Tuesday, June 29, 2010

Merdeka Tapi Kaya

Hingga kini, saya sudah empat kali ke Papua. Setiap kali ke daerah di ujung timur Kepulauan Indonesia itu, di antara cerita-cerita tentang keindahan alamnya, wisata budaya dan sejarahnya yang saya dengar dari tuturan orang-orang setempat terselip kisah yang rada kurang merdu, yaitu adanya upaya berkelanjutan untuk memerdekakan Papua; berdiri sendiri, terpisah dari negara kesatuan Republik Indonesia.

Namun, cita-cita tersebut tidak begitu populer di kalangan awam. Mereka melihat pada kondisi Timor Leste yang bergitu bercerai dari Indonesia menghadapi tantangan kesejahteraan ekonomi yang amat berat. Infrastruktur dan fasilitas publik yang tadinya ditunjang RI otomatis ‘dipulangkan’ kepada yang empunya. Merdeka bagi rakyat Timor Leste pada awalnya berarti menjadi miskin, karena harus mulai dari nol lagi, lepas dari campur-tangan kekuasaan asing.

Tampaknya telah menjadi hukum alam bahwa kemerdekaan harus dibayar dengan ‘pengurangan’ (deprivation) segala sesuatu, utamanya materi, dari diri kita, yang sebelumnya terpenuhi berkat keberadaan pihak lain. Ketika saya memutuskan untuk sepenuhnya memerdekakan diri dari status ‘orang gajian’, yang bergantung pada kemurahan majikan, keadaan ekonomi saya tergolong sulit. Kekayaan saya hanya ide-ide kreatif, pengalaman panjang yang menunjang profesi saya selaku penulis materi komunikasi pemasaran dan korporat, jejaring, serta keyakinan bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja.

Menjadi merdeka bukan persoalan mudah, karena seringkali menyangkut ketersediaan materi. Bagi sebagian orang bahkan merambat ke masalah harga diri lantaran status sebagai ‘orang merdeka’, apalagi bagi mereka yang terbiasa menyandang jabatan, bukanlah keadaan indah, nyaman dan tentram. Kemerdekaan baru sempurna jika kita juga mampu memerdekakan jiwa kita yang telanjur terborgol kebendaan.

Negeri ini sudah merdeka sejak diproklamasikan enam puluh lima tahun yang lalu, tetapi saya yakin masih banyak di antara kita yang terjajah jiwanya, bukan saja oleh materialisme, tetapi juga oleh amarah yang tak terkendali, kecemburuan, kecurigaan, egoisme, dan sikap-sikap negatif lainnya. Visi kesejahteraan lahir-batin akan sulit terwujud jika kita tidak memiliki jiwa yang merdeka.

Jiwa kita sejatinya merdeka. Dari ‘sananya’ ia tidak dilekati keduniaan. Dunia yang justru memasungnya sehingga tidak berkembang, malah stagnan. Untuk memerdekakannya (kembali) dibutuhkan upaya yang tidak mudah, tidak pula singkat. Tetapi jiwa yang merdeka tidaklah miskin, dari awal sampai akhir, tidak seperti kehidupan lahiriah kita yang selalu miskin pada mulanya lalu kaya kemudian, atau mungkin juga miskin selamanya. Ia kaya-raya, melampaui keadaan ekonomi orang-orang kaya yang dengan jiwanya yang terjajah materialisme sejatinya sangat miskin.

Saya pernah sangat iri pada teman saya yang amat kaya materi. Apa saja, saya kira, sebenarnya bisa ia beli dengan mudah, semudah membalikkan tangan. Rupanya perkiraan saya meleset, dan saya mengetahuinya waktu teman saya itu berkeluh-kesah pada teman lainnya, yang kami tuakan, di depan saya tentang betapa irinya ia pada diri saya. Teman saya satunya lagi tentu saja heran, dan bertanya, “Kok iso wong sugih (kok bisa orang kaya) iri pada wong kere (orang miskin)?”

Dengan mimik serius, teman saya yang kaya itu menandaskan, “Benar, Pak. Saya tuh iri sama Mas Anto. Dia punya banyak waktu dan peluang untuk jalan-jalan ke mana-mana. Saya ini, Pak, sudah empat tahun tidak liburan bersama keluarga. Bagaimana saya bisa liburan, wong saya selalu dituntut untuk terus menghimpun kekayaan!” Yang menuntutnya demikian bukan orang lain, melainkan dirinya sendiri.

Dari pengalaman remeh itu, saya memetik pelajaran tentang betapa tersiksanya jiwa-jiwa yang melekat keras pada materialisme (baca: segala sesuatu yang bukan sejatinya jiwa). Memerdekakan diri dari kemelekatan dengan dunia, sementara kita masih hidup di dunia, adalah gagasan yang sulit diterima oleh kebanyakan orang. Muncullah asumsi-asumsi yang mendasari amalan-amalan tertentu yang mensyaratkan pemiskinan diri, pengasingan diri dari pergaulan sosial, pengekangan (self-denial) lewat laku prihatin yang ketat, dan lain-lain.

Semua itu sebenarnya tidak perlu. Yang kita perlukan adalah kesadaran berlandaskan pengetahuan bahwa yang kita bawa mati adalah sang jiwa yang merdeka. Dalam Buddhisme, itulah yang dicita-citakan: pembebasan (dari kemelekatan). Jika kita menyelami sifat hakiki dari benda-benda di sekitar maupun yang ada pada diri kita, kita akan menemukan bahwa mereka hanyalah benda, yang sampai kapan pun tidak dapat memberi kita kepuasan.

Saya memperoleh kepahaman ini bukan dari laku semadi yang mendalam atau praktik spiritual yang begini-begitu, melainkan dari dunia komunikasi pemasaran yang lima belas tahun terakhir saya geluti. Tanpa merek dan upaya komunikasi, produk tinggallah produk, bukan sesuatu yang patut diidamkan secara berlebihan, dipuja atau menjadi sumber pertentangan, baik dengan orang lain maupun dengan diri sendiri. Tanpa merek tidak akan ada orang yang merasa dirinya lebih kaya, terhormat, atau bergengsi daripada sesamanya. Dan yang namanya merek, seperti dikatakan pakar permerekan (branding) legendaris dunia, Walter Landor, dibuat dalam pikiran kita, sedangkan produk dibuat di pabrik.

