Tuesday, June 29, 2010
Merdeka Tapi Kaya
Posisi Pangkal Prestasi (?)
Thursday, June 24, 2010
DÉJÀ VU
Untuk Cc. yang pencariannya akan Terang mengilhami permenungan ini…
Namo Buddhaya…
Kembali aku ke sini, serupa aku yang belum pernah ada sebelumnya
laksana terlahir kembali sebagai tiada
Jadi manusia baru dengan jiwa lama yang tak punya rupa
Yang mendambakan cinta yang mengembara
dari hati yang bisu ke kata yang bersuara
Tak harap ini samsara, walau sesungguhnya hidup adalah dukkha
Dimuliakan atas namamu, Siddhartha
Yang padamu aku merangkul suaka
Tak ingin aku hidup dengan air mata
yang mengalir dari kisah derita pun dari bahagia
Ayo Cinta, kau ikut aku ke masa yang belum tiba saatnya,
di mana kau dan aku tak lagi berkata “kau dan aku”,
tapi aku – semata aku yang tunggal berjumbuh di luar waktu
Tak ada punya, tak ada kuasa,
tak melekat, tak ingin mendapat
Tiada menjadi, tiada memberi
Dan rindu tersimpan hening tanpa kata,
Kau telah menduka demi sang ada
yang senyumnya menyembuhkan luka
Melarung jiwa-jiwa yang semburat
ke dalam setapak jalan hidup penuh nikmat
yang hak atas diri mereka,
Tinggallah kita di situ, memadu asmara
yang pernah tercipta dengan sang ada
Ikutlah denganku ke masa di depan itu
Terlahir kembali sebagai diriku dan dirimu yang menyatu
Sentani, Papua, 15 Juni 2010
Tuesday, June 15, 2010
Terasing di Negeri Sendiri
“Tanah
Papua, tanah yang kaya
Surga
kecil jatuh ke bumi
Seluas
tanah sebanyak batu
Adalah
harta harapan”
~Lirik lagu Aku Papua, baris pertama
TEPAT seminggu sebelum tanggal 12 Juni 2010 saya dihadapkan pada pilihan yang sulit. Betapa tidak, saya sudah telanjur memastikan bahwa pada tanggal itu saya akan berangkat ke “kampung halaman kedua” saya, Purwokerto, Jawa Tengah, untuk memenuhi undangan ngunduh mantu dari saudara Subud saya di sana. Tetapi, apa daya, “kampung halaman keempat” saya memanggil.
Purwokerto adalah tempat kelahiran ayah saya. Saya suka ke sana, baik untuk acara Subud maupun yang menyangkut keluarga besar ayah saya. Pemandangannya juga indah, di kaki Gunung Slamet dan lembah Sungai Serayu yang bersawah. Namun, kampung halaman keempat saya sungguh menggoda. Ia adalah mutiara hitam yang menawarkan kerinduan sedemikian rupa pada diri saya untuk tak lagi menengok yang lain-lain. Ia laksana gadis cantik yang menggoda, dengan untaian rambut keriting dan kulit hitam. Ia bernama Papua.
Tanggal 12 Juni 2010, ketika kaki saya kembali menginjak tanah Papua, itu merupakan yang keempat kalinya. Yang pertama adalah pada bulan Mei 2009, di mana saya dan mitra saya yang seorang fotografer diundang Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, untuk melakukan penelitian guna penulisan buku meja kopi (coffee-table book) tentang Sentani. Yang kedua pada bulan Juni 2009, ketika kami kembali untuk membawa buku tersebut, Doors to the Unknown: The Story of Sentani in the Jayapura Regency of Papua, kepada Pak Habel, yang pada gilirannya mempersembahkannya sebagai cinderamata kepada para tetamu penting yang hadir di acara Festival Danau Sentani ke-2, 19-23 Juni 2009.
Yang
ketiga, lagi-lagi kami diberi tugas oleh bupati kebanggaan masyarakat Kabupaten
Jayapura, yang kabarnya akan maju sebagai calon gubernur provinsi Papua pada
tahun 2011 mendatang. Tanggal 5 Desember 2009, saya dan mitra saya berangkat ke
Papua untuk meliput perjalanan Pak Habel mengunjungi distrik paling terasing di
wilayah pemerintahannya, yaitu Distrik Airu, yang berada di kawasan hutan hujan
dan sungai Mamberamo.
