Hingga kini, saya sudah empat kali ke Papua. Setiap kali ke daerah di ujung timur Kepulauan Indonesia itu, di antara cerita-cerita tentang keindahan alamnya, wisata budaya dan sejarahnya yang saya dengar dari tuturan orang-orang setempat terselip kisah yang rada kurang merdu, yaitu adanya upaya berkelanjutan untuk memerdekakan Papua; berdiri sendiri, terpisah dari negara kesatuan Republik Indonesia.
Namun, cita-cita tersebut tidak begitu populer di kalangan awam. Mereka melihat pada kondisi Timor Leste yang bergitu bercerai dari Indonesia menghadapi tantangan kesejahteraan ekonomi yang amat berat. Infrastruktur dan fasilitas publik yang tadinya ditunjang RI otomatis ‘dipulangkan’ kepada yang empunya. Merdeka bagi rakyat Timor Leste pada awalnya berarti menjadi miskin, karena harus mulai dari nol lagi, lepas dari campur-tangan kekuasaan asing.
Tampaknya telah menjadi hukum alam bahwa kemerdekaan harus dibayar dengan ‘pengurangan’ (deprivation) segala sesuatu, utamanya materi, dari diri kita, yang sebelumnya terpenuhi berkat keberadaan pihak lain. Ketika saya memutuskan untuk sepenuhnya memerdekakan diri dari status ‘orang gajian’, yang bergantung pada kemurahan majikan, keadaan ekonomi saya tergolong sulit. Kekayaan saya hanya ide-ide kreatif, pengalaman panjang yang menunjang profesi saya selaku penulis materi komunikasi pemasaran dan korporat, jejaring, serta keyakinan bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja.
Menjadi merdeka bukan persoalan mudah, karena seringkali menyangkut ketersediaan materi. Bagi sebagian orang bahkan merambat ke masalah harga diri lantaran status sebagai ‘orang merdeka’, apalagi bagi mereka yang terbiasa menyandang jabatan, bukanlah keadaan indah, nyaman dan tentram. Kemerdekaan baru sempurna jika kita juga mampu memerdekakan jiwa kita yang telanjur terborgol kebendaan.
Negeri ini sudah merdeka sejak diproklamasikan enam puluh lima tahun yang lalu, tetapi saya yakin masih banyak di antara kita yang terjajah jiwanya, bukan saja oleh materialisme, tetapi juga oleh amarah yang tak terkendali, kecemburuan, kecurigaan, egoisme, dan sikap-sikap negatif lainnya. Visi kesejahteraan lahir-batin akan sulit terwujud jika kita tidak memiliki jiwa yang merdeka.
Jiwa kita sejatinya merdeka. Dari ‘sananya’ ia tidak dilekati keduniaan. Dunia yang justru memasungnya sehingga tidak berkembang, malah stagnan. Untuk memerdekakannya (kembali) dibutuhkan upaya yang tidak mudah, tidak pula singkat. Tetapi jiwa yang merdeka tidaklah miskin, dari awal sampai akhir, tidak seperti kehidupan lahiriah kita yang selalu miskin pada mulanya lalu kaya kemudian, atau mungkin juga miskin selamanya. Ia kaya-raya, melampaui keadaan ekonomi orang-orang kaya yang dengan jiwanya yang terjajah materialisme sejatinya sangat miskin.
Saya pernah sangat iri pada teman saya yang amat kaya materi. Apa saja, saya kira, sebenarnya bisa ia beli dengan mudah, semudah membalikkan tangan. Rupanya perkiraan saya meleset, dan saya mengetahuinya waktu teman saya itu berkeluh-kesah pada teman lainnya, yang kami tuakan, di depan saya tentang betapa irinya ia pada diri saya. Teman saya satunya lagi tentu saja heran, dan bertanya, “Kok iso wong sugih (kok bisa orang kaya) iri pada wong kere (orang miskin)?”
Dengan mimik serius, teman saya yang kaya itu menandaskan, “Benar, Pak. Saya tuh iri sama Mas Anto. Dia punya banyak waktu dan peluang untuk jalan-jalan ke mana-mana. Saya ini, Pak, sudah empat tahun tidak liburan bersama keluarga. Bagaimana saya bisa liburan, wong saya selalu dituntut untuk terus menghimpun kekayaan!” Yang menuntutnya demikian bukan orang lain, melainkan dirinya sendiri.
Dari pengalaman remeh itu, saya memetik pelajaran tentang betapa tersiksanya jiwa-jiwa yang melekat keras pada materialisme (baca: segala sesuatu yang bukan sejatinya jiwa). Memerdekakan diri dari kemelekatan dengan dunia, sementara kita masih hidup di dunia, adalah gagasan yang sulit diterima oleh kebanyakan orang. Muncullah asumsi-asumsi yang mendasari amalan-amalan tertentu yang mensyaratkan pemiskinan diri, pengasingan diri dari pergaulan sosial, pengekangan (self-denial) lewat laku prihatin yang ketat, dan lain-lain.
Semua itu sebenarnya tidak perlu. Yang kita perlukan adalah kesadaran berlandaskan pengetahuan bahwa yang kita bawa mati adalah sang jiwa yang merdeka. Dalam Buddhisme, itulah yang dicita-citakan: pembebasan (dari kemelekatan). Jika kita menyelami sifat hakiki dari benda-benda di sekitar maupun yang ada pada diri kita, kita akan menemukan bahwa mereka hanyalah benda, yang sampai kapan pun tidak dapat memberi kita kepuasan.
Saya memperoleh kepahaman ini bukan dari laku semadi yang mendalam atau praktik spiritual yang begini-begitu, melainkan dari dunia komunikasi pemasaran yang lima belas tahun terakhir saya geluti. Tanpa merek dan upaya komunikasi, produk tinggallah produk, bukan sesuatu yang patut diidamkan secara berlebihan, dipuja atau menjadi sumber pertentangan, baik dengan orang lain maupun dengan diri sendiri. Tanpa merek tidak akan ada orang yang merasa dirinya lebih kaya, terhormat, atau bergengsi daripada sesamanya. Dan yang namanya merek, seperti dikatakan pakar permerekan (branding) legendaris dunia, Walter Landor, dibuat dalam pikiran kita, sedangkan produk dibuat di pabrik.
Jadi, pikiran itu yang harus kita kendalikan, lantaran pikiranlah penyebab timbulnya kemelekatan. Pikiranlah yang selalu mengatakan kita miskin atau kaya, berduka atau bersuka. Sekalinya kita memperoleh apa yang kita idamkan, ia akan membisiki kita bahwa itu belum cukup. Berdamailah dengan pikiran Anda sendiri, lalu kendalikan ia. Kikis semua yang tidak relevan dengan kesejatian jiwa kita. Sejatinya, jiwa bersifat merdeka. Merdeka tapi kaya.©
Kamar 117, Hotel Sentani Indah, Jl. Raya Hawai, Sentani 99352, Kabupaten Jayapura, Papua, 17 Juni 2010.