Jadi, pikiran itu yang harus kita kendalikan, lantaran pikiranlah penyebab timbulnya kemelekatan. Pikiranlah yang selalu mengatakan kita miskin atau kaya, berduka atau bersuka. Sekalinya kita memperoleh apa yang kita idamkan, ia akan membisiki kita bahwa itu belum cukup. Berdamailah dengan pikiran Anda sendiri, lalu kendalikan ia. Kikis semua yang tidak relevan dengan kesejatian jiwa kita. Sejatinya, jiwa bersifat merdeka. Merdeka tapi kaya.©


Kamar 117, Hotel Sentani Indah, Jl. Raya Hawai, Sentani 99352, Kabupaten Jayapura, Papua, 17 Juni 2010.

Posisi Pangkal Prestasi (?)

Semasa masih sekolah, utamanya sejak di bangku sekolah menengah pertama hingga perguruan tinggi, sebagaimana sejumlah teman-teman saya, saya suka nyontek saat menghadapi ulangan atau ujian. Terutama pada mata-mata pelajaran/kuliah yang tergolong sulit. Berbagai macam cara saya tempuh, mulai dari membuat catatan-catatan di kertas kecil, dengan tulisan diperkecil hingga ukuran yang kalau sekarang, di mana saya sudah mengenakan kacamata minus dua, sudah sulit terbaca; sampai duduk di sebelah teman yang dianggap jago dalam pelajaran tertentu. (Hanya dalam pelajaran Bahasa Inggris saya tidak mencontek, malah sebaliknya menjadi sumber contekan.)

Apa pun caranya, yang menentukan keberhasilan misi pencontekan adalah posisi duduk. “Posisi pangkal prestasi,” demikian bunyi motto pembangkit semangat para pencontek; posisi diatur sedemikian rupa agar aksi pencontekan dapat berlangsung tanpa terlihat oleh guru atau pengawas ujian.

Pada kebanyakan umat beragama, dan bahkan para pejalan spiritual (yang selalu mengklaim telah menemukan kebenaran hakiki) tampaknya berlaku motto para pencontek tersebut. Hanya saja, mereka tampaknya tidak menyadari bahwa Sang Pengawas dapat melihat, mendengar, dan mencium ketidakberesan hidup mereka, menembus batas-batas tempat dan masa, walau disembunyikan di relung-relung batin sekalipun.

Tanggal 13 Juni 2010 lalu, saya ikut rombongan Duta Besar (Dubes) Vatikan untuk Indonesia, Mgr. (Monsignor) Leopoldo Girelli, yang sedang melakukan lawatan pastoral (pastoral trip) ke gereja-gereja dan kalangan umat Katolik di Kabupaten Jayapura, Papua. Rombongan dimaksud terdiri dari delapan belas pastor dan tiga suster, sang Dubes sendiri, Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM (Uskup Jayapura), saya dan mitra saya yang fotografer. Kami berdua ditugasi oleh Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, untuk meliput perjalanan sang Dubes yang kelak akan dijadikan buklet.

Kami mengunjungi Pantai Amai, Distrik Depapre, Kabupaten Jayapura. Pantai itu terkenal lantaran keindahan alamnya, ketenangannya, dan posisinya yang memungkinkan para wisatawan dapat menyaksikan matahari terbenam dengan sempurna. Saat tiba di Pantai Amai, setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih setengah jam menumpang perahu motor cepat dari dermaga pelabuhan rakyat di Depapre, kami menjumpai sejumlah wisatawan, domestik maupun mancanegara, sedang berenang, berjalan menyusuri bibir pantai, atau sekadar duduk-duduk di bawah homai (pondok beratap daun tanpa dinding).

Namun cuaca sedang tidak mendukung; awan mendung tiba-tiba bergulung ke arah pantai. Karena itu, Pak Dubes hanya duduk di bawah homai ditemani Uskup Jayapura dan para suster yang sibuk menghidangkan makanan dan kudapan, juga saya yang sengaja mendekat pada beliau untuk mewawancarai beliau.

Senyum senantiasa mengembang di wajah sang Dubes yang hari itu melepas ‘pakaian dinas’ kepastorannya. Saya perhatikan, bahwa sesekali beliau menundukkan kepala, berucap sesuatu secara pelan dan hening, lalu mencium salib yang tergantung pada kalung rantai yang melingkari lehernya. Begitu khidmat. Bagaimanapun, beliau tetap dapat membaur dengan suasana sekitar, di mana para pastor dan suster bergurau di antara mereka dalam suasana yang meriah. Sikap beliau mengingatkan saya pada amalan Tarekat Sufi Naqshbandiyyah yang disebut khalwat dar anjuman (menyepi dalam keramaian).

Beberapa saat kemudian, beliau beranjak ke homai di sebelah yang sebelumnya beliau berada. Di homai satunya lagi, beliau membuka-buka Alkitab, sesekali memandang ke laut, lalu berdoa, dan menggerakkan tangan dari kening ke dada kanan dan kiri. Saat itulah, saya mencuri dengar dua orang pastor dan satu suster membahas keheranan mereka atas kebisaan sang Dubes untuk berdoa demikian khidmatnya di mana saja, tak peduli tempat. Si suster kemudian berujar, “Seharusnya kan kita memang bisa berdoa di mana saja.”

Saya kaget mendengar perkataan suster itu maupun kebingungan mereka, lantaran selama ini, paling tidak, saya sendiri semadi di mana saja, karena demikian yang diajarkan Sang Buddha. Bukankah para utusan Tuhan lainnya juga demikian: Berdoa di mana saja, seiring menjalani hidup – tidak harus berhenti sejenak, mencari tempat tertentu, untuk berkhidmat kepada Sang Kuasa? Berspiritualitas juga begitu; dapat dilakukan di mana saja, tanpa batas waktu, tempat, wadah (organisasi) dan bahasa.

Kenyataannya, masih ada pejalan spiritual yang memerlukan waktu, tempat, wadah dan bahasa khusus untuk bisa berkhidmat kepada yang mereka yakini sebagai Tuhan. Di Subud saja, misalnya, masih cukup banyak anggotanya yang merasa perlu datang ke Hall (ruang besar dan cukup luas tempat Latihan Kejiwaan Subud dilakukan secara sendiri atau beramai-ramai) pada hari-hari yang telah dijadwalkan. Akibatnya, banyak dari orang-orang ini tidak merasakan manfaat yang berarti dari Latihan Kejiwaan dalam kehidupan mereka sehari-hari (di luar batas-batas tembok Hall).