![]() |
Saya di perahu bermotor yang mengarungi Danau Sentani di Kabupaten Jayapura, Papua, pada 12 Juni 2020. |
Bicara soal keterasingan, banyak distrik maupun kampung-kampung yang dinaunginya berada di daerah-daerah yang jauh dari jangkauan peradaban. Tidak dapat dipersalahkan pemerintahnya, lantaran penduduknya sendiri merengkuh kehidupan nomadik, di mana mereka kerap berpindah tempat untuk mencari sumber pangan lainnya.
Tetapi, Papua sendiri terasing. Ironisnya, pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland itu terasing di negeri sendiri, Indonesia. Ibukota provinsi Papua, Jayapura, nyaris dekat dengan negeri tetangga, Papua Nugini. Pemerintah kolonial Hindia Belanda, karena itu, dianggap telah memilih tempat yang eksentrik sebagai ibukota daerah jajahannya, yang waktu itu masih bernama Hollandia, karena terlalu dekat dengan Papua Nugini yang sebelah baratnya (berbatasan langsung dengan provinsi Papua kini) dijajah Jerman.
Papua disebut terasing di negeri sendiri, lantaran tidak banyak orang Indonesia di daerah-daerah lainnya di Nusantara yang mengenalnya atau bahkan pernah mengunjunginya. Lantaran tidak mengenalnya, berbagai asumsi dan kecurigaan pun berkembang pada diri mereka. Papua dianggap tidak ramah, oleh sebab berita-berita yang meliputinya sebagian besar bersifat negatif, dengan perang suku, disintegrasi yang ditimbulkan oleh Organisasi Papua Merdeka (yang sesungguhnya hanya kelompok kecil tidak signifikan yang tidak puas karena kejayaan mereka pada masa kolonial Hindia-Belanda harus berakhir pada masa wilayah ini masuk ke dalam kedaulatan Republik Indonesia), keliaran tampilan fisik penduduknya dan sifat budayanya yang “berbeda” dari yang ada di daerah-daerah lain di Indonesia.
Orang Indonesia lebih mengenal Bali dan bangga bila pernah ke sana. Kini, menyusul Lombok sebagai pilihan wisatawan domestik dan mancanegara yang kesengsem keindahan alam tanah tokek itu. Bahkan dalam urusan pariwisata, Papua tidak dilirik. Saya pernah ke Bali maupun Lombok, tetapi Papua adalah pilihan pertama saya untuk berwisata. Saya yang sejak lahir hingga dewasa tinggal di Jawa, melewati masa kecil di Negeri Belanda, pernah sekali merambah hutan di Kalimantan Tengah dan sekali di Kalimantan Timur, bolehlah berkata, “Papua memang tidak ada duanya!”
Festival Danau Sentani ke-3 digelar pada 19-23 Juni 2010, tetapi saya dan mitra saya sudah lepas landas dari Bandar Udara (Bandara) Soekarno-Hatta Jakarta, menumpang Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 654, pada 11 Juni, pukul 22.40 WIB. Kami telah diminta Pak Habel untuk datang lebih awal, lantaran wilayah yang beliau pimpin kedatangan tamu istimewa: Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Leopoldo Girelli. Ini kunjungan sang Dubes yang kedua kalinya ke Kabupaten Jayapura, sekaligus yang kesepuluh ke Papua, sejak ia ditugaskan di Indonesia.
Kami diminta untuk meliput kunjungan sang Dubes untuk kemudian dibuatkan buklet sebagai laporan Pak Habel kepada rakyat Indonesia, bahwa semasa pemerintahannya sebagai bupati dari daerah yang pernah (sebelum dimekarkan menjadi tiga kabupaten) menjadi kabupaten terluas di Indonesia, seorang pejabat penting negara tinggal di Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura. Menurut keterangan Pak Habel sendiri di hadapan Dubes Girelli, wartawan dan tamu undangan yang berkumpul di Restoran Dapur Papua, di tepi Danau Sentani, pada 13 Juni 2010 menjelang malam, semua pejabat negara yang mendarat di Sentani tidak menginap di kota kecil yang hotelnya paling banter hanya berbintang tiga. Mereka biasanya langsung check-in di Swiss-Bel Hotel di Kota Jayapura.
