa”, ia
pun membeberkannya. Karena tradisi hierarki kemiliteran, ia terbiasa menyuruh
orang lain untuk melakukan hal-hal “sepele”, yang, sebaliknya, menurut saya,
amat berharga untuk sesekali ia lakukan sendiri. Secara menyedihkan ia
menyalahkan kenyataan bahwa ia di rumah menjadi ibu rumah tangga yang terlalu
sibuk mengurusi dua anak pra remaja, serta suami—yang juga tentara—yang
bertugas di luar Pulau Jawa.
“Maaf, Bu,” kata saya, mengomentari alasan-alasannya yang menyedihkan—via pesan
WhatsApp, “Sesibuk apa pun, saya rasa Ibu harus menginvestasi sedikit waktu
untuk belajar hal-hal yang perlu dan penting. Saya kira, tidak butuh waktu
banyak bagi orang dengan tingkat intelektualitas selevel Ibu untuk, paling nggak, tahu gunanya iMac itu apa, cara
men-download file dari WhatsApp, dan
lain-lain. Mungkin bagi Ibu sepele, tapi mengetahui dan mengalami berbagai hal ‘kecil’
punya dampak ‘besar’.”
Saya baru memahami baru-baru ini bahwa sejatinya tidak ada orang yang
bodoh. Yang ada adalah orang-orang yang tidak menghargai dirinya dengan
pengetahuan yang bermanfaat. (Bermanfaat dalam hal ini bersifat subyektif,
tidak sama bagi setiap orang.)
Cara untuk menghargai diri kita adalah dengan menginvestasi waktu, walau
tidak sekaligus banyak, untuk belajar. Belajar apa pun! Bagi saya, investasi
terbaik sepanjang waktu adalah investasi waktu. Satu saudara Subud saya
berkomentar, “Kalau orang tidak bisa menghargai dirinya dengan pengetahuan,
buat apa ia lama-lama hidup di dunia?” Nah
lho!
Yang saya tahu, tidak ada yang bisa mengembangkan diri kita, dalam hal apa
pun, selain didorong oleh kemauan kita sendiri untuk berkembang.©2020
GPR 3, Tangerang Selatan, 16 Januari 2020
No comments:
Post a Comment