Spiritualitas adalah ranah ‘tiada’ yang untuk ‘mengada’ harus dimanifestasi lewat perkataan dan perbuatan. Sejauh yang saya tahu, semua ajaran agama memanifestasi kekuasaan di balik kehidupan kita lewat berbagai praktik kehidupan yang melibatkan kesadaran tertinggi akan kehadiran Sang Kuasa. Jika kita mampu menerapkan hal itu, itulah momen di mana kita ‘mendatangkan’ Terang, yang sejatinya ada di mana saja, dan bisa dijangkau kapan pun kita mau. Kenyataan ini sesungguhnya membatalkan hukum bahwa dalam praktik keberagamaan dan spiritualitas posisi adalah pangkal prestasi.©


Kamar 117, Hotel Sentani Indah, Jl. Raya Hawai, Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, 14 Juni 2010, pukul 21.59 WIT

Thursday, June 24, 2010

DÉJÀ VU

Untuk Cc. yang pencariannya akan Terang mengilhami permenungan ini…


Namo Buddhaya…


Kembali aku ke sini, serupa aku yang belum pernah ada sebelumnya

laksana terlahir kembali sebagai tiada

Jadi manusia baru dengan jiwa lama yang tak punya rupa

Yang mendambakan cinta yang mengembara

dari hati yang bisu ke kata yang bersuara

Tak harap ini samsara, walau sesungguhnya hidup adalah dukkha


Dimuliakan atas namamu, Siddhartha

Yang padamu aku merangkul suaka

Tak ingin aku hidup dengan air mata

yang mengalir dari kisah derita pun dari bahagia


Ayo Cinta, kau ikut aku ke masa yang belum tiba saatnya,

di mana kau dan aku tak lagi berkata “kau dan aku”,

tapi aku – semata aku yang tunggal berjumbuh di luar waktu

Tak ada punya, tak ada kuasa,

tak melekat, tak ingin mendapat

Tiada menjadi, tiada memberi

Dan rindu tersimpan hening tanpa kata,

namun menyeruak dalam pembuluh rasa


Kau telah menduka demi sang ada

yang senyumnya menyembuhkan luka

Melarung jiwa-jiwa yang semburat

ke dalam setapak jalan hidup penuh nikmat

yang hak atas diri mereka,

walau duka menatap tanpa muka


Tinggallah kita di situ, memadu asmara

yang pernah tercipta dengan sang ada

Ikutlah denganku ke masa di depan itu

Terlahir kembali sebagai diriku dan dirimu yang menyatu

tanpa jatidiri yang berlaku…©


Sentani, Papua, 15 Juni 2010


Tuesday, June 15, 2010

Terasing di Negeri Sendiri

“Tanah Papua, tanah yang kaya

Surga kecil jatuh ke bumi

Seluas tanah sebanyak batu

Adalah harta harapan”

~Lirik lagu Aku Papua, baris pertama

 

TEPAT seminggu sebelum tanggal 12 Juni 2010 saya dihadapkan pada pilihan yang sulit. Betapa tidak, saya sudah telanjur memastikan bahwa pada tanggal itu saya akan berangkat ke “kampung halaman kedua” saya, Purwokerto, Jawa Tengah, untuk memenuhi undangan ngunduh mantu dari saudara Subud saya di sana. Tetapi, apa daya, “kampung halaman keempat” saya memanggil.                                         

Purwokerto adalah tempat kelahiran ayah saya. Saya suka ke sana, baik untuk acara Subud maupun yang menyangkut keluarga besar ayah saya. Pemandangannya juga indah, di kaki Gunung Slamet dan lembah Sungai Serayu yang bersawah. Namun, kampung halaman keempat saya sungguh menggoda. Ia adalah mutiara hitam yang menawarkan kerinduan sedemikian rupa pada diri saya untuk tak lagi menengok yang lain-lain. Ia laksana gadis cantik yang menggoda, dengan untaian rambut keriting dan kulit hitam. Ia bernama Papua.

Tanggal 12 Juni 2010, ketika kaki saya kembali menginjak tanah Papua, itu merupakan yang keempat kalinya. Yang pertama adalah pada bulan Mei 2009, di mana saya dan mitra saya yang seorang fotografer diundang Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae, untuk melakukan penelitian guna penulisan buku meja kopi (coffee-table book) tentang Sentani. Yang kedua pada bulan Juni 2009, ketika kami kembali untuk membawa buku tersebut, Doors to the Unknown: The Story of Sentani in the Jayapura Regency of Papua, kepada Pak Habel, yang pada gilirannya mempersembahkannya sebagai cinderamata kepada para tetamu penting yang hadir di acara Festival Danau Sentani ke-2, 19-23 Juni 2009.

Yang ketiga, lagi-lagi kami diberi tugas oleh bupati kebanggaan masyarakat Kabupaten Jayapura, yang kabarnya akan maju sebagai calon gubernur provinsi Papua pada tahun 2011 mendatang. Tanggal 5 Desember 2009, saya dan mitra saya berangkat ke Papua untuk meliput perjalanan Pak Habel mengunjungi distrik paling terasing di wilayah pemerintahannya, yaitu Distrik Airu, yang berada di kawasan hutan hujan dan sungai Mamberamo.

 

Saya di perahu bermotor yang mengarungi Danau Sentani di Kabupaten Jayapura, Papua, pada 12 Juni 2020.

Bicara soal keterasingan, banyak distrik maupun kampung-kampung yang dinaunginya berada di daerah-daerah yang jauh dari jangkauan peradaban. Tidak dapat dipersalahkan pemerintahnya, lantaran penduduknya sendiri merengkuh kehidupan nomadik, di mana mereka kerap berpindah tempat untuk mencari sumber pangan lainnya.

Tetapi, Papua sendiri terasing. Ironisnya, pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland itu terasing di negeri sendiri, Indonesia. Ibukota provinsi Papua, Jayapura, nyaris dekat dengan negeri tetangga, Papua Nugini. Pemerintah kolonial Hindia Belanda, karena itu, dianggap telah memilih tempat yang eksentrik sebagai ibukota daerah jajahannya, yang waktu itu masih bernama Hollandia, karena terlalu dekat dengan Papua Nugini yang sebelah baratnya (berbatasan langsung dengan provinsi Papua kini) dijajah Jerman.