Dada saya bergetar hebat tatkala pesawat yang saya tumpangi menyongsong ufuk timur saat pagi menjelang. Pesawat Garuda yang menjadi tumpangan saya adalah Boeing 737-800 terbaru yang mampu terbang selama lebih dari tiga jam tanpa mengisi bahan bakar sejak transit di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Karena itu, penerbangan ini, tidak seperti biasanya, tidak singgah di Bandara Timika untuk pengisian bahan bakar, melainkan langsung menuju Bandara Sentani di Jayapura. Dari jendela pesawat saya bisa menikmati pemandangan pesisir selatan Papua dengan permukaan lautnya yang pirus, berpadu mesra dengan hijaunya daratan.
Kerlipan-kerlipan laksana kedipan mata gadis menawan menyambut saya ketika pesawat mulai menurunkan ketinggian terbangnya. Kerlipan-kerlipan itu berasal dari sinar matahari yang jatuh ke permukaan air Danau Sentani. Awan-awan tebal menyingsing bagaikan layar panggung yang mementaskan keindahan alam yang tak pernah terlewat dari kenangan saya. Fenomena itu menandakan bahwa pesawat akan segera mendarat di Bandara Sentani.
Pesawat Garuda yang saya tumpangi meliuk, memutar di atas gugus pebukitan yang merupakan ciri khas pemandangan kawasan Danau Sentani. Pebukitan nan hijau berbentuk unik itu jumlahnya begitu banyak sehingga membuat sebagian besar orang percaya bahwa nama “Sentani” berasal dari bahasa Jepang, yang berarti “seribu bukit”. Bagaimanapun, saya telah berkonsultasi dengan kamus Kanji, yang menegaskan bahwa “sen” dan “tani” bukan berarti “seribu bukit”, melainkan “seribu sungai” atau “seribu jurang”. Asal-usul nama “Sentani” telah saya deteksi, yaitu berasal dari bahasa Puyakha, bahasa asli suku-suku setempat, yang kurang lebih berarti “ciri yang khas” (diperkirakan adalah Danau Sentani itu sendiri).
Gunung Dafonsoro tampak berdiri tegak dan gagah, mendekorasi latar belakang Bandara Sentani, ketika pesawat telah mendarat dan saya menuruni tangga ke apron bandara yang pada masa Perang Dunia II dibangun oleh pasukan Jepang dan direbut oleh pasukan Amerika ketika Jenderal MacArthur menyerbu Hollandia pada 24 April 1944, yang dikenal dengan sandi Operation Reckless, yang kemudian menjadi pegas bagi perwujudan janjinya kepada rakyat Filipina yang ditinggalkannya pada Februari 1942 lantaran terdesak serangan pasukan Jepang: “I shall return!”
Gunung Dafonsoro adalah simbol kebanggaan bagi masyarakat kota Sentani. Kesebelasan kebanggaan Kabupaten Jayapura pun menyandang namanya—Persidafon (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia Dafonsoro). Sebagai bagian dari rantai pegunungan Cyclops yang menghampar di sekujur daratan utara Kabupaten Jayapura, salah satu puncak Dafonsoro pernah menjadi lokasi di mana Jenderal MacArthur bermarkas, memegang komando atas setengah juta tentara Amerika Serikat yang berkeliaran di Papua pada masa itu. Puncak itu kemudian disebut “Bukit Makatur” dan di tengahnya berdiri Tugu MacArthur dengan sebuah museum kecil yang memamerkan peninggalan pertempuran hebat yang pernah meletus di Sentani.
Dari Bukit Makatur dapat kita lihat lembah Danau Sentani yang hijau dan kuningnya memikat mata, seolah terajut dengan jernihnya biru langit. Juga biru danau yang setiap tahun mengemuka di hadapan rakyat Indonesia maupun dunia lewat festival budayanya, Festival Danau Sentani. Setiap tahun, pada 19-23 Juni, sejak tahun 2008, lebih dari 1.500 penari dan artis tradisional dari 24 kampung di Sentani pentas di atas panggung yang dibangun di kawasan wisata Pantai Kalkhote, Kampung Harapan, Sentani Timur.
FDS
tidak saja dinanti-nantikan wisatawan dunia, tetapi juga menjadi “harapan hidup” masyarakat
Sentani, lantaran sejak festival ini digelar pertama kalinya perekonomian
mereka berkembang dan kesejahteraan yang baik menjadi milik semua orang yang
tinggal di 24 kampung asli Sentani. Kampung-kampung tersebut bahkan menciptakan
daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Betapa tidak, ke-24 kampung, walau ada
yang berdekatan letaknya, memiliki budaya masing-masing yang khas. Kalau saja
Bahasa Indonesia tidak pernah diajarkan di sini, mereka akan mengalami
kesulitan untuk berkomunikasi satu sama lain. Mereka merupakan suku nomadik
yang tidak mengenal tulisan; yang ada hanya bahasa lisan. Dan bahasa Puyakha,
bahasa asli leluhur Sentani, kini nyaris punah kegunaannya.
