Bagaimana kau dapat membaui mawar tanpa terpaku pada harum, warna dan rekahnya?
Bagaimana kau dapat menyukainya tanpa terpatri pada wajah dan tubuhnya?
Bagaimana kau dapat menjaga harmoni tanpa rindu dan mimpi?
Bagaimana kau dapat menghormati dan menghargainya,
sedangkan hidupnya penuh salah dan dosa?
Bagaimana kau bisa memberinya sebagian dirimu tanpa harap menyatu?
Bagaimana kau dapat mencintai tanpa memiliki apalagi menguasai?
Bagaimana bisa kau beri dia cinta,
tapi kau tak tergoda keindahannya?
Di sini aku menulis haiku* kesadaran
Menelisik diriku yang sedang merasakan cinta yang mulia di telapak Analaya**,
lepas dari cengkeraman minat murahan sekeping emas
Yang tidak menawarkan diri seperti obral asmara daun hijau muda yang baru mengenal cinta
Lebur rasaku dalam penyatuan dengan shunyata
di mana yang ada cuma hamparan rasa dan rahasia
Meleleh lilinku dibakar api cintanya,
lalu membeku dalam tiada
Sebagaimana dia yang intinya Mengada tanpa Ada…
*) Sebentuk puisi, biasanya tidak lebih dari empat baris, yang menggambarkan situasi pada saat dituangkan. Para meditator Buddhisme Zen acap menggunakannya untuk melatih kesadaran terhadap waktu.
**) Kebebasan tanpa kemelekatan.
Permenungan atas wajah cinta Sang Buddha – Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 2 Juni 2010, pukul 8.30.
No comments:
Post a Comment