Papua disebut terasing di negeri sendiri, lantaran tidak banyak orang Indonesia di daerah-daerah lainnya di Nusantara yang mengenalnya atau bahkan pernah mengunjunginya. Lantaran tidak mengenalnya, berbagai asumsi dan kecurigaan pun berkembang pada diri mereka. Papua dianggap tidak ramah, oleh sebab berita-berita yang meliputinya sebagian besar bersifat negatif, dengan perang suku, disintegrasi yang ditimbulkan oleh Organisasi Papua Merdeka (yang sesungguhnya hanya kelompok kecil tidak signifikan yang tidak puas karena kejayaan mereka pada masa kolonial Hindia-Belanda harus berakhir pada masa wilayah ini masuk ke dalam kedaulatan Republik Indonesia), keliaran tampilan fisik penduduknya dan sifat budayanya yang “berbeda dari yang ada di daerah-daerah lain di Indonesia.

Orang Indonesia lebih mengenal Bali dan bangga bila pernah ke sana. Kini, menyusul Lombok sebagai pilihan wisatawan domestik dan mancanegara yang kesengsem keindahan alam tanah tokek itu. Bahkan dalam urusan pariwisata, Papua tidak dilirik. Saya pernah ke Bali maupun Lombok, tetapi Papua adalah pilihan pertama saya untuk berwisata. Saya yang sejak lahir hingga dewasa tinggal di Jawa, melewati masa kecil di Negeri Belanda, pernah sekali merambah hutan di Kalimantan Tengah dan sekali di Kalimantan Timur, bolehlah berkata, “Papua memang tidak ada duanya!”

Festival Danau Sentani ke-3 digelar pada 19-23 Juni 2010, tetapi saya dan mitra saya sudah lepas landas dari Bandar Udara (Bandara) Soekarno-Hatta Jakarta, menumpang Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 654, pada 11 Juni, pukul 22.40 WIB. Kami telah diminta Pak Habel untuk datang lebih awal, lantaran wilayah yang beliau pimpin kedatangan tamu istimewa: Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Mgr. Leopoldo Girelli. Ini kunjungan sang Dubes yang kedua kalinya ke Kabupaten Jayapura, sekaligus yang kesepuluh ke Papua, sejak ia ditugaskan di Indonesia.

Kami diminta untuk meliput kunjungan sang Dubes untuk kemudian dibuatkan buklet sebagai laporan Pak Habel kepada rakyat Indonesia, bahwa semasa pemerintahannya sebagai bupati dari daerah yang pernah (sebelum dimekarkan menjadi tiga kabupaten) menjadi kabupaten terluas di Indonesia, seorang pejabat penting negara tinggal di Sentani, ibukota Kabupaten Jayapura. Menurut keterangan Pak Habel sendiri di hadapan Dubes Girelli, wartawan dan tamu undangan yang berkumpul di Restoran Dapur Papua, di tepi Danau Sentani, pada 13 Juni 2010 menjelang malam, semua pejabat negara yang mendarat di Sentani tidak menginap di kota kecil yang hotelnya paling banter hanya berbintang tiga. Mereka biasanya langsung check-in di Swiss-Bel Hotel di Kota Jayapura.

Dada saya bergetar hebat tatkala pesawat yang saya tumpangi menyongsong ufuk timur saat pagi menjelang. Pesawat Garuda yang menjadi tumpangan saya adalah Boeing 737-800 terbaru yang mampu terbang selama lebih dari tiga jam tanpa mengisi bahan bakar sejak transit di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Karena itu, penerbangan ini, tidak seperti biasanya, tidak singgah di Bandara Timika untuk pengisian bahan bakar, melainkan langsung menuju Bandara Sentani di Jayapura. Dari jendela pesawat saya bisa menikmati pemandangan pesisir selatan Papua dengan permukaan lautnya yang pirus, berpadu mesra dengan hijaunya daratan.

Kerlipan-kerlipan laksana kedipan mata gadis menawan menyambut saya ketika pesawat mulai menurunkan ketinggian terbangnya. Kerlipan-kerlipan itu berasal dari sinar matahari yang jatuh ke permukaan air Danau Sentani. Awan-awan tebal menyingsing bagaikan layar panggung yang mementaskan keindahan alam yang tak pernah terlewat dari kenangan saya. Fenomena itu menandakan bahwa pesawat akan segera mendarat di Bandara Sentani.

Pesawat Garuda yang saya tumpangi meliuk, memutar di atas gugus pebukitan yang merupakan ciri khas pemandangan kawasan Danau Sentani. Pebukitan nan hijau berbentuk unik itu jumlahnya begitu banyak sehingga membuat sebagian besar orang percaya bahwa nama “Sentani” berasal dari bahasa Jepang, yang berarti “seribu bukit”. Bagaimanapun, saya telah berkonsultasi dengan kamus Kanji, yang menegaskan bahwa “sen” dan tani bukan berarti “seribu bukit”, melainkan “seribu sungai atau “seribu jurang”. Asal-usul nama “Sentani” telah saya deteksi, yaitu berasal dari bahasa Puyakha, bahasa asli suku-suku setempat, yang kurang lebih berarti “ciri yang khas (diperkirakan adalah Danau Sentani itu sendiri).

Gunung Dafonsoro tampak berdiri tegak dan gagah, mendekorasi latar belakang Bandara Sentani, ketika pesawat telah mendarat dan saya menuruni tangga ke apron bandara yang pada masa Perang Dunia II dibangun oleh pasukan Jepang dan direbut oleh pasukan Amerika ketika Jenderal MacArthur menyerbu Hollandia pada 24 April 1944, yang dikenal dengan sandi Operation Reckless, yang kemudian menjadi pegas bagi perwujudan janjinya kepada rakyat Filipina yang ditinggalkannya pada Februari 1942 lantaran terdesak serangan pasukan Jepang: “I shall return!”

Gunung Dafonsoro adalah simbol kebanggaan bagi masyarakat kota Sentani. Kesebelasan kebanggaan Kabupaten Jayapura pun menyandang namanya—Persidafon (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia Dafonsoro). Sebagai bagian dari rantai pegunungan Cyclops yang menghampar di sekujur daratan utara Kabupaten Jayapura, salah satu puncak Dafonsoro pernah menjadi lokasi di mana Jenderal MacArthur bermarkas, memegang komando atas setengah juta tentara Amerika Serikat yang berkeliaran di Papua pada masa itu. Puncak itu kemudian disebut “Bukit Makatur dan di tengahnya berdiri Tugu MacArthur dengan sebuah museum kecil yang memamerkan peninggalan pertempuran hebat yang pernah meletus di Sentani.