Sentani bahkan tidak memiliki sejarah yang baku. Tradisi budayanya diwariskan lewat kisah-kisah legenda dan mitos, yang merupakan metode pewarisan riwayat pada suku-suku adat Papua. Sendratari yang mengisahkan asal-usul Danau Sentani menjadi salah satu pertunjukan yang dipentaskan dalam FDS ke-3 ini.
Bersama rombongan Dubes Vatikan, pejabat daerah dan wartawan, saya berkesempatan mencicipi tur dengan kapal cepat yang dioperasikan dinas perhubungan setempat, mengitari Danau Sentani dan singgah di salah satu pulau yang menjadi pijakan bagi Kampung Asei, kampung yang dahulunya menjadi titik penyebaran suku Sentani. Kampung Asei, selain dikenal oleh latar belakang historisnya tersebut, juga karena kampung itu menghasilkan kerajinan yang telah mendunia, yaitu lukisan di atas media kulit kayu. Kulit kayunya sendiri berasal dari pohon khombouw, yang batangnya sepintas menyerupai pohon pepaya, dan hanya terdapat di Kampung Asei. Kulit dipukul-pukul hingga ratanya sama dan menipis, lalu lukisan-lukisan bermotif Sentani—ikan dan sejenis kadal—digambar di atasnya, menggunakan cat yang terbuat dari bahan-bahan alami, seperti tanah, tumbuhan dan kerang.
Selain wisata budaya yang diwakili oleh FDS serta wisata sejarah lewat tur kenangan ke kawasan-kawasan yang menandai eksistensi manusia purba di Sentani, yaitu batu-batu megalitikum Tutari di Kampung Doyo Lama, dan peninggalan Perang Dunia II yang tersebar di seluruh penjuru Sentani hingga Genyem (kurang lebih 85 kilometer sebelah barat Sentani), Kabupaten Jayapura masih punya hidangan wisata lainnya, yang tak kalah memikatnya, yaitu wisata alamnya.
Terakhir kali saya ke Bali adalah ke Sanur, pada bulan April 2010. Saya berani menjamin, pemandangan Sanur jauh di bawah telapak kaki pemandangan alam Papua. Begitu pula Pantai Senggigi, Lombok, yang saya datangi sesudah Sanur. Tak salah bila para penjelajah Barat menjuluki Papua “surga terakhir di muka bumi” (the last paradise on earth). Bagi orang Papua sendiri, tanah mereka adalah “surga kecil (yang) jatuh ke bumi”, sebagaimana baris kedua pada bait pertama lirik lagu rakyat setempat, Aku Papua.
Coba saja Anda buktikan sendiri dengan mengunjungi pantai-pantainya, yang lantaran kurang dikenal masih terjaga keperawanannya. Pak Habel merupakan anak nelayan kelahiran Tablanusu, yang kini dinobatkan sebagai kampung wisata. Tablanusu terletak di Distrik Depapre, yang pada masa Perang Dunia II menjadi lokasi pendaratan pasukan Sekutu di bawah pimpinan Jenderal MacArthur. Untuk menunjang lancarnya kedatangan wisatawan ke Tablanusu, Pak Habel memerintahkan pembangunan jalan beraspal ke kampung halamannya. Sebelum memasuki Tablanusu, ke hadapan Anda akan disajikan pemandangan memukau dari teluk berbentuk tapal kuda yang seakan memeluk air Samudra Pasifik, yang dapat Anda lihat dari atas bukit yang dilalui jalan beraspal itu. Dua pulau karang kecil menjadi noktah di permukaan laut berwarna pirus.
Saya pernah mendekati salah satu pulau tersebut tahun 2009 lalu, saat menjalankan tugas sebagai penerjemah “dadakan” Pak Bupati sewaktu menemani dua orang perempuan asal Jerman yang mempromosikan wisata Papua di Eropa. Pulau itu terdiri dari karang yang kakinya diselimuti terumbu yang menjadi incaran ikan-ikan. Di atasnya ditumbuhi bunga anggrek berwarna ungu. Begitu ajaib!