Dari Bukit Makatur dapat kita lihat lembah Danau Sentani yang hijau dan kuningnya memikat mata, seolah terajut dengan jernihnya biru langit. Juga biru danau yang setiap tahun mengemuka di hadapan rakyat Indonesia maupun dunia lewat festival budayanya, Festival Danau Sentani. Setiap tahun, pada 19-23 Juni, sejak tahun 2008, lebih dari 1.500 penari dan artis tradisional dari 24 kampung di Sentani pentas di atas panggung yang dibangun di kawasan wisata Pantai Kalkhote, Kampung Harapan, Sentani Timur.

FDS tidak saja dinanti-nantikan wisatawan dunia, tetapi juga menjadi “harapan hidup masyarakat Sentani, lantaran sejak festival ini digelar pertama kalinya perekonomian mereka berkembang dan kesejahteraan yang baik menjadi milik semua orang yang tinggal di 24 kampung asli Sentani. Kampung-kampung tersebut bahkan menciptakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Betapa tidak, ke-24 kampung, walau ada yang berdekatan letaknya, memiliki budaya masing-masing yang khas. Kalau saja Bahasa Indonesia tidak pernah diajarkan di sini, mereka akan mengalami kesulitan untuk berkomunikasi satu sama lain. Mereka merupakan suku nomadik yang tidak mengenal tulisan; yang ada hanya bahasa lisan. Dan bahasa Puyakha, bahasa asli leluhur Sentani, kini nyaris punah kegunaannya.

 

Kerajinan kulit kayu pohon khombouw yang diperagakan di ajang Festival Danau Sentani ke-3, 19-23 Juni 2010. Kerajinan ini khas Pulau Asei, salah satu dari 24 pulau kecil berpenduduk di tengah Danau Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua.


Sentani bahkan tidak memiliki sejarah yang baku. Tradisi budayanya diwariskan lewat kisah-kisah legenda dan mitos, yang merupakan metode pewarisan riwayat pada suku-suku adat Papua. Sendratari yang mengisahkan asal-usul Danau Sentani menjadi salah satu pertunjukan yang dipentaskan dalam FDS ke-3 ini.

Bersama rombongan Dubes Vatikan, pejabat daerah dan wartawan, saya berkesempatan mencicipi tur dengan kapal cepat yang dioperasikan dinas perhubungan setempat, mengitari Danau Sentani dan singgah di salah satu pulau yang menjadi pijakan bagi Kampung Asei, kampung yang dahulunya menjadi titik penyebaran suku Sentani. Kampung Asei, selain dikenal oleh latar belakang historisnya tersebut, juga karena kampung itu menghasilkan kerajinan yang telah mendunia, yaitu lukisan di atas media kulit kayu. Kulit kayunya sendiri berasal dari pohon khombouw, yang batangnya sepintas menyerupai pohon pepaya, dan hanya terdapat di Kampung Asei. Kulit dipukul-pukul hingga ratanya sama dan menipis, lalu lukisan-lukisan bermotif Sentani—ikan dan sejenis kadal—digambar di atasnya, menggunakan cat yang terbuat dari bahan-bahan alami, seperti tanah, tumbuhan dan kerang.

Selain wisata budaya yang diwakili oleh FDS serta wisata sejarah lewat tur kenangan ke kawasan-kawasan yang menandai eksistensi manusia purba di Sentani, yaitu batu-batu megalitikum Tutari di Kampung Doyo Lama, dan peninggalan Perang Dunia II yang tersebar di seluruh penjuru Sentani hingga Genyem (kurang lebih 85 kilometer sebelah barat Sentani), Kabupaten Jayapura masih punya hidangan wisata lainnya, yang tak kalah memikatnya, yaitu wisata alamnya.

Terakhir kali saya ke Bali adalah ke Sanur, pada bulan April 2010. Saya berani menjamin, pemandangan Sanur jauh di bawah telapak kaki pemandangan alam Papua. Begitu pula Pantai Senggigi, Lombok, yang saya datangi sesudah Sanur. Tak salah bila para penjelajah Barat menjuluki Papua “surga terakhir di muka bumi” (the last paradise on earth). Bagi orang Papua sendiri, tanah mereka adalah “surga kecil (yang) jatuh ke bumi, sebagaimana baris kedua pada bait pertama lirik lagu rakyat setempat, Aku Papua.

Coba saja Anda buktikan sendiri dengan mengunjungi pantai-pantainya, yang lantaran kurang dikenal masih terjaga keperawanannya. Pak Habel merupakan anak nelayan kelahiran Tablanusu, yang kini dinobatkan sebagai kampung wisata. Tablanusu terletak di Distrik Depapre, yang pada masa Perang Dunia II menjadi lokasi pendaratan pasukan Sekutu di bawah pimpinan Jenderal MacArthur. Untuk menunjang lancarnya kedatangan wisatawan ke Tablanusu, Pak Habel memerintahkan pembangunan jalan beraspal ke kampung halamannya. Sebelum memasuki Tablanusu, ke hadapan Anda akan disajikan pemandangan memukau dari teluk berbentuk tapal kuda yang seakan memeluk air Samudra Pasifik, yang dapat Anda lihat dari atas bukit yang dilalui jalan beraspal itu. Dua pulau karang kecil menjadi noktah di permukaan laut berwarna pirus.

Saya pernah mendekati salah satu pulau tersebut tahun 2009 lalu, saat menjalankan tugas sebagai penerjemah “dadakan” Pak Bupati sewaktu menemani dua orang perempuan asal Jerman yang mempromosikan wisata Papua di Eropa. Pulau itu terdiri dari karang yang kakinya diselimuti terumbu yang menjadi incaran ikan-ikan. Di atasnya ditumbuhi bunga anggrek berwarna ungu. Begitu ajaib!

Ketika pertama kali ke Tablanusu, bahkan hingga kini, tak henti saya berucap puji syukur, lantaran saya merasa telah menggapai surga. Begitu memukau, begitu mendebarkan! Permukaan air yang pirus dihias buih-buih putih ombak yang bergulung menuju pantai dan pecah pada bibir pantai yang seluruhnya berbatu kerikil. Itu baru satu pantai. Lebih ke barat ada pantai-pantai terpencil yang pasirnya putih tak bernoda nan mulus. Semuanya menyandang kata “kisi pada namanya, yang berarti “pasir”. Ada Sinokisi, Toikisi dan Bukisi. Selain pasir pantai, daya pikat pantai-pantai tersebut adalah nyiur melambainya yang buahnya menjadi sajian pertama bagi para wisatawan yang mengunjunginya.

Di Sinokisi hanya ada lima rumah nelayan, sedangkan Toikisi bahkan tidak berpenduduk sama sekali. Saya merasa saya satu-satunya penghuni surga saat menginjakkan kaki di pantai Toikisi, yang dapat dicapai dengan berperahu motor dari Tablanusu atau dermaga pelabuhan rakyat di Depapre. Sinokisi, Toikisi dan Bukisi sudah termasuk yurisdiksi Distrik Yokari. Dan sementara Anda berada dalam perahu motor, pemandangan ikan lumba-lumba yang riang melompat dari dalam air menjadi suguhan menawan.

Kampung Bukisi didiami puluhan rumah nelayan yang penduduknya, sama halnya dengan saya, merasa berada di surga. Segala sesuatu yang menjadi kebutuhan hidup penduduk tersedia dalam jangkauan yang dekat dan dalam jumlah yang melimpah-ruah. Sebuah sungai jernih mengalir dari Pegunungan Cyclops di punggung kampung dan bermuara ke laut. Pohon-pohon sagu mengapit sungai yang dinamai Maruway itu di kedua sisinya. Itulah makanan pokok orang Papua. Sebagai lauk, mereka dapat menangkap ikan yang berlimpah merenangi sungai tersebut.

Di sebelah timur Tablanusu ada pilihan pantai pula: Amai dan Harlem, serta lain-lainnya yang tidak bernama. Semua pantai ini memiliki ciri khas yang mirip: pasir putih, ombak besar, air laut pirus, dan, yang paling menarik perhatian, kejernihan air yang membuat Anda dapat melongok isi laut hingga kedalaman tiga meter di bawahnya, dengan terumbu karang yang masih asli dan terpelihara kelestariannya, membuat saya serasa ingin menyelaminya. Ikan-ikan beraneka warna dan bentuk melambaikan siripnya, mengundang saya untuk berenang bersama mereka. Tak salah jika orang Barat menjuluki lepas pantai Papua sebagai ibukota ikan dunia”.

Bicara soal dunia hewan, Papua adalah kandangnya. Pegunungan Cyclops yang berdiri gagah dan megah sebagai latar belakang Danau Sentani kabarnya menyimpan 38.000 spesies hewan di kawasan yang kini dijadikan suaka margasatwa—yang untuk mengunjunginya diperlukan izin terlebih dahulu dari pemerintah daerah. Dari jumlah itu, masih banyak yang belum dikenal, dan diperkirakan masih ada ribuan lainnya yang belum ditemukan. Sejenis landak berparuh panjang ditemukan tim peneliti Barat pada tahun 1974, dan diberi nama Zaglossus attenboroughi atau long-beaked echidna (landak berparuh panjang), diambil dari nama naturis Inggris yang juga pembawa acara BBC tentang lingkungan, David Attenborough.

Burung cendrawasih, elang, kakatua, rusa, babi hutan dan buaya masih ada di Kabupaten Jayapura, walau untuk dapat melihat mereka hidup di habitat aslinya Anda harus menempuh perjalanan selama berjam-jam dengan perahu panjang bermotor menyusuri Daerah Aliran Sungai Nawa yang bermuara ke Sungai Mamberamo, yang dengan panjangnya yang mencapai 670 kilometer merupakan sungai terpanjang Papua. Distrik Airu dengan empat kampung yang dinaunginya (Aurina I, Pagai, Muara Nawa dan Hulu Atas) merupakan bagian dari wilayah pemerintahan yang dipimpin oleh Pak Habel.

Aurina I masih cukup aman dicapai dengan berperahu, karena keadaan air sungai yang tidak seganas wilayah menjelang muara Sungai Nawa yang bertemu dengan Mamberamo. Waktu ke Aurina I bersama rombongan Pak Bupati pada 7 Desember 2009, saya terpaksa duduk terpaku di perahu sempit, selebar badan saya, selama sembilan jam. Kepada saya diberitahu, berhubung musim hujan perjalanan ke Kampung Pagai, Muara Nawa dan Hulu Atas terpaksa dibatalkan. Perjalanan ke sana pasti akan dihadang medan sungai yang cocok bagi mereka yang menyukai arung jeram dengan perahu karet atau perahu kayu yang lebih besar dan kuat. Banyak batu karang di sepanjang perjalanan ke ketiga kampung tadi yang berisiko menjebol badan perahu. Pilihan lainnya adalah dengan menumpang pesawat kecil yang lepas landas dari Bandara Sentani dan mendarat di landasan-landasan yang tidak biasa, yang permukaannya berumput dan bersemak serta posisinya miring lantaran berada di bukit atau gundukan tanah yang menjadi tanggul alami bagi kampung-kampung yang berada di tepi Sungai Nawa-Mamberamo, yang permukaan airnya tak jarang mencapai ketinggian lebih tinggi dari atap rumah penduduk.

Bagi pecinta ekowisata atau lintas alam yang menantang, kawasan Nawa-Mamberamo hingga Pegunungan Foja (yang telah menjadi bagian dari Kabupaten Mamberamo Raya) merupakan lahan bermain yang mengasyikkan. Menyadari potensi wisata yang bisa dikembangkan dari wilayah ini, Pak Habel pun menetapkan Kampung Aurina I, yang saat saya ke sana belum dialiri listrik dan air bersih, sebagai kampung wisata. Di kampung ini, babi hutan, kasuari dan rusa berkeliaran dengan bebasnya. Langitnya pun diterbangi elang dan kakatua jambul kuning yang di Jakarta hanya bisa saya temui di Kebun Binatang Ragunan atau terantai di halaman rumah orang-orang kaya.

Anda dianjurkan tidak mandi di sungai, karena selain berlumpur (dapat mengakibatkan Anda tersangkut dan terisap) juga lantaran buaya-buaya tak segan mencaplok kaki Anda. Namun sungai Nawa yang mengalir di muka Aurina I berlimpah dengan ikan air tawar. Coba saja Anda melempar pancing ke dalam sungai. Dipastikan dalam hitungan detik Anda bisa mendapatkan ikan.

Bagi pecinta keheningan dan mereka yang berusaha melepas kemelekatan dengan kebendaan, seperti saya, Kampung Aurina I merupakan tempat yang pas. Di sini, telepon seluler saya tidak berfungsi karena tidak mendapat sinyal. Televisi dan radio serta internet pun tidak ada gunanya. Di samping itu, penduduknya hidup dalam damai dan tenteram dengan keberlimpahan sumber pangan yang terdapat di sekitar kampung. Saya benar-benar bebas dari kemelekatan! Apalagi mata saya setiap hari mendapat suguhan memikat dari pepohonan, semak dan rerumputan serba hijau yang menjadi surga bagi hewan-hewan liar.