Ketika pertama kali ke Tablanusu, bahkan hingga kini, tak henti saya berucap puji syukur, lantaran saya merasa telah menggapai surga. Begitu memukau, begitu mendebarkan! Permukaan air yang pirus dihias buih-buih putih ombak yang bergulung menuju pantai dan pecah pada bibir pantai yang seluruhnya berbatu kerikil. Itu baru satu pantai. Lebih ke barat ada pantai-pantai terpencil yang pasirnya putih tak bernoda nan mulus. Semuanya menyandang kata “kisi” pada namanya, yang berarti “pasir”. Ada Sinokisi, Toikisi dan Bukisi. Selain pasir pantai, daya pikat pantai-pantai tersebut adalah nyiur melambainya yang buahnya menjadi sajian pertama bagi para wisatawan yang mengunjunginya.
Di Sinokisi hanya ada lima rumah nelayan, sedangkan Toikisi bahkan tidak berpenduduk sama sekali. Saya merasa saya satu-satunya penghuni surga saat menginjakkan kaki di pantai Toikisi, yang dapat dicapai dengan berperahu motor dari Tablanusu atau dermaga pelabuhan rakyat di Depapre. Sinokisi, Toikisi dan Bukisi sudah termasuk yurisdiksi Distrik Yokari. Dan sementara Anda berada dalam perahu motor, pemandangan ikan lumba-lumba yang riang melompat dari dalam air menjadi suguhan menawan.
Kampung Bukisi didiami puluhan rumah nelayan yang penduduknya, sama halnya dengan saya, merasa berada di surga. Segala sesuatu yang menjadi kebutuhan hidup penduduk tersedia dalam jangkauan yang dekat dan dalam jumlah yang melimpah-ruah. Sebuah sungai jernih mengalir dari Pegunungan Cyclops di punggung kampung dan bermuara ke laut. Pohon-pohon sagu mengapit sungai yang dinamai Maruway itu di kedua sisinya. Itulah makanan pokok orang Papua. Sebagai lauk, mereka dapat menangkap ikan yang berlimpah merenangi sungai tersebut.
Di sebelah timur Tablanusu ada pilihan pantai pula: Amai dan Harlem, serta lain-lainnya yang tidak bernama. Semua pantai ini memiliki ciri khas yang mirip: pasir putih, ombak besar, air laut pirus, dan, yang paling menarik perhatian, kejernihan air yang membuat Anda dapat melongok isi laut hingga kedalaman tiga meter di bawahnya, dengan terumbu karang yang masih asli dan terpelihara kelestariannya, membuat saya serasa ingin menyelaminya. Ikan-ikan beraneka warna dan bentuk melambaikan siripnya, mengundang saya untuk berenang bersama mereka. Tak salah jika orang Barat menjuluki lepas pantai Papua sebagai “ibukota ikan dunia”.
Bicara soal dunia hewan, Papua adalah kandangnya. Pegunungan Cyclops yang berdiri gagah dan megah sebagai latar belakang Danau Sentani kabarnya menyimpan 38.000 spesies hewan di kawasan yang kini dijadikan suaka margasatwa—yang untuk mengunjunginya diperlukan izin terlebih dahulu dari pemerintah daerah. Dari jumlah itu, masih banyak yang belum dikenal, dan diperkirakan masih ada ribuan lainnya yang belum ditemukan. Sejenis landak berparuh panjang ditemukan tim peneliti Barat pada tahun 1974, dan diberi nama Zaglossus attenboroughi atau long-beaked echidna (landak berparuh panjang), diambil dari nama naturis Inggris yang juga pembawa acara BBC tentang lingkungan, David Attenborough.
Burung cendrawasih, elang, kakatua, rusa, babi hutan dan buaya masih ada di Kabupaten Jayapura, walau untuk dapat melihat mereka hidup di habitat aslinya Anda harus menempuh perjalanan selama berjam-jam dengan perahu panjang bermotor menyusuri Daerah Aliran Sungai Nawa yang bermuara ke Sungai Mamberamo, yang dengan panjangnya yang mencapai 670 kilometer merupakan sungai terpanjang Papua. Distrik Airu dengan empat kampung yang dinaunginya (Aurina I, Pagai, Muara Nawa dan Hulu Atas) merupakan bagian dari wilayah pemerintahan yang dipimpin oleh Pak Habel.