Dipandu seorang bintara pembina desa bersenjata senapan serbu, saya dan mitra saya masuk ke hutan. Kabarnya, masih ada anggota OPM yang berkeliaran di kawasan itu, tetapi kata si Babinsa mereka tidak seperti yang diberitakan di luar Papua—tidak memperlihatkan sikap permusuhan. Bahkan penampilan mereka tak ubahnya penduduk kampung biasa.

Di hutan, saya menjumpai beragam tanaman dan buah-buahan yang masih asing, yang dengan berpegang pada penjelasan si Babinsa saya santap tanpa khawatir keracunan. Buah merah mengintip di antara pekatnya pepohonan. Buah yang didaulat orang Jakarta sebagai obat itu merupakan hidangan sehari-hari bagi penduduk setempat, dijadikan kuah untuk menyantap daging babi hutan atau rusa panggang. Besar buah berbentuk lonjong itu ada yang melampaui panjang badan saya dari perut ke ujung kaki. Tinggi badan saya 185 sentimeter; bayangkan saja sendiri panjang buah merah tersebut.

Saya berharap lingkungan alam, budaya dan sejarah Papua tetap terjaga kelestariannya hingga datang giliran langit yang jatuh ke bumi. Kalau kelestarian yang diharapkan, tidak apa-apalah; biarlah Papua tetap terasing di negeri sendiri.©2010


Hotel Sentani Indah, Jl. Raya Hawai, Sentani 99352, Kabupaten Jayapura, Papua, 15 Juni 2010.

Sunday, June 6, 2010

Tak Hirau dengan yang Bikin Risau

“Pikiran adalah pembantu yang baik, tetapi merupakan majikan yang sangat buruk.”
—Osho (Bhagwan Shree Rajneesh, 1931-1990


Bertahun-tahun yang lalu, ketika masih bekerja pada sebuah biro iklan di kota Surabaya, Jawa Timur, saya melewati pengalaman yang menyadarkan saya bahwa kerisauan berawal dari pikiran. Suatu ketika, saya hendak menunaikan salat di ruangan yang dipakai oleh bagian keuangan dari biro iklan tempat saya bekerja. Sajadah saya gelar tepat di depan lemari yang di atasnya terdapat radio yang suara gemerisiknya sangat mengganggu. Tetapi saya tidak tahu bagaimana memelankan suaranya atau mematikannya lantaran radio tersebut adalah tipe ‘acakadut’ – penuh tambal-sulam yang tidak jelas lagi fungsi tombol-tombolnya. Daripada waktu salatnya terlewat karena saya kelewat sibuk mencari cara bagaimana mematikannya, saya sudahi usaha melawan suara berisiknya dan mengerjakan salat hingga selesai.

Saat itu, saya sudah aktif berlatih kejiwaan Susila Budhi Dharma (Subud), dan karena itu familiar dengan yang namanya ‘menenangkan diri dan pikiran’. Dalam sembahyang Islam saja, menenangkan diri (tuma’ninah) menjadi prioritas, melampaui bacaan dan gerak. Saya pun menenangkan pikiran dan mulai mengerjakan salat. Di luar dugaan, salat saya khusyuk sekali, tak hirau suara radio yang bagi kebanyakan orang justru bikin risau itu. Bahkan pegawai bagian keuangan yang memasuki ruangan merasa heran, lantaran, seperti disaksikannya, saya salat dengan tenang meski radio bersuara nyaring berteriak lantang tepat di sebelah telinga kiri saya ketika saya berdiri tegak. Saya sama sekali tak terusik!

Belakangan, saya baca dalam bukunya Danai Chanchaochai, Dhamma Moments (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2006), bahwa para bhiksu Buddhis yang sudah sangat terlatihsamadhi-(meditasi)-nya bahkan dapat melakukannya di tepi jalan raya yang ramai dengan lalu-lalang kendaraan dan orang, tanpa terusik sama sekali. Dalam buku tersebut dikisahkan sang penulis yang terganggu dengan pekerjaan pembangunan gedung di sebelah tempatnya berlatih meditasi. Gurunya malah menyalahkan dirinya, yang tidak mampu mendamaikan pikirannya. “Alih-alih melawan keadaan sekeliling dirimu, lebih baik kamu berdamai dengan dirimu sendiri,” ujar gurunya.

Kebanyakan kita memang lebih suka menyalahkan orang lain atau lingkungan atas derita yang kita alami. Kita terlalu hirau dengan hal-hal yang bikin risau, sementara sumber kerisauan itu adalah pikiran kita sendiri. Saat kita biarkan pikiran berkuasa, memproduksi ketakutan, kemarahan dan penolakan, saat itu pula kebahagiaan yang merupakan ‘anatomi spiritual’ kita yang sejati berhenti mengada.

Dalam Buddhisme, sebagaimana dalam ajaran-ajaran agama serta praktik-praktik spiritual lainnya, musuh terbesar adalah diri sendiri. Dalam Islam diajarkan bahwa jihad (perjuangan) terbesar dan paling utama adalah jihad melawan diri sendiri. Buddhisme mengajarkan bahwa dalam menghadapi godaan-godaan yang merisaukan hati yang berasal dari segala sesuatu selain kita bukanlah dengan melawannya atau menentangnya, melainkan dengan – meminjam istilah Ajahn Brahmavamso dalam buku Hidup Senang, Mati Tenang (Jakarta: Ehipassiko Foundation, 2009) – mengenalinya (acknowledge), memaafkannya (forgive) serta melepasnya (let go). Dengan melakukan semua ini, kita berdamai dengan sumber (yang kita anggap) merisaukan tadi sekaligus berdamai dengan diri sendiri.

A-F-L dapat dilakukan dengan meditasi, yang bukan sekadar duduk dalam posisi teratai atau bersimpuh sambil memejamkan mata, melainkan sejatinya samadhi, yaitu menjalani hidup secara meditatif (sadar dan menyadari), hadir atau mengada sepenuhnya saat ini. Kita berada dalam sadar sepenuhnya apabila dapat meletakkan keseluruhan diri kita dalam apa pun yang kita lakukan. Hanya dengan begitu pikiran dapat didamaikan, tidak menggebyarkan khaos yang menyirnakan kebahagiaan kita.

Ketidakbahagiaan atau penderitaan yang kita alami dalam hidup ini sejatinya bertolak dari keadaan pikiran yang sulit berdamai. Dan kebanyakan kita juga tak mau melepas, sehingga alih-alih terbebaskan (yang menjadi tujuan Buddhisme), kita membiarkan diri melekat. Sang Buddha bahkan menyatakan bahwa kebahagiaan dapat pula menimbulkan kemelekatan, apabila kebahagiaan itu dicari, diburu, atau didamba. Kebahagiaan itu, kata Beliau, datang ketika kita tak lagi hirau dia bakal datang atau tidak. Tak hirau di sini bukan berarti tak peduli atau cuek. Hanya saja, kita tak perlu menantikannya dengan perasaan risau. Berusaha sajalah dengan sabar, menerima dan rendah hati. Inilah sejatinya kondisi pikiran nol (zero mind condition), yaitu pikiran yang tak hirau dengan yang bikin risau. Namaste


Penerimaan spiritual – Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 6 Juni 2010, pukul 2.15 dinihari.

“Lepas Bajumu, Kalau Berani…!”

“Sebagai manusia kita semua ingin bahagia dan bebas dari penderitaan… kita telah belajar bahwa kunci menuju kebahagiaan adalah kedamaian batin. Halangan terbesar atas kedamaian batin adalah emosi-emosi yang mengganggu seperti kemarahan, kemelekatan, ketakutan dan kecurigaan, sementara cinta dan welas asih dan suatu rasa tanggung jawab universal merupakan sumber dari kedamaian dan kebahagiaan.”
—Dalai Lama

“Lebih baik dibenci karena sejatinya dirimu, daripada dicintai karena sesuatu yang bukan dirimu.”
—Andre Zide


Ketika saya masih aktif berlatih sistem pertarungan khas Korea, Taekwondo, menjadi pemegang sabuk hitam adalah impian terbesar saya. Saat itu, tidak terbayang oleh saya betapa besar tanggung jawab yang akan harus saya pikul dengan sabuk hitam yang melingkar di pinggang saya. Yang terbayang justru kepercayaan diri besar yang bakal saya miliki bila saya mencapai derajat itu. Terbayang oleh saya murid-murid saya akan menghormati saya dan orang-orang akan segan serta takut pada saya.

Ketika akhirnya sabuk hitam itu berhasil saya raih, memang benar kepercayaan diri saya luar biasa melambung. Pikiran saya dipenuhi imajinasi, bahwa bila bertemu orang yang mengancam saya di jalan akan saya sikat dengan tendangan-tendangan maut a la Taekwondo serta mengayunkan nunchaku (double-stick, yang saat itu memang menjadi senjata andalan saya) ke kepala mereka.

Tahun 1996, saya mengajar Taekwondo kepada para karyawan di biro iklan tempat saya bekerja. Salah satu murid saya suatu kali menceritakan pengalamannya ditodong pisau oleh seorang preman di kawasan terminal Blok M, Jakarta Selatan. Ia menyatakan bahwa ia sama sekali tidak berkutik. “Kalau saya pakai dobok (pakaian latihan Taekwondo) pasti saya lawan dia,” kata murid saya itu. Di situ saya mulai merenungkan, benarkah pakaian atau atribut dapat menjamin kemenangan atau kejayaan saya di hadapan orang lain?

Kenyataannya, banyak orang memerlukan atribut untuk membuat diri mereka tampil jaya di muka umum. Mereka tidak bisa menjadi dirinya sendiri, dan selalu membutuhkan sesuatu yang membuat mereka merasa orang akan memandang dirinya, menghaturkan respek pada dirinya, lantaran sesuatu itu. Di kalangan remaja fenomena semacam ini biasa terjadi dan dianggap wajar. Namun, fenomena itu telah pula merambah kalangan orang dewasa. Orang tidak bisa menjadi dirinya sendiri dewasa ini dan ini memprihatinkan. Orang-orang rela berbuat apa saja asal dirinya dihormati, dihargai dan disegani.

Yang secara finansial terbatas rela berbuat apa saja, berutang sana-sini, agar dirinya bisa ‘eksis’ di mata teman-temannya atau peer group-nya. Di mata kita eksistensi dirinya seolah terwakilkan oleh atribut yang dikenakannya atau barang-barang yang dimilikinya, padahal aslinya ia tersiksa lahir-batin lantaran harus berkorban banyak untuk itu. Dan, alih-alih dihormati serta dihargai, keberadaan dirinya lama kelamaan dipandang negatif. Orang-orang semacam ini layak, sekali-kali, ditantang: “Lepas bajumu, kalau berani!”

Tanpa ‘baju’ itu dijamin, deh, mereka bukan apa-apa atau siapa-siapa. Pengalaman saya bergaul dengan orang-orang semacam itu menuturkan bahwa pada dasarnya jiwa mereka lemah, penakut, dan, yang jelas, bodoh secara intelektual.

Sejatinya kita tidak memerlukan semua yang bukan asli kita; kita tidak dilahirkan dengan baju itu dan tidak akan mengenakannya ketika napas kita berhenti berembus untuk selamanya. Dalam pandangan Buddha, hal-hal semacam ini seringnya merupakan sumber penyebab penderitaan. Baju itu, tanpa diperlakukan secara bijaksana, akan menjadi kemelekatan. Pemiliknya akan merasakan kehilangan sangat besar apabila baju itu raib. Intinya, ketidakbahagiaan menghinggapi apabila dirinya tidak dapat memiliki baju itu. Pikirannya yang berkabut kemelekatan tidak akan tenang apabila baju itu belum menempel pada dirinya.

Buddha mengajarkan bahwa kemelekatanlah yang menyebabkan penderitaan dan melepas adalah penyebab bagi kebahagiaan dan jalan menuju Pencerahan. Bagaimana dapat melepas (let go)? Buddha mengajak kita untuk bermeditasi. Meditasi itu mudah. Bagi Anda yang mengalami kesulitan bermeditasi, itu karena Anda belum belajar untuk melepas dalam meditasi. Mengapa kita begitu menggubris apa yang orang lakukan atau katakan kepada kita? Semakin kita memikirkan hal itu, semakin bodohlah kita. Jika kita melepas dengan segera, kita tidak akan pernah memikirkannya lagi.

Melepas memberi kita kebebasan untuk menjalani hidup dengan mengalir (go with the flow) dengan mudah, tak terkendala baju apa pun. Berani melepas baju itu, saya yakin, akan membuat orang lain terpana terkena pancaran keindahan sejati kita.©