Aurina I masih cukup aman dicapai dengan berperahu, karena keadaan air sungai yang tidak seganas wilayah menjelang muara Sungai Nawa yang bertemu dengan Mamberamo. Waktu ke Aurina I bersama rombongan Pak Bupati pada 7 Desember 2009, saya terpaksa duduk terpaku di perahu sempit, selebar badan saya, selama sembilan jam. Kepada saya diberitahu, berhubung musim hujan perjalanan ke Kampung Pagai, Muara Nawa dan Hulu Atas terpaksa dibatalkan. Perjalanan ke sana pasti akan dihadang medan sungai yang cocok bagi mereka yang menyukai arung jeram dengan perahu karet atau perahu kayu yang lebih besar dan kuat. Banyak batu karang di sepanjang perjalanan ke ketiga kampung tadi yang berisiko menjebol badan perahu. Pilihan lainnya adalah dengan menumpang pesawat kecil yang lepas landas dari Bandara Sentani dan mendarat di landasan-landasan yang tidak biasa, yang permukaannya berumput dan bersemak serta posisinya miring lantaran berada di bukit atau gundukan tanah yang menjadi tanggul alami bagi kampung-kampung yang berada di tepi Sungai Nawa-Mamberamo, yang permukaan airnya tak jarang mencapai ketinggian lebih tinggi dari atap rumah penduduk.
Bagi pecinta ekowisata atau lintas alam yang menantang, kawasan Nawa-Mamberamo hingga Pegunungan Foja (yang telah menjadi bagian dari Kabupaten Mamberamo Raya) merupakan lahan bermain yang mengasyikkan. Menyadari potensi wisata yang bisa dikembangkan dari wilayah ini, Pak Habel pun menetapkan Kampung Aurina I, yang saat saya ke sana belum dialiri listrik dan air bersih, sebagai kampung wisata. Di kampung ini, babi hutan, kasuari dan rusa berkeliaran dengan bebasnya. Langitnya pun diterbangi elang dan kakatua jambul kuning yang di Jakarta hanya bisa saya temui di Kebun Binatang Ragunan atau terantai di halaman rumah orang-orang kaya.
Anda dianjurkan tidak mandi di sungai, karena selain berlumpur (dapat mengakibatkan Anda tersangkut dan terisap) juga lantaran buaya-buaya tak segan mencaplok kaki Anda. Namun sungai Nawa yang mengalir di muka Aurina I berlimpah dengan ikan air tawar. Coba saja Anda melempar pancing ke dalam sungai. Dipastikan dalam hitungan detik Anda bisa mendapatkan ikan.
Bagi pecinta keheningan dan mereka yang berusaha melepas kemelekatan dengan kebendaan, seperti saya, Kampung Aurina I merupakan tempat yang pas. Di sini, telepon seluler saya tidak berfungsi karena tidak mendapat sinyal. Televisi dan radio serta internet pun tidak ada gunanya. Di samping itu, penduduknya hidup dalam damai dan tenteram dengan keberlimpahan sumber pangan yang terdapat di sekitar kampung. Saya benar-benar bebas dari kemelekatan! Apalagi mata saya setiap hari mendapat suguhan memikat dari pepohonan, semak dan rerumputan serba hijau yang menjadi surga bagi hewan-hewan liar.
Dipandu seorang bintara pembina desa bersenjata senapan serbu, saya dan mitra saya masuk ke hutan. Kabarnya, masih ada anggota OPM yang berkeliaran di kawasan itu, tetapi kata si Babinsa mereka tidak seperti yang diberitakan di luar Papua—tidak memperlihatkan sikap permusuhan. Bahkan penampilan mereka tak ubahnya penduduk kampung biasa.
Di hutan, saya menjumpai beragam tanaman dan buah-buahan yang masih asing, yang dengan berpegang pada penjelasan si Babinsa saya santap tanpa khawatir keracunan. Buah merah mengintip di antara pekatnya pepohonan. Buah yang didaulat orang Jakarta sebagai obat itu merupakan hidangan sehari-hari bagi penduduk setempat, dijadikan kuah untuk menyantap daging babi hutan atau rusa panggang. Besar buah berbentuk lonjong itu ada yang melampaui panjang badan saya dari perut ke ujung kaki. Tinggi badan saya 185 sentimeter; bayangkan saja sendiri panjang buah merah tersebut.
Saya
berharap lingkungan alam, budaya dan sejarah Papua tetap terjaga kelestariannya
hingga datang giliran langit yang jatuh ke bumi. Kalau kelestarian yang
diharapkan, tidak apa-apalah; biarlah Papua tetap terasing di negeri sendiri.©2010
Hotel Sentani Indah, Jl. Raya
Hawai, Sentani 99352, Kabupaten Jayapura, Papua, 15 Juni